Memaknai Pertemuan Jokowi dan GNPF-MUI
![]() |
Presiden Joko Widodo saat menerima pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (25/6/2017). |
Setelah bersilaturahim dengan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri
di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Minggu (25/6/2017), Presiden
Joko Widodo menerima para tokoh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Islam
Majelis Ulama Islam atau GNPF MUI di Istana Merdeka.
Sebelum silaturaim dengan Megawati, Presiden Jokowi mengadakan acara
open house di Istana Negara, Jakarta. Sebelumnya lagi, Presiden hadir
dalam shalat Id di Masjid Istiqlal Jakarta.
Dalam silaturahim dengan GNPF MUI
yang dipimpin ketua dan wakilnya, Bachtiar Nasir dan Zaitun Rasmin,
Presiden didampingi Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, Menko Polhukham
Wiranto, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Usai pertemuan ini, di halaman istana, Pratikno mengatakan kepada
wartawan, inisiatif pertama dari silaturahim tersebut datang dari GNPF
yang menghubungi Menteri Agama. Kemudian Menteri Agama Agama
berkomunikasi dengan Mensesneg yang membawa informasi dari GNPF ke
Presiden.
Menurut Pratikno kepada pers, Presiden bersedia menerima GNPF karena saat itu memang waktunya untuk open house, jadi siapa pun bisa datang ke istana.
Pratikno mengatakan dalam pertemuan ini, GNPF MUI minta ada fasilitas jalur komunikasi dengan Istana.
Mensesneg tidak lupa mengatakan, pertemuan ini berlangsung siang hari karena Presiden setelah open house menghadiri acara syawalan di rumah Megawati. Katanya dalam pertemuan di Istana Merdeka, GNPF mengapresiasi pemerintahan Jokowi.
Pagi hari sebelum GNPF datang ke istana, saya bertanya kepada pengamat politik Fachri Ali tentang pemerintah Jokowi saat ini.
"Politik oke. Tapi politik Islam kedodoran. Mudah-mudahan saya salah menilai," jawab pengamat politik asal Aceh ini.
Setelah GNPF-MUI ke istana, Fachri Ali mengatakan bahwa setelah silaturahim itu masih perlu dilihat kelanjutannya.
Ditanya tentang kaitan politik Islam Istana dengan gerakan massa
raksasa 411 dan 212 di depan Istana Merdeka menjelang tutup tahun 2016
lalu, lulusan bidang politik Universitas Monas Australia ini mengatakan,
aksi massa Islam kota tersebut kejutan besar yang tidak pernah
diperhitungkan oleh Istana dan bahkan oleh organisasi Islam yang telah
mapan selama ini.
Adapun pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang Salahuddin
Wahid atau Gus Solah, Senin (26/6/2017) pagi, ketika ditanya tentang
pemerintahan Jokowi saat ini secara spontan memuji pertemuan Presiden
dengan para tokoh GNPF.
"Saya bersyukur RI 1 mau bertemu dengan GNPF. Tapi jangan hanya
serimonial saja. Harus dimanfaatkan untuk merajut kembali apa yang
kemarin sempat terkoyak. Saya pikir perginya HRS (Habib Rizieq Sihab) ke
Arab bisa mendekatkan RI 1 dengan kelompok Islam yang sempat renggang,"
ujar adik kandung Presiden RI ke-5 Abdurrahman Wahid yang tinggal di
Jombang, Jawa Timur itu.
Gus Solah yang sering mengkritik pemerintah saat ini juga mencatat
situasi politik, hukum dan sosial yang tidak menguntungkan akhir-akhir
ini.
"Selain soal komunikasi dengan Islam yang sempat terkoyak, di bidang
hukum dan korupsi, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) hanya mengejar
kasus-kasus kecil sementara DPR hanya mengejar kepentingannya sendiri,"
ujar Gus Solah.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang
sedang bersilaturahim dengan keluarganya di Desa Slatri, Brebes, Jawa
Tengah, Senin kemarin, juga membahas soal hubungan Istana dengan Islam
serta masalah lainnya yang dinilainya kurang wajar.
"Apakah pertemuan Istana dengan GNPF sudah berarti komunikasi Istana
dengan Islam sudah terbuka. Masih banyak timbul kesan belum serius,"
ujar Sudirman.
Pemimpin lembaga swadaya masyarakat atau LSM Institut Harkat Negeri
itu juga mengharapkan Istana untuk mawas diri setelah peristiwa 411 di
depan Istana Merdeka.
Minggu, 21 Mei 2017, Sudirman Said yang meluncurkan buku berjudul "Berpihak pada Kewajaran" di Jakarta.
Acara peluncuran buku yang sarat dengan kritik pada Istana itu menghadirkan pembicara Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanoeredjo dan Pemimpin Redaksi majalah Tempo Arif Zulkifli.
Di halaman 37 buku tersebut dimuat puisi ciptaan Sudirman Said
berjudul "Bukan Suasana Biasa". Sebagian dari puisi ini dibacakan oleh
Budiman.
Di awal dan di bagian tengah bait-bait puisi ini berbunyi begini,
"Jika ratusan ribu, jutaan, rakyat turun ke jalan, tertib-damai kumpul
dan bubarnya, apa pun sebab pendorongnya, pasti bukan suasana biasa...
Pak Presiden, keadaan ini sungguh tidak biasa. Tak mungkin dibiarkan
oleh Kepala Negara".
Dalam sidang kabinet di istana, Kamis (22/6/2017) lalu, Presiden
mengatakan bahwa ekonomi membaik dan harga-harga kebutuhan pokok bisa
ditekan stabil oleh Menteri Perdagangan Enggartiaso Lukito, Menteri
Perhubungan Budi Karya dan kawan-kawannya. Arus mudik, terutama lewat
jalur kereta api, cukup lebih lancar dan tertib.
Namun, mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Senin
kemarin, mengatakan ekonomi negeri ini stagnan sampai 2019. Ia juga
mengisyaratkan relasi pemerintah dengan Islam setelah pemilihan gubernur
DKI Jakarta masih perlu pemulihan.
Saat ini memang bukan suasana biasa. Suasana ini tidak bisa diatasi
dengan pawai atau parade, walaupun tanggal 17 Agustus nanti. Perlu
kecerdasan dan kepekaan untuk mengatasi situasi ini.
Sumber : kompas.com