Kisah Pecandu Sabu-sabu yang Lolos dari Maut Berkali-kali
![]() |
Tom pertama kali menyuntikkan sabu-sabu saat berusia 14 tahun. (Tom de Souza) |
Perth -
Sebelum saya menjadi pecandu sabu-sabu, saya memiliki kehidupan yang nyaman.
Di
usia 12 tahun, saya tinggal bersama ibu, ayah dan tiga saudara saya di
tempat pemukiman kelas menengah di pinggiran kota Perth, Australia.
Keluarga
kami bahagia. Ibu saya bekerja sebagai dokter hewan, ayah saya seorang
pialang mata uang asing, dan saudara-saudara saya dan saya hampir selalu
tercukupi.
Ketika kecil, saya cerdas dan berbakat, dan sebelum
memasuki SMA saya mendapat sebuah beasiswa ke sebuah perguruan tinggi
khusus untuk laki-laki, yang terkenal di Australia.
Hidup
saya mulai berantakan saat saya masuk sekolah baru. Awalnya karena saya
merasa dihadapkan pada semacam budaya 'tinggi' yang angkuh dan saya
tidak merasa cocok.
Perasaan cemas dan tidak nyaman diperparah
oleh kegalauan masa awal sebagai remaja. Karena tidak ditangani, berubah
menjadi kebencian diri yang mendalam.
Tidak percaya dengan diri sendiri, saya mencari kesendirian di masyarakat pinggiran. Di sinilah saya menemukan sabu-sabu.
Saya menyuntikkan sabu-sabu untuk pertama kalinya saat berusia 14 tahun. Dalam beberapa minggu, hidup saya hancur berantakan.
Selama
lima tahun berikutnya, saya terus mengejar sensasi yang saya alami saat
pertama kali menyuntik sabu-sabu, tanpa menyadari ongkos yang harus
saya keluarkan untuk itu.
Saya menghancurkan keluarga saya, meneror saudara-saudara saya, dan menghancurkan pernikahan orang tua saya.
Lolos dari maut berkali-kali
Beruntung, saya tetap bisa bertahan hidup: sabu-sabu beberapa kali hampir membunuh saya.
Yang pertama saat saya berusia 15 tahun. Saat itu saya tinggal dengan ayah saya dan sangat banyak menggunakan sabu-sabu.
Pada
saat itu, saya belum tidur selama 12 hari karena terus-terusan
menggunakan sabu-sabu. Tidak ada yang tahu apa yang bisa saya lakukan
setelah itu; saya menjadi gila dan bahaya.
Dalam sebuah delusi
kemarahan, saya mempersenjatai diri dengan pisau daging dan mengejar
sosok imajiner di jalanan. Untungnya, saya ditangkap sebelum melukai
orang lain dan dikembalikan ke tahanan remaja, tempat yang sering saya
masuki karena pelanggaran narkoba dan pencurian.
Dengan sabu-sabu, saya berubah dari anak emas keluarga menjadi seorang residivis dan sampah masyarakat.
Di tahap ini, orang tua saya mulai menyerah. Mereka tidak punya jawaban, tidak punya kendali.
Saya
diusir ayah saya karena saya terlalu sering mencuri darinya. Dia
mencabut jaminan bagi saya dan saya pun dikembalikan ke penjara.
Saya
mulai menyadari kesepian yang sebenarnya dari kecanduan narkoba. Selama
beberapa minggu berikutnya, saya memohon melalui telepon penjara kepada
ibu saya untuk mendapatkan kesempatan terakhir.
Pada akhirnya dia
mengalah. Saya dibebaskan dari penjara dalam jaminan pengasuhannya,
namun hanya di bawah pengawasan ketat pengadilan.
Saya tahu saya
harus berubah, tapi saya tidak tahu bagaimana. Saya harus menjalani tes
urin setiap tiga minggu dan saya mulai mencari kegiatan lain untuk
menggantikan sabu-sabu - berselancar, bertinju, bermain sepak bola -
namun terkadang saya masih menggunakannya.
Suatu waktu setelah
mabuk selama empat hari, saya merasa saya telah gagal dalam kesempatan
terakhir saya. Tak tidur dan rapuh, saya menyerah. Kematian adalah jalan
termudah, pikir saya. Saya memasang tali di palang di garasi rumah ibu
saya, mengalungkannya ke leher saya, dan menendang kursi tempat saya
berdiri.
Malah palangnya yang patah. Saya selamat.
Akhirnya
saya benar-benar tersadarkan dua minggu kemudian, ketika saya menerima
panggilan telepon pada tengah malam dari dua teman terdekat saya.
Mereka
panik dan hening; sesuatu telah terjadi. Mereka tidak mau
membicarakannya melalui telepon, tetapi mereka membutuhkan bantuan saya.
Saya setuju untuk membantu mereka. Saya menunggu sampai jam 4 pagi,
tetapi karena mereka tidak datang-datang juga akhirnya saya tidur.
Saya
tidak memikirkan apa pun sampai beberapa hari kemudian saya melihat
foto-foto mereka muncul di berbagai media. Mereka dicari karena
pembunuhan.
Itu adalah penyadaran yang mengejutkan, dan tiba-tiba saya mengerti: hidup terlalu berharga untuk disia-siakan.
Saat
saya menulis ini, saya berusia 23 tahun. Sudah empat tahun sejak
terakhir kali saya menggunakan sabu-sabu. Hidup saya menjadi jauh lebih
baik - saya telah lulus dari sekolah jurnalisme, mulai memperbaiki
kembali hubungan keluarga yang berantakan.
Dan saya masih hidup - namun perjalanan saya masih panjang.
Saya
masih dihantui trauma masa lalu saya. Hanya beberapa minggu lalu, masa
lalu saya terlintas kembali. Saya saat itu berada di Jakarta, dan hampir
di semua tempat di jalanan saya melihat ada tanda-tanda kehadiran
sabu-sabu.
Saya mulai berpikir: jika saya tinggal di Indonesia, akankah saya masih hidup?
Seperti
di Australia, sabu-sabu adalah fenomena yang relatif baru di Indonesia.
Narkoba jenis itu murah dan gampang dibuat, dan sebagai hasilnya,
gampang tersedia.
Pertama kali saya melihat sabu-sabu di Indonesia
adalah pada 2015, saat saya pergi ke Gili Trawangan. Di pulau itu
sabu-sabu banyak diedarkan.
Saya
tinggal di sana selama seminggu, tinggal di sebuah pemondokan dengan
tiga pemuda Indonesia. Mereka menyewakan peralatan snorkelling dan
sepeda, dan menjual jamur sihir, ganja dan sabu-sabu.
Trawangan
dikenal sebagai pulau pesta, dan saya melihat beberapa turis merokok
sabu-sabu, namun saya lebih kaget saat mengetahui bagaimana budaya
populer sabu-sabu di antara para penduduk lokal.
Banyak yang
candu. Sebagian mencoba sabu-sabu pertama kali di tempat asal mereka di
Sumatra, Lombok, atau Jawa dan merasa aman di salah satu Gili. Yang lain
datang untuk bekerja dan mengikuti apa yang dianggap adat istiadat
budaya pulau itu.
Saya menjadi dekat dengan para pemuda yang
tinggal bersama dengan saya. Semuanya pengguna berat sabu-sabu. Saya
tidak pura-pura mengerti alasan mereka menggunakan sabu-sabu - kami
tinggal di negara yang berbeda, dengan budaya yang berbeda - namun saya
berempati dengan mereka.
Saya pernah merasakan kepedihan mereka.
Keadaan kami berbeda, mungkin hasilnya juga akan berbeda. Namun kami
melalui benang pergumulan yang sama.
Saat saya memutuskan berhenti
menggunakan narkoba, hal yang paling sulit bukanlah berhenti
menggunakan obat itu semata. Itu cukup gampang, dibandingkan belajar
untuk hidup kembali.
Saya harus menghilangkan semua yang telah
saya ketahui, memutuskan rantai pertemanan saya dengan orang-orang dan
tempat-tempat yang saya sering datangi.
Saya harus membangun hidup
saya dari awal. Bukan hanya kebiasaan menggunakan obat yang harus saya
buang, namun kebiasaan sosial saya, kebiasaan emosional saya, kebiasaan
psikologis saya. Proses itu masih berlanjut, bahkan empat tahun
kemudian.
Saya beruntung. Saya bisa bertahan hidup. Saya
mendapatkan banyak bantuan selama ini: dari keluarga saya, anggota
komunitas yang membimbing saya, dan di fase awal, pengawasan program
pengadilan yang disubsidi negara yang memastikan saya tetap bersih dari
sabu-sabu.
Saya diberikan kesempatan kedua dalam hidup, namun tidak semua orang seberuntung saya.
Saya
masih menghadapi konsekuensi kecanduan saya setiap hari. Narkoba telah
merebut kebahagiaan saya. Setelah perjalanan emosional yang naik turun
dengan drastis, butuh waktu bertahun-tahun untuk mulai belajar kembali
menghargai kenikmatan hidup yang sederhana. Hanya karena cinta,
pengertian dan dukungan dari orang-orang yang saya kasihi yang membuat
saya hidup dan bebas.
Hari ini, saya bekerja untuk membayar hutang
saya ke masyarakat, dan untuk menebus dosa saya dengan membuat
kontribusi yang positif ke dunia.
Apapun yang telah kita kerjakan, saya yakin kita semua berhak mendapat kesempatan kedua dalam hidup. Saya adalah buktinya.
Artikel-artikel
semacam ini akan hadir berkala di BBC Indonesia, karya berbagai
penulis, mencakup beragam tema. Tulisan-tulisan itu merupakan pandangan
pribadi penulis sepenuhnya.
Sumber : detik.com