Pengamat: Kemunculan Islam Politik jadi Ujian bagi Jokowi
![]() |
Presiden
Joko Widodo memberikan keterangan mengenai penanganan gempa di Aceh, di
Bali Nusa Dua Convention Center, Rabu, 7 Desember 2016. (foto:
Andylala/VOA).
|
Para pengkritik khawatir keputusan Presiden Joko Widodo
bisa
memberikan legitimasi kepada Islam politik aliran garis keras,
sehingga
berisiko bagi stabilitas sosial.
Menyusul aksi 2 Desember 2016 di Jakarta, yang merupakan demonstrasi
massa terbesar di Indonesia sejak berakhirnya kekuasaan diktator tahun
1998, Presiden Joko Widodo menghadapi sebuah dilema: haruskah ia
bergabung dengan aksi itu atau menjauh?
Dua pejabat senior mengatakan kepada kantor berita Reuters, bahwa
Presiden memilih untuk mengabaikan peringatan dari para petinggi
keamanan dan pergi menuju tempat aksi, tampil di samping pemimpin
kelompok garis keras Front Pembela Islam (FPI).
Langkahnya secara luas dipuji karena mendinginkan ketegangan yang
telah berlangsung selama berminggu-minggu akibat pernyataan Gubernur
Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, yang dianggap menista agama.
Namun para pengkritik khawatir keputusan Presiden bisa memberikan
legitimasi kepada Islam politik aliran garis keras, sehingga berisiko
bagi stabilitas sosial.
"(Presiden) Jokowi mungkin memiliki keuntungan taktis dalam jangka
pendek. Namun pada jangka panjang, Jokowi, pemerintahannya dan polisi
telah memainkan permainan yang berbahaya. Akibatnya, Islam politik telah
dikooptasi oleh kelompok garis keras dan Muslim yang progresif telah
dipinggirkan," ujar Tobias Basuki, analis di Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) Jakarta.
Muslim Indonesia dalam aksi 2 Desember 2016 untuk memprotes Gubernur Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama.
Kebangkitan Islam politik tahun ini telah dibarengi dengan
kemunculan kembali sel-sel Islamis militan yang telah mengucap sumpah
setia kepada Negara Islam (ISIS) dan telah terlibat dalam serangkaian
serangan dan rencana yang digagalkan.
Banyak dari para jihadis itu diindoktrinasi pertama kali di
masjid-masjid yang telah melahirkan kelompok-kelompok yang main hakim
sendiri seperti FPI, yang ada di garis depan protes massal 2 Desember di
Jakarta, menurut polisi kontraterorisme.
FPI bersikeras mereka bukan politis atau militan, namun hanya ingin menegakkan prinsip-prinsip Islam.
Komplotan Makar
Seorang pejabat pemerintah senior, yang menolak disebutkan namanya
karena tidak berwenang berbicara kepada media, mengatakan Presiden
awalnya enggan bergabung dengan pemimpin FPI Habib Rizieq di panggung.
Sebelum fajar terbit hari itu, polisi telah mengumpulkan sekelompok
tokoh yang diduga berencana menggunakan aksi 212 itu untuk meluncurkan
makar terhadap Presiden dengan memimpin para demonstran ke parlemen.
Pejabat tersebut, yang mendapat arahan dalam diskusi-diskusi antara
Kapolri dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya,
Luhut Pandjaitan, mengatakan Rizieq ada dalam daftar asli 20 orang yang
diduga akan melakukan makar. Polisi tidak dapat mengukuhkan adanya
daftar tersebut.
Rachmawati Soekarnoputri, yang ditangkap karena tuduhan rencana makar, dan pengacaranya Yusril Ihza Mahendra dalam jumpa pers di kediamannya di kawasan Jatipadang, Jakarta Selatan, Rabu (7/12). (Fathiyah Wardah/VOA) |
Rizieq tidak ditahan, bahkan ia diizinkan memimpin aksi tersebut.
Luhut meminta polisi untuk menahan orang-orang yang kekuasaannya
paling sedikit dalam daftar berisi 20 orang itu untuk mengirim pesan
bahwa pemerintah tidak akan mentoleransi siapa pun yang mencoba
mengeksploitasi ketegangan-ketegangan itu, ujar pejabat tersebut.
Luhut juga mendesak Presiden muncul dalam aksi untuk menghapus atmosfer permusuhan.
"Ia [Presiden] mengatakan tidak ingin terlihat berdiri... di atas
panggung yang sama dengan Habib Rizieq, tapi Luhut mengatakan ini
kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan yang nyata dan meredakan
ketegangan," ujar seorang pejabat Istana.
Kantor Kepresidenan tidak merespon permintaan akan pernyataan.
Rizieq, 51, juga tidak dapat memberikan komentarnya.
Tim Lindsey, ahli undang-undang Indonesia di University of Melbourne,
mengatakan Presiden Jokowi, barangkali sadar akan sejarah kelam negara
ini dalam kerusuhan, lebih memilih menenangkan massa daripada mencegah
kebangkitan Islam politik.
"Ini sekarang tentang 'massa', massa yang mudah dimanipulasi yang ada
di jalanan, mimpi buruk bagi pemimpin politik mana pun di Indonesia
mengingat peristiwa-peristiwa tahun 1998, ketika Soeharto mundur," ujar
Lindsey.
"Jokowi sekarang harus mengambil tindakan keras karena ia telah
membiarkan situasi tidak terkendali."
Sumber: voaindonesia.com