Gangguan Stres Pasca Pemilu
![]() |
Foto: Imam Suripto/detikcom |
Jakarta -
Pesta rakyat telah usai beberapa waktu lalu. Namun
demikian, sejauh ini masih banyak persoalan tersisa terkait pesta
terakbar sejagad tersebut. Selain polemik tentang pemenang calon
presiden, ia juga menyisakan kabar duka. Karena, sejauh ini ada 500-an
orang petugas KPPS meninggal dunia. Sementara 2.232 orang yang lainnya
dilaporkan sakit. Belum lagi ongkos sosial yang harus kita tanggung.
Misalnya, pemilu telah menjadikan masyarakat terpolarisasi dalam dua
kubu yang saling berseteru.
Mereka juga saling hina dan serang satu sama lain. Banyak ikatan persahabatan dan kekeluargaan yang retak. Dan, butuh waktu lama untuk menjahit luka-luka yang menganga itu. Di luar masalah itu, pemilu juga berpengaruh pada kondisi psikologis masyarakat. Bila kita cermat mengamati, banyak masyarakat yang mengalami masalah mental sepanjang dan setelah pemilu. Sayangnya, sejauh ini perhatian terhadap kondisi kejiwaan masyarakat itu baru sekadar diberikan pada para caleg yang gagal terpilih. Padahal, masyarakat umum juga rentan mengalami gangguan stres dengan beragam levelnya.
Gejala tekanan mental yang dialami masyarakat tersebut dikenal dengan gangguan stres pasca pemilu atau post election stress disorder (PESD). Ini merupakan jenis gangguan mental yang relatif baru dalam kajian psikologi. Ia juga belum tercantum dalam buku pedoman diagnosis gangguan jiwa, atau Diagnostic Statisic Manual Disorder (DSM) V sebagai salah satu jenis gangguan mental.
Mereka juga saling hina dan serang satu sama lain. Banyak ikatan persahabatan dan kekeluargaan yang retak. Dan, butuh waktu lama untuk menjahit luka-luka yang menganga itu. Di luar masalah itu, pemilu juga berpengaruh pada kondisi psikologis masyarakat. Bila kita cermat mengamati, banyak masyarakat yang mengalami masalah mental sepanjang dan setelah pemilu. Sayangnya, sejauh ini perhatian terhadap kondisi kejiwaan masyarakat itu baru sekadar diberikan pada para caleg yang gagal terpilih. Padahal, masyarakat umum juga rentan mengalami gangguan stres dengan beragam levelnya.
Gejala tekanan mental yang dialami masyarakat tersebut dikenal dengan gangguan stres pasca pemilu atau post election stress disorder (PESD). Ini merupakan jenis gangguan mental yang relatif baru dalam kajian psikologi. Ia juga belum tercantum dalam buku pedoman diagnosis gangguan jiwa, atau Diagnostic Statisic Manual Disorder (DSM) V sebagai salah satu jenis gangguan mental.
Konsep PESD pertama kali mengemuka pada 2016, yaitu pasca
pemilu Amerika. Gejala itu muncul berdasarkan laporan survei tentang
stres yang dilakukan oleh American Psychology Association (APA), Oktober
2016. Dalam survei itu ditemukan ada sekitar 52% orang dewasa Amerika
yang menganggap bahwa pemilu menjadi sumber penting stres yang mereka
alami. Pada Februari 2017, APA kembali melaporkan bahwa 57% orang dewasa
Amerika mengungkapkan bahwa suasana iklim politik selama pemilu
dianggap sebagai sumber stres bagi mereka.
Riset lain yang dilakukan oleh Hagan, Sladek, Luecken, dan Doane (2017) juga mengkonfirmasi temuan tersebut. Survei yang dilakukan pada 769 mahasiswa Arizona State University itu menunjukkan bahwa 25% responden penelitian memenuhi kriteria gejala stres yang bermakna secara klinis, yang berhubungan dengan peristiwa pemilu.
Ada beragam gejala yang menandai seseorang mengalami gangguan PESD ini. Gejala tersebut di antaranya mereka merasa cemas atau takut berlebihan, panik, susah untuk konsentrasi, susah tidur, kehilangan harapan, menghindari interaksi sosial, mudah marah, mengalami mimpi buruk, depresi, atau sering terbayang pengalaman sebelumnya yang sudah dilupakan. Salah satu yang agak khas adalah mereka mengalami ketakutan terhadap masa depan negaranya.
Namun, tampaknya tidak setiap pemilu menyebabkan masyarakat mengidap PESD secara masif. Hal itu dapat dilihat dari hasil laporan tahunan mengenai stres di Amerika yang dilansir APA mulai 2007 hingga 2017, yang mana gejala PESD hanya mewabah pada pemilu pada 2016. Hal itu mengindikasikan bahwa gejala PESD hanya muncul ketika iklim politik selama pemilu berlangsung sangat tegang.
Pada pemilu Amerika 2016, serupa seperti pemilu di Indonesia 2014 dan 2019, persaingan antar pendukung capres sangat sengit. Selain itu, selama masa kampanye, masing-masing pendukung juga memproduksi materi-materi kampanye berupa berita-berita negatif dan palsu untuk menjatuhkan kelompok yang berseberangan. Konsekuensinya, selama berbulan-bulan warga terpapar oleh berita-berita negatif di media secara berlebihan.
Selain itu, PESD kemungkinan juga terjadi karena sejumlah narasi yang dibangun oleh tim sukses calon presiden selama pemilu. Timses dari kedua kubu umumnya membangun narasi pesimis dan ketakutan, yaitu tentang kejadian-kejadian "buruk" akan terjadi, bila calon yang berseberangan menang dalam pemilu. Realitas fiktif hasil buatan timses tersebut akan dipahami sebagai kenyataan oleh sebagian masyarakat. Karena ia terus direproduksi selama berbulan-bulan, maka orang akan memahami narasi-narasi tersebut seolah kenyataan yang sesungguhnya.
Hal lain yang juga dapat menyebabkan PESD adalah tidak terpenuhinya harapan-harapan seseorang setelah penghitungan suara. Hal ini terutama terjadi pada pendukung calon yang jagoannya kalah suara dalam pemilu. Sebelumnya, mereka sudah sangat yakin calon yang didukungnya akan menang. Sehingga, ketika mereka harus dihadapkan pada kenyataan lain, mereka menjadi kaget dan tidak dapat mempercayai dan sulit untuk menerima kenyataan. Sehingga, jiwanya mengalami kegoncangan.
Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk meredam gejala PESD tersebut, khususnya ketika tingkat stesnya ringan. Salah satunya adalah dengan mengurangi atau tidak mengakses beragam informasi, baik dari media massa atau media sosial. Hal demikian dilakukan karena berita atau informasi di media tersebut dapat membangkitkan kembali ingatan dan emosi dan memunculkan stres.
Orang juga dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang produktif, baik yang berkaitan dengan hobi atau pekerjaan. Aktivitas tersebut misalnya menggambar, berkebun, membaca, memasak, mengedit video, atau menonton film. Atau bisa juga orang melakukan olah raga atau aktivitas lain yang dapat membuat AArelaks. Aneka macam aktivitas itu dapat mengalihkan pikiran seseorang, sehingga tidak tidak lagi fokus pada isu-isu terkait pemilu.
Penting juga orang mencari dukungan sosial yang tepat. Mereka dapat bertemu dan ngobrol dengan orang-orang yang dapat diajak bercerita tentang beragam topik, khususnya yang tidak berkaitan dengan pemilu. Interaksi dengan orang-orang sekitar ini akan dapat melepaskan tekanan emosi dan melemaskan pikiran yang tegang.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan spiritualitas. Mengembalikan persoalan sebagai bagian dari kerja-kerja tangan Tuhan, memungkinkan seseorang untuk melepaskan beban mentalnya. Menyadari, menyakini, dan menerima bahwa segala yang terjadi sudah menjadi suratan-Nya.
Secara umum, kondisi kesehatan mental masyarakat akan membaik setelah situasi politik kembali ke kondisi normal. Ketika para elite politik mengakhiri pertikaian dan menciptakan hubungan yang cair dan sejuk. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, gejala demikian menjadi bertambah buruk.
Mempertimbangkan realitas demikian, ke depan para pemangku kepentingan terkait hendaknya dapat memperhatikan dampak psikologis proses pemilu terhadap kesehatan mental masyarakat. Perlu ada riset-riset untuk mengidentifikasi serta upaya-upaya treatment untuk menanggulanginya. Di luar itu, para elite politik mestinya juga dapat bersikap lebih bijak, dengan mengurangi tensi persaingan politik pasca pemilu. Agar masyarakat kembali tenang dan terhindar dari masalah mental yang dapat membebani hidupnya.
Sartana dosen Psikologi Sosial Universitas Andalas
Riset lain yang dilakukan oleh Hagan, Sladek, Luecken, dan Doane (2017) juga mengkonfirmasi temuan tersebut. Survei yang dilakukan pada 769 mahasiswa Arizona State University itu menunjukkan bahwa 25% responden penelitian memenuhi kriteria gejala stres yang bermakna secara klinis, yang berhubungan dengan peristiwa pemilu.
Ada beragam gejala yang menandai seseorang mengalami gangguan PESD ini. Gejala tersebut di antaranya mereka merasa cemas atau takut berlebihan, panik, susah untuk konsentrasi, susah tidur, kehilangan harapan, menghindari interaksi sosial, mudah marah, mengalami mimpi buruk, depresi, atau sering terbayang pengalaman sebelumnya yang sudah dilupakan. Salah satu yang agak khas adalah mereka mengalami ketakutan terhadap masa depan negaranya.
Namun, tampaknya tidak setiap pemilu menyebabkan masyarakat mengidap PESD secara masif. Hal itu dapat dilihat dari hasil laporan tahunan mengenai stres di Amerika yang dilansir APA mulai 2007 hingga 2017, yang mana gejala PESD hanya mewabah pada pemilu pada 2016. Hal itu mengindikasikan bahwa gejala PESD hanya muncul ketika iklim politik selama pemilu berlangsung sangat tegang.
Pada pemilu Amerika 2016, serupa seperti pemilu di Indonesia 2014 dan 2019, persaingan antar pendukung capres sangat sengit. Selain itu, selama masa kampanye, masing-masing pendukung juga memproduksi materi-materi kampanye berupa berita-berita negatif dan palsu untuk menjatuhkan kelompok yang berseberangan. Konsekuensinya, selama berbulan-bulan warga terpapar oleh berita-berita negatif di media secara berlebihan.
Selain itu, PESD kemungkinan juga terjadi karena sejumlah narasi yang dibangun oleh tim sukses calon presiden selama pemilu. Timses dari kedua kubu umumnya membangun narasi pesimis dan ketakutan, yaitu tentang kejadian-kejadian "buruk" akan terjadi, bila calon yang berseberangan menang dalam pemilu. Realitas fiktif hasil buatan timses tersebut akan dipahami sebagai kenyataan oleh sebagian masyarakat. Karena ia terus direproduksi selama berbulan-bulan, maka orang akan memahami narasi-narasi tersebut seolah kenyataan yang sesungguhnya.
Hal lain yang juga dapat menyebabkan PESD adalah tidak terpenuhinya harapan-harapan seseorang setelah penghitungan suara. Hal ini terutama terjadi pada pendukung calon yang jagoannya kalah suara dalam pemilu. Sebelumnya, mereka sudah sangat yakin calon yang didukungnya akan menang. Sehingga, ketika mereka harus dihadapkan pada kenyataan lain, mereka menjadi kaget dan tidak dapat mempercayai dan sulit untuk menerima kenyataan. Sehingga, jiwanya mengalami kegoncangan.
Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk meredam gejala PESD tersebut, khususnya ketika tingkat stesnya ringan. Salah satunya adalah dengan mengurangi atau tidak mengakses beragam informasi, baik dari media massa atau media sosial. Hal demikian dilakukan karena berita atau informasi di media tersebut dapat membangkitkan kembali ingatan dan emosi dan memunculkan stres.
Orang juga dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang produktif, baik yang berkaitan dengan hobi atau pekerjaan. Aktivitas tersebut misalnya menggambar, berkebun, membaca, memasak, mengedit video, atau menonton film. Atau bisa juga orang melakukan olah raga atau aktivitas lain yang dapat membuat AArelaks. Aneka macam aktivitas itu dapat mengalihkan pikiran seseorang, sehingga tidak tidak lagi fokus pada isu-isu terkait pemilu.
Penting juga orang mencari dukungan sosial yang tepat. Mereka dapat bertemu dan ngobrol dengan orang-orang yang dapat diajak bercerita tentang beragam topik, khususnya yang tidak berkaitan dengan pemilu. Interaksi dengan orang-orang sekitar ini akan dapat melepaskan tekanan emosi dan melemaskan pikiran yang tegang.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan spiritualitas. Mengembalikan persoalan sebagai bagian dari kerja-kerja tangan Tuhan, memungkinkan seseorang untuk melepaskan beban mentalnya. Menyadari, menyakini, dan menerima bahwa segala yang terjadi sudah menjadi suratan-Nya.
Secara umum, kondisi kesehatan mental masyarakat akan membaik setelah situasi politik kembali ke kondisi normal. Ketika para elite politik mengakhiri pertikaian dan menciptakan hubungan yang cair dan sejuk. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, gejala demikian menjadi bertambah buruk.
Mempertimbangkan realitas demikian, ke depan para pemangku kepentingan terkait hendaknya dapat memperhatikan dampak psikologis proses pemilu terhadap kesehatan mental masyarakat. Perlu ada riset-riset untuk mengidentifikasi serta upaya-upaya treatment untuk menanggulanginya. Di luar itu, para elite politik mestinya juga dapat bersikap lebih bijak, dengan mengurangi tensi persaingan politik pasca pemilu. Agar masyarakat kembali tenang dan terhindar dari masalah mental yang dapat membebani hidupnya.
Sartana dosen Psikologi Sosial Universitas Andalas
Sumber: Detik.ccom