Masa Sulit Ekonomi RI Sudah Lewat
Jakarta - Perekonomian Indonesia dinilai terus mengalami
perbaikan. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara
mengungkapkan periode 2013-2015 merupakan masa-masa perbaikan yang
sangat berat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 tercatat 5,56%, pada 2014 turun menjadi 5,01% dan pada 2015 lebih rendah lagi, yakni 4,88%. Namun memasuki 2016, pertumbuhan ekonomi sudah mulai membaik tercatat total 5,02%. Kuartal I 2016 tercatat 4,92% kemudian kuartal II 5,18%, kuartal III 5,01% dan kuartal IV tercatat 4,94%.
Selain pertumbuhan ekonomi, inflasi tercatat cukup rendah yakni 3,07% turun dibandingkan inflasi tahun sebelumnya sebesar 3,95%.
Hal ini terjadi karena aksi-aksi yang dilakukan oleh bank sentral, pemerintah dan Otoritas jasa keuangan (OJK).
Dalam diskusi Laporan Perekonomian Indonesia 2016, Mirza menceritakan, pada Mei 2013 terjadi guncangan pada perekonomian nasional. Saat itu bank sentral mengakhiri rezim suku bunga rendahnya, kemudian pemerintah juga memangkas subsidi Bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan.
Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral bertujuan untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurut Mirza dengan kurs yang stabil mencerminkan kondisi fundamental ekonomi nasional.
Mirza mengungkapkan, periode 2013-2014 itu BI mempertajam aturan penggunaan rupiah dalam negeri, hal ini agar praktek bisnis oleh masyarakat yang menggunakan valuta asing bisa diawasi dan dikendalikan. Selain itu BI juga melonggarkan Loan to value (LTV) untuk kredit kendaraan bermotor dan kredit pemilikan rumah (KPR)
Dia menceritakan pada 2014, The Federal Reserve tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berdampak untuk negara lain. Kemudian juga pemilihan Presiden yang berlangsung aman dan membuat nilai tukar terkendali sehingga lancarnya aliran capital inflow ke dalam negeri.
Angka inflasi pada 2013 masih cukup tinggi yakni 8,3% lalu pada 2014 8,4%. Memasuki 2015 mulai mengalami perbaikan namun tetap dibayangi dengan penantian suku bunga Fed.
BI juga mulai mengubah sejumlah kebijakan makroprudensial dengan merelaksasi LTV pada juni 2015. Pada November pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan pemerintah juga melakukan reformasi struktural. Selain itu bank sentral juga berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan meningkatkan intensitas pengendalian inflasi.
Periode 2016 kondisi perekonomian sudah jauh lebih baik meskipun kenaikan Fed Fund Rate sudah terealisasi.
"Kenaikan FFR belum selesai, kejadian Brexit, menangnya Trump di pilpres AS, kita akan perkuat koordinasi," ujar Mirza di gedung Bank Indonesia, Kamis (27/4/2017)
Kemudian utang luar negeri swasta juga terus mengalami penurunan paska pengendalian regulasi lindung nilai yakni menjadi US$ 159 miliar dari sebelumnya US$ 168 miliar.
Penasihat Ekonomi dan Direktur Departemen Penelitian International Monetary Fund (IMF) Maurice Obstfeld mengatakan kondisi ekonomi global akan membaik meski berjalan lambat. Ini akan mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia.
Dari data IMF pertumbuhan ekonomi pada 2016 tercatat 3,1%, sedangkan tahun ini diprediksikan tumbuh 3,5% dan pada 2018 diproyeksikan 3,6%. Dia menjelaskan, kondisi perekonomian juga masih dipengaruhi oleh sentimen-sentimen seperti perdagangan dan harga komoditas.
"Untuk jangka menengah juga dipengaruhi oleh komoditas ekspor," kata Obstfeld.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 tercatat 5,56%, pada 2014 turun menjadi 5,01% dan pada 2015 lebih rendah lagi, yakni 4,88%. Namun memasuki 2016, pertumbuhan ekonomi sudah mulai membaik tercatat total 5,02%. Kuartal I 2016 tercatat 4,92% kemudian kuartal II 5,18%, kuartal III 5,01% dan kuartal IV tercatat 4,94%.
Selain pertumbuhan ekonomi, inflasi tercatat cukup rendah yakni 3,07% turun dibandingkan inflasi tahun sebelumnya sebesar 3,95%.
Hal ini terjadi karena aksi-aksi yang dilakukan oleh bank sentral, pemerintah dan Otoritas jasa keuangan (OJK).
Dalam diskusi Laporan Perekonomian Indonesia 2016, Mirza menceritakan, pada Mei 2013 terjadi guncangan pada perekonomian nasional. Saat itu bank sentral mengakhiri rezim suku bunga rendahnya, kemudian pemerintah juga memangkas subsidi Bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan.
Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral bertujuan untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurut Mirza dengan kurs yang stabil mencerminkan kondisi fundamental ekonomi nasional.
Mirza mengungkapkan, periode 2013-2014 itu BI mempertajam aturan penggunaan rupiah dalam negeri, hal ini agar praktek bisnis oleh masyarakat yang menggunakan valuta asing bisa diawasi dan dikendalikan. Selain itu BI juga melonggarkan Loan to value (LTV) untuk kredit kendaraan bermotor dan kredit pemilikan rumah (KPR)
Dia menceritakan pada 2014, The Federal Reserve tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berdampak untuk negara lain. Kemudian juga pemilihan Presiden yang berlangsung aman dan membuat nilai tukar terkendali sehingga lancarnya aliran capital inflow ke dalam negeri.
Angka inflasi pada 2013 masih cukup tinggi yakni 8,3% lalu pada 2014 8,4%. Memasuki 2015 mulai mengalami perbaikan namun tetap dibayangi dengan penantian suku bunga Fed.
BI juga mulai mengubah sejumlah kebijakan makroprudensial dengan merelaksasi LTV pada juni 2015. Pada November pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan pemerintah juga melakukan reformasi struktural. Selain itu bank sentral juga berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan meningkatkan intensitas pengendalian inflasi.
Periode 2016 kondisi perekonomian sudah jauh lebih baik meskipun kenaikan Fed Fund Rate sudah terealisasi.
"Kenaikan FFR belum selesai, kejadian Brexit, menangnya Trump di pilpres AS, kita akan perkuat koordinasi," ujar Mirza di gedung Bank Indonesia, Kamis (27/4/2017)
Kemudian utang luar negeri swasta juga terus mengalami penurunan paska pengendalian regulasi lindung nilai yakni menjadi US$ 159 miliar dari sebelumnya US$ 168 miliar.
Penasihat Ekonomi dan Direktur Departemen Penelitian International Monetary Fund (IMF) Maurice Obstfeld mengatakan kondisi ekonomi global akan membaik meski berjalan lambat. Ini akan mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia.
Dari data IMF pertumbuhan ekonomi pada 2016 tercatat 3,1%, sedangkan tahun ini diprediksikan tumbuh 3,5% dan pada 2018 diproyeksikan 3,6%. Dia menjelaskan, kondisi perekonomian juga masih dipengaruhi oleh sentimen-sentimen seperti perdagangan dan harga komoditas.
"Untuk jangka menengah juga dipengaruhi oleh komoditas ekspor," kata Obstfeld.
Sumber : detik.com