Sidang ke-16 Ahok: Tidak ada penistaan agama menurut para saksi ahli
![]() |
Ada tujuh saksi ahli yang diajukan sebagai saksi dalam persidangan ke-16 ini, terdiri dari saksi ahli bahasa, saksi psikologi sosial, saksi ahli agama Islam dan saksi hukum pidana. |
Para saksi ahli yang diajukan tim
kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengatakan tidak ada
penistaan agama dalam pidato yang disampaikan gubernur petahana itu di
Kepulauan Seribu. Saksi ahli yang dihadirkan meliputi saksi ahli bahasa,
saksi psikologi sosial, saksi ahli agama Islam dan saksi hukum pidana.
Ahli
psikologi sosial Risa Permana Deli dalam kesaksiannya mengatakan partai
politik bergerak membelakangi iklim demokrasi yang mendukung
keberagaman dalam pencalonan Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur DKI
Jakarta.
Hal ini, menurut Risa, disebabkan dua kemungkinan: sosok Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap 'berbeda' dan masalah agama.
"Selama
ini Jakarta selalu dipimpin sosok yang adem. Dari 12 gubernur mewakili
pola Jawa yang santun, tidak akan berteriak. Kehadiran Pak Basuki dengan
sendirinya membuat pergeseran.
"Dan pergeseran itu tidak membuat
kita nyaman. Mengingkari pola yang kita miliki," kata Direktur Pusat
Kajian Representasi Sosial dan Laboratorium Psikologi Sosial itu,
seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia Mehulika Sitepu.
"Satu lagi masalah agama. Tapi saya tidak akan masuk ke wilayah agama karena itu adalah lubang yang membuat kita terpisah."
Tambahnya, Ahok mengutip Al Maidah dalam pidatonya karena kultur politik di Indonesia yang "selalu memakai permainan agama".
"Masalahnya
kultur politik Pilkada yang dipersoalkan yang menggunakan agama.
Celakanya selalu pakai Al Maidah. Sehingga Pak Basuki mengantisipasi
'kalau saya dijegal pasti pakai ini'."
"Masyarakat dibodohi, saya pakar sehingga saya bisa pakai kata dibodohi, dengan agama."
"Anda harus melihat seluruh rentetan kejadian untuk melihat mengapa dia merujuk Surat Al Maidah tersebut."
Fatwa bukan hukum positif
Ahli agama Islam Prof. Dr Hamka Haq menjelaskan bahwa fatwa berlaku menjadi hukum hanya jika diundangkan.
"Contohnya
UU untuk mencuri. Ayat (Al Maidah) potong tangan tidak diberlakukan
karena tidak diundangkan oleh negara", jelas Hamka.
"KUHP mengundangkan pencuri itu dipenjara. Tidak ada KUHP dihukum berdasarkan syariat agamanya."
"Jadi
kalau ada pencuri yang mengatakan, jangan kamu bohongi saya menggunakan
Al Maidah 38 itu artinya, "hukum saya, bukan potong tangan saya,
hukuman saya dipenjara". Kalau ada yang mengatakan "jangan kamu bohongi
saya pakai Al Maidah 51", artinya ayat itu tidak berlaku dalam Pilkada."
Ditanyakan JPU mengenai sifat keagamaan dalam MUI, Hamka yang
saat ini menjadi Dewan Pertimbangan MUI Pusat, menjawab bahwa tidak ada
sikap keagamaan dalam pedoman dasar MUI.
Sebelumnya MUI
mengeluarkan sikap keagamaan berdasarkan tekanan masyarakat yang
mengatakan bahwa pidato Ahok telah menista agama.
Terkait hal itu
Hamka pun mengatakan, "Tidak boleh lembaga masyarakat ikut tekanan dari
luar. Harus mandiri sesuai dengan tugasnya."
Berbeda dengan sikap MUI
Dia menambahkan bahwa tugas MUI adalah rekan pemerintah untuk memperlancar pembangunan dan membangun kerukunan umat beragama.
"Gubernur
bagian dari pemerintah, majelis ulama harus memandangnya sebagai mitra,
bukan sebagai rival. Oleh karena itu kalau ada sesuatu yang terjadi
dengan gubernur, harus dipanggil untuk tabayun."
Hamka, yang
keterangannya bertolak belakang dengan posisi MUI menutup kesaksiannya
dengan mengatakan bahwa "kehadirannya bukan untuk membela siapapun tapi
untuk membela Pancasila."
"Kita beragama, mari kita menjaga keberagaman untuk membangun bangsa ini", katanya dengan lantang.
'Dakwaan prematur'
Ahok
dijerat Pasal 156 dan 156a KUHP dengan dakwaan yang, "sengaja di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia dan (b) dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa."
Ahli Hukum Pidana Dr. I Gusti Ketut Ariawan
menjelaskan bahwa Pasal 156 bukanlah delik terhadap agama tapi delik
untuk golongan penduduk dan menurutnya, tidak lazim.
"Perumusan
Pasal 156 itu adalah perumusan pasal yang tidak lazim, terdiri dari dua
alinea. Alinea kedua saya anggap sebagai penjelasan," katanya kepada
para wartawan.
"Kalau Pasal 156a itu memang adalah penistaan
terhadap penodaan agama tetapi kita harus melihat secara historis kapan
UU itu keluar. Itu penyelamatan negara Indonesia dari munculnya
aliran-aliran kepercayaan yang dianggap membahyakan agama di Indonesia."
"Oleh karena itu penodaan terhadap agama itu diberlakukan tetap Pasal 156 namun penyelesaiannya di UU No.1 PNPS Tahun 1965."
UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 adalah mengenai pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
"Kita melihat judul UU itu pencegahan. Jadi ini preventif bukan represif," terang dosen Hukum Pidana Universitas Udayana itu.
"Dari
permohonan uji materi di MK tahun 2009 dan 2012 itu tidak dikabulkan.
UU itu tetap berlaku dan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
Pasal 156 berlaku penyelesaian UU No. 1 PNPS Pasal 2 Ayat 1."
Kepada
tim kuasa hukum, Ariawan bersaksi bahwa dakwaan yang diberikan "kabur
dan selayaknya dakwaan ini tidak dapat diterima karena tidak jelas,
prematur."
"Dakwaan prematur diselesaikan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Sumber : bbcindonesia.com