Editorial WSJ Ingatkan Jokowi akan Bahaya Korbankan Ahok
![]() |
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat sidang kedua terkait dugaan kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, hari Selasa (20/12). (Foto: Antara) |
NEW YORK, Harian bisnis terkemuka The Wall Street Journal (WSJ) dalam editorialnya
27 Desember memberikan peringatan akan bahaya yang sedang mengancam
Indonesia apabila Ahok menjadi korban dari tuduhan penistaan agama yang
kini sedang dalam proses peradilan.
Harian yang berkantor pusat di New York itu, dalam edisi online-nya
mengingatkan apabila Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama, dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama, Jakarta bukan
hanya kehilangan seorang administrator dan reformator yang dapat
diandalkan. Itu juga akan merusak keharmonisan agama dan etnis di
Indonesia.
Editorial berjudul Indonesia's Bad Political Turn itu terbit
menyusul keputusan Majelis Hakim yang menerbitkan keputusan sela,
menolak nota keberatan Ahok serta memutuskan untuk melanjutkan peradilan
terhadap kasus penistaan agama yang didakwakan kepadanya.
Editorial WSJ mencoba menjernihkan masalah yang dihadapi Ahok dengan
mengurai kembali kronologi peristiwa itu serta bagaimana
kekuatan-kekuatan politik di dalam negeri bereaksi.
Dikatakan, setelah Ahok mengucapkan komentar yang diduga membuat umat
Islam tersinggung pada bulan September, kelompok-kelompok Islam secara
keliru mengutip pernyataannya. Hal itulah yang kemudian memicu kemarahan
terhadap Ahok. Akibatnya, pada 4 November terjadi unjuk rasa dengan
peserta 150.000 orang yang berbuntut pembakaran mobil dan penjarahan
toko-toko.
"Presiden Joko Widodo, yang adalah sekutu Ahok, tunduk kepada tekanan
Islamis dan membuka penyelidikan terhadap penistaan agama. Sampai pada
titik itu sepertinya Ahok masih dapat terbebas. Kebanyakan ahli agama
yang dimintai nasihat oleh polisi mengatakan bahwa tidak ada kesalahan
yang patut ditujukan kepadanya," demikian editorial WSJ, harian bertiras
terbesar di Amerika Serikat, dan telah memenangkan 39 penghargaan
Pulitzer.
Tapi kemudian, lanjut WSJ, Front Pembela Islam (FPI) dan
kelompok-kelompok ekstrem lainnya menggunakan media tradisional nasional
dan media online untuk meyakinkan kalaangan moderat dan kelas menengah
Muslim bahwa iman mereka sedang diserang. Lalu sebuah unjuk rasa
berbentuk doa bersama pada 2 Desember melawan Ahok digelar dengan
peserta 500.000.
"Pergeseran yang tercipta dalam opini publik memicu penataan ulang
politik. Presiden Jokowi berdiri di atas panggung dengan pemimpin Front
Pembela Islam Rizieq Shihab mengucapkan terima kasih kepada orang banyak
atas aksi damai. Sinyal yang jelas: Presiden 'membuang' mantan wakilnya
demi menjamin keselamatannya sendiri," demikian WSJ, koran yang sudah
berdiri sejak 1889 dan kini tirasnya mencapai 2,4 juta eksemplar.
Menurut WSJ, Jokowi menuduh "aktor politik" mendalangi demonstrasi
dan kampanye media, yang di luar kemampuan dari kelompok-kelompok Islam
yang relatif kecil. "Sudah jelas yang dia maksud adalah mantan Presiden
Susil Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto. Keduanya pensiunan
jenderal. (tetapi) Mereka menyangkal terlibat."
"Tapi kedua pemimpin itu memiliki kepentingan untuk mengalahkan
Ahok, karena pihak mereka memiliki calon yang bertarung dalam pemilihan
gubernur, termasuk putra SBY sendiri. Jika salah seorang dari mereka
menang, ia akan berada pada posisi yang baik untuk menantang Jokowi
dalam pilpres 2019."
Editorial WSJ ditutup dengan kalimat yang bernada seruan tetapi juga
peringatan kepada Jokowi akan bahaya yang mengekor di belakang kasus
Ahok. Diakui bahwa Jokowi adalah seorang politisi yang trampil dan
memiliki dukungan publik yang kuat. Namun, di sisi lain diingatkan bahwa
kendati Jokowi dapat memenangi pilpres 2019, tantangan yang dia hadapi
tidak ringan.
"kekuatan sektarian yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya tetap hidup.
Ini memberi ancaman terhadap sistem politik Indonesia yang sekular dan
terhadap ekonomi terbuka yang sedang dibangun oleh Presiden."
Sumber: satuharapan.com