Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengusul Hak Angket 'Ahok Gate' Dianggap Gagal Paham

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat memberi sambutan acara sertijab Gubernur DKI Jakarta dari Plt Gubernur Sumarsono di Jakarta, Sabtu (11/2). (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta,  Pengajuan usulan hak angket yang diberi nama ‘Ahok Gate’ oleh empat fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat direspons negatif oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).

Usulan hak angket oleh Fraksi Demokrat, PAN, PKS, dan Gerindra berdasar pada status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai terdakwa perkara dugaan penodaan agama yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda).
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus menilai usulan hak angket ini terlalu mengada-ada dan lebih bersifat mencurigakan. Menurut Petrus, penggunaan hak angket tersebut menyiratkan kegagalan DPR untuk memahami UU yang mereka buat.

"Penggunaan hak angket oleh DPR terhadap sikap Mendagri dalam kasus Ahok semakin mencurigakan karena DPR seolah-olah kaget dan baru sadar terhadap substansi Pasal 83 UU Pemda 2014," kata Petrus dalam pesan singkat kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Senin (13/2).
Menurut Petrus, DPR sebagai lembaga pembentuk UU seharusnya tahu betul substansi dari ketentuan Pasal 83 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemda.

Pasal 83 dijelaskan, Mendagri memberhentikan sementara seorang Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah manakala menjadi terdakwa karena didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana paling singkat 5 (lima) tahun atas tindak pidana korupsi, teroris, makar, dan memecah-belah NKRI. 
Sementara, kata Petrus dengan memaksa mendepak Ahok dengan UU ini justru membuat Mendagri Tjahjo Kumolo melanggar ketentuan hukum karena limitasi pidana yang ditentukan pasal 83 (1) UU No.23 Tahun 2014.

"Secara limitatif telah menegaskan pemberlakuan pasal 83 haya pada kejahatan dengan kualifikasi pemidanaan minimum 5 (lima) tahun, tipikor, teroris, makar, dan memecah belah NKRI," jelas dia.

Petrus mengatakan DPR sebenarnya mempunyai fungsi kontrol atas penerapan UU di masyarakat. Namun, hal yang tak disembunyikan dari pengajuan hak angket ini menurut Petrus adalah fraksi yang mengusulkan hak angket merupakan lawan politik Ahok di Pilkada DKI 2017.

"Ya kita tahu itu dan makanya saya bilang UU ini jangan ditafsir lagi. Sepertinya mengada-ada," jelas dia.

Salah satu Wakil Ketua DPR yakni Fadli Zon yang menerima pengajuan hak angket menyatakan pengajuan hak angket ini sudah memenuhi syarat yang diatur dalam UU MD3 No. 27 tahun 2009 Pasal 79 ayat 3. Dijelaskan bahwa hak angket digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap tindakan atau kebijakan pemerintah yang diduga melanggar UU.

Kemudian pada Pasal 199 ayat 1 dijelaskan paling sedikit hak angket diajukan oleh 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Hak angket menjadi resmi apabila disetujui rapat paripurna yang dihadiri setengah dari anggota DPR.

Fraksi PAN sebagai salah satu penyokong hak angket melalui sekretarisnya Yandri Susanto mengatakan mengacu Pasal 83 UU 23/2014 tentang Pemda, kepala daerah yang didakwa hukuman lima tahun penjara harus dibebastugaskan untuk sementara.

Yandri berkata, keputusan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga dipermasalahkan karena Ahok kembali aktif menjadi gubernur pada hari yang masih terhitung masa kampanye pilkada.


Melanggar Hukum

Pengamat hukum dari Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Miko Kamal menilai pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta melanggar hukum karena bertentangan dengan sejumlah aturan yang mengarah pada pelanggaran konstitusi.

"Menurut Pasal 83 ayat 1 UU No. 23/2017, kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang sedang menjadi terdakwa pidana kejahatan yang diancam hukuman paling singkat lima tahun harus diberhentikan sementara dari jabatannya," kata dia di Padang, Selasa (14/2), seperti dilansir dari Antara.

Miko menjelaskan frasa paling sedikit 5 tahun dan paling lama 5 tahun tidak layak dijadikan perdebatan hukum karena sesungguhnya substansinya ada pada frasa tindak pidana kejahatan yang termuat di dalam Pasal 83 ayat 1 UU No. 23/2014.

Artinya, ujar dia, pembuat UU mengamanatkan kepada pemerintah bahwa setiap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana kejahatan harus diberhentikan sementara dari jabatannya.

Kemudian, Miko menilai frasa paling singkat 5 tahun yang tertera dalam Pasal 83 ayat 1 UU No. 23/2014 bukan halangan hukum untuk memberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama dari jabatannya.

Apalagi menggunakan dalih yang dibuat-buat oleh pihak-pihak tertentu bahwa seolah-olah dakwaan kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan ringan ataupun sedang, karena terdapat frasa selama-lamanya atau paling lama 5 tahun dalam rumusan Pasal 156a KUHP, katanya.

Menurutnya, terminologi kejahatan ringan, sedang, dan berat tidak dikenal di dalam hukum pidana, KUHP hanya membagi delik dalam dua tanda besar, yaitu kejahatan dan pelanggaran.

Kejahatan dikenal sebagai delik berat, sedangkan pelanggaran sebagai delik ringan yang keduanya terlihat dari kuantitas hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya, ujarnya.

Ia menyampaikan frasa paling singkat 5 tahun dan frasa selama-lamanya atau paling lama 5 tahun hanya batas teknis ancaman hukuman yang keduanya sama-sama diakui keberadaannya dalam sistem hukum Indonesia.

Keberadaan kedua frasa itu tetap memungkinkan majelis hakim menjatuhkan pelaku tindak pidana kejahatan selama 5 tahun, dan kedua-duanya juga ancaman hukuman yang normal bagi pelaku kejahatan dalam lingkup hukum pidana kita, ujarnya.

“Oleh sebab itu dengan alasan-alasan hukum di atas, Mendagri jelas-jelas telah melakukan pelanggaran hukum serius dan mengarah kepada pelanggaran konstitusi negara yang seharusnya dijunjung tinggi,” kata Miko.

Adapun ihwal pengajuan hak angket, Miko berpendapat sikap politik beberapa orang anggota DPR dan fraksi-fraksi di DPR sebagai jalan awal untuk melakukan impeachment terhadap seorang presiden yang melanggar hukum adalah keniscayaan dan harus didukung penuh oleh rakyat.

Miko mengingatkan dalam kondisi sosial politik saat ini presiden sebaiknya bersikap arif dan ekstra hati-hati menerima masukan-masukan yang disampaikan oleh pihak-pihak tertentu.

"Karena bisa jadi masukan-masukan tersebut merupakan ‘jebakan Batman’ yang dapat mengganggu keberlangsungan negara secara umum dan juga merugikan Presiden secara pribadi," katanya.

Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo dijadwalkan bertemu dengan pimpinan Mahkamah Agung (MA) Selasa ini untuk meminta pendapat soal kontroversi status hukum Ahok terkait pengaktifannya sebagai Gubernur Jakarta. Juru Bicara MA Suhadi memastikan, MA akan mengeluarkan pendapat jika diminta oleh lembaga negara untuk memperjelas sebuah status.



Sumber: cnnindonesia.com
Gambar: Google