Dolar AS Makin Perkasa, Negara Berkembang 'Rugi Besar'
Ilustrasi dolar AS. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
Jakarta, -- Tenggat waktu yang membayangi konflik perang dagang antara Amerika Serikat dan China membuat dolar AS makin
perkasa dalam dua pekan terakhir. Kondisi ini menimbulkan kerugian baru
bagi pasar negara berkembang dan menggiring saham global melemah selama
empat hari berturut-turut.
Periode permintaan tanggapan publik terhadap rencana kebijakan AS terkait tambahan tarif bagi barang-barang China senilai US$200 miliar bakal berakhir pada Kamis (5/9). Usai periode tersebut, Presiden AS Donald Trump kemungkinan bakal mengenakan tarif tambahan bagi produk-produk China tersebut.
Amerika Serikat dan Kanada juga akan melanjutkan diskusi tentang pembenahan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) pada hari ini waktu setempat.
Dolar AS mendapat manfaat dari ketidakpastian ini. Selain itu, ada pula data manufaktur AS yang melaju pada Agustus hingga mencapai catatan tertinggi selama 14 tahun terakhir
Periode permintaan tanggapan publik terhadap rencana kebijakan AS terkait tambahan tarif bagi barang-barang China senilai US$200 miliar bakal berakhir pada Kamis (5/9). Usai periode tersebut, Presiden AS Donald Trump kemungkinan bakal mengenakan tarif tambahan bagi produk-produk China tersebut.
Amerika Serikat dan Kanada juga akan melanjutkan diskusi tentang pembenahan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) pada hari ini waktu setempat.
Dolar AS mendapat manfaat dari ketidakpastian ini. Selain itu, ada pula data manufaktur AS yang melaju pada Agustus hingga mencapai catatan tertinggi selama 14 tahun terakhir
Penguatan dolar AS yang hampir 8 persen sejak
akhir Maret membuat pasar keuangan di negara berkembang terguncang. Hal
ini terlihat indeks MSCI (indeks saham negara berkembang yang dibuat
Moran Stanley) yang turun 1,6 persen sementara indeks mata uang negara
berkembang merosot 0,4 persen ke posisi terendah dalam 15 bulan
terakhir.
Saham Eropa melemah 0,7 persen ke posisi terendah
dalam dua bulan terakhir. Sementara, bursa Asia juga memasuki zona
merah, seiring ekspektasi tarif AS yang menyeret bursa saham China turun
satu persen.
"Hingga bulan lalu orang-orang berfokus pada pendapatan perusahaan AS, tetapi sekarang mereka melihat secara dekat apa yang terjadi di pasar negara berkembang dan perang perdagangan," kata Christoph Barraud, Ekonom Pialang Pasar Efek yang berbasis di Paris, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (5/9).
"Hingga bulan lalu orang-orang berfokus pada pendapatan perusahaan AS, tetapi sekarang mereka melihat secara dekat apa yang terjadi di pasar negara berkembang dan perang perdagangan," kata Christoph Barraud, Ekonom Pialang Pasar Efek yang berbasis di Paris, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (5/9).
Barraud pun menyebut pertumbuhan global kian menunjukkan tanda-tanda perlambatan ke depan.
Kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan ekonomi yang melambat terutama terjadi di negara berkembang. Afrika Selatan misalnya, pada selasa (4/9) mengumumkan kondisi ekonominya tergelincir dalam resesi untuk pertama kalinya sejak 2009.
Kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan ekonomi yang melambat terutama terjadi di negara berkembang. Afrika Selatan misalnya, pada selasa (4/9) mengumumkan kondisi ekonominya tergelincir dalam resesi untuk pertama kalinya sejak 2009.
Rand kemudian bergabung dengan lira Turki
dan peso Argentina dalam aksi jual tanpa henti. Hari ini, rand jatuh 1,5
persen, kian menambah kemerosotannya 3 persen.
Peso Argentina
juga masih merosot pada Selasa (4/9), meskipun kepala Dana Moneter
Internasional Christine Lagarde menegaskan bahwa IMF sedang bekerja
untuk mengucurkan dana talangan US$ 50 miliar bagi negara tersebut. Mata
uang Argentina tersebut telah kehilangan setengah nilainya terhadap
dolar AS, disusul lira Turki yang merosot 40 persen.
Sumber : cnnindonesia