Pilu Hati Aipda Rouli Tak Bisa Adopsi Bayi yang Dibuang karena Terganjal Peraturan
![]() |
Aipda Rouli Ida Maharani Hutagaol menggendong bayi berusia satu bulan ketika masih dirawat di rumah sakit. Dia ingin mengadopsinya namun terganjal peraturan pemerintah |
- Aipda Rouli
Ida Maharani Hutagaol sesekali terisak. Polwan yang bertugas di Polres
Binjai itu sangat sedih memikirkan seorang bayi satu bulan yang tak
dapat diadopsinya.
"Saya ingin adopsi
karena ingin menolong anak ini, naluri kemanusiaan tidak memandang
agama dan ras itu tak memandang agama," kata dia saat dihubungi BBC
Indonesia melalui telepon.
Polisi wanita di Binjai ini tidak dapat mengadopsi bayi yang
ditemukan di Pasar Sepuluh Tanjungjati, Kabupaten Binjai, Sumatra Utara,
karena tersandung Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2007.
Meski
sudah lebih dari tiga minggu menerima surat penolakan permohonan adopsi,
Ida masih berharap ada pertimbangan lain yang membuatnya dapat tetap
mengadopsi bayi tersebut.
Setelah ditemukan warga di pada 28 Agustus lalu, bayi laki-laki itu dirawat di RSU Dr. R.M Djoelham.
Sejak
bayi itu ditemukan, suami Ida yang bertugas di kantor kepolisian
setempat langsung tertarik untuk mengadopsinya. Rencana itu pun
disetujui Ida, kedua anak perempuannya dan keluarga besarnya.
"Saya
sudah siap lahir dan batin, setiap pagi sebelum kerja saya sempatkan ke
sana, melihat bayi itu dimandikan sama bidan-bidan, kain kotor saya
bawa ke rumah, saya cuci, saya ikhlas, saya lihat perlengkapan tak ada
saya belanja perlengkapan semua baju, bedongnya," ungkapnya.
Ida juga mengatakan, kerap menggendong dan memberi susu pada 'calon bayinya' selama di rumah sakit.
"Matanya memandang ke saya terus dan membuat saya sudah sangat cinta pada anak ini dan sudah sangat sayang," ungkap Ida.
Permohonan adopsi
Ketika sang bayi masih
dirawat di rumah sakit, Ida mulai mengajukan permohonan untuk mengadopsi
bayi tersebut kepada Dinas Sosial Kabupaten Binjai.
"Saya buat permohonan, saya ikuti semua syarat; KTP, akte nikah, slip gaji dan tes kejiwaan," kata dia.
"Sudah menyatakan memberikan surat hibah harta warisan karena saya
diminta melengkapi itu saya pikir ada jalan ada harapan," tambahnya.
Setelah dua pekan, Ida tak kunjung mendapatkan kabar hingga akhirnya mengontak dinas sosial pada 19 September lalu.
Dinas sosial mengatakan, permohonan adopsinya ditolak karena terganjal Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007.
Dalam
ayat (1) pasal 3 aturan itu disebutkan bahwa calon orangtua angkat
harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, sedangkan
ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal asal-usul anak tidak diketahui,
maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Menurut aturan, bayi mungil itu ditentukan beragama Islam sesuai agama mayoritas warga di lokasi tempat bayi ditemukan.
"Saya cukup sedih menerima surat balasan ini, tapi saya harus tunduk pada peraturan pemerintah," kata dia.
Tak ada celah hukum
Komisioner Komisi
Perlindungan Anak Indonesia KPAI, Retno Listyarti mengatakan tidak
melihat 'jalan tengah' yang bisa menjadi pertimbangan keinginan adopsi
Ida dapat dikabulkan.
"Ya tentu kalau pakai peraturan perundangan akan sulit," kata Retno.
Pencantuman
agama itu, lanjut dia, Retno diperlukan dalam Berita Acara Perkara atau
BAP penemuan anak. Meski, kata dia, belum tentu agama anak itu sama
dengan agama mayoritas warga di tempat dia ditemukan.
"Bisa jadi
(orangtuanya) tempatnya jauh di posisi itu, itu kan memang sangat sulit
ya karena tidak adanya saksi yang mengetahui sehingga anak ini tidak
diketahui asal usulnya, jadi anak temuan ini menggunakan aturan tadi,"
tutur Retno.
Dia menyebutkan, dua aturan tersebut selama ini
memang menjadi rujukan karena dalam peraturan perundangan di Indonesia
masalah agama menjadi faktor yang sangat penting.
"Saya enggak
heran itu muncul dalam peraturan di negeri ini, mungkin di negara lain
enggak, tetapi di Indonesia faktor agama ini masuk dalam peraturan
perundangan sepertu juga UU perkawinan," kata Retno.
Menurut Retno, dalam perjalanannya padahal anak juga dimungkinkan memilih agama yang berbeda dengan agama orangtuanya.
Bentuk diskriminasi
Pendiri Yayasan Alit,
Yuliati Umrah, menilai, pembatasan itu merupakan bentuk diskriminasi
terhadap calon orangtua yang ingin mengadopsi anak.
"Kalau seperti
itu kan jadinya malah diskriminatif ya terhadap mereka yang memiliki
niat baik untuk mengasuh anak-anak, belum tentu juga agama mayoritas
siapa pun yang ambil belum tentu menyayangi seperti orang yang
membutuhkan," ungkapnya.
Menurut Yuliati, dalam kasus gagalnya
proses adopsi anak oleh polwan itu dimungkinkan untuk diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan hak pengasuhan. Sementara itu, proses
penyidikan untuk mencari orangtua juga bisa dilakukan.
Dia menyatakan, ada sejumlah kasus anak-anak yang mendapatkan orangtua adopsi yang berbeda agama melalui proses pengadilan.
Sumber : kompas.com