Media Asing Ingatkan Intrik para Jenderal Jatuhkan Ahok
![]() |
Basuki Tjahaja Purnama (Karikaturis: Pramono Pramoedjo) |
JAKARTA, Salah satu media tertua di Inggris yang sangat dihormati, The Economist,
memberikan peringatan serius tentang ketidakpastian yang dihadapi
Indonesia apabila kasus penistaan agama yang kini disidangkan di
pengadilan, menetapkan Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama, bersalah.
The Economist mengingatkan, hal itu bukan saja menyebabkan
terganggunya reputasi Indonesia sebagai negara toleran, lebih dari itu
Indonesia akan menjadi negara yang dikendalikan oleh 'preman' garis
keras yang dikemas dalam agama.
Lebih buruk lagi, The Economist
mengingatkan kemungkinan munculnya intrik para jenderal memanfaatkan
keadaan untuk memperebutkan kekuasaan. Pada akhirnya, kemungkinan
terburuk pertumpahan darah komunal bisa terjadi apabila kasus ini tidak
ditangani hati-hati.
Dalam tulisan berjudul The Persecution of a Christian Mayor in Indonesia, edisi 24 Desember 2016, The Economist memulai
tulisannya dengan menggambarkan sosok Basuki Tjahaja Purnama, yang pada
awal kebangkitannya menjadi wakil gubernur DKI Jakarta dan kemudian
menjadi gubernur, memberikan harapan besar.
"Dia dan bosnya yang populer, Joko Widodo, telah berjanji menjalankan
program yang berani untuk memperbarui perkotaan untuk menyelamatkan
kota metropolis yang nyaris tenggelam dan macet.
Terlebih lagi, negara
demokrasi dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia itu
tampaknya meningkatkan reputasinya dalam hal toleransi," demikian The Economist memulai tulisannya.
Namun, reputasi tentang toleransi itu tiba-tiba dipertanyakan,
semenjak Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Setelah Ahok menunjukkan
popularitas yang tinggi dalam pertarungan pemilihan gubernur DKI,
kelompok-kelompok Islam garis keras telah membawa ratusan ribu pengunjuk
rasa menyuarakan sikap anti-Ahok.
Ahok dikatakan sombong, tidak sabar, kasar dan tak menghormati tata
krama Jawa. Tetapi di sisi lain dia efektif. Warga Jakarta
mengapresiasi kinerjanya dalam mengatasi kemacetan, mengendalikan banjir
dan dalam hal pelayanan kesehatan.
Puncak dari penentangan terhadap Ahok adalah tuduhan penistaan agama
yang diarahkan kepadanya, ketika ia berbicara di hadapan para nelayan di
Kepulauan Seribu. Demonstrasi besar-besaran dikerahkan, awalnya pada
empat November lalu yang dihadiri 200.000 orang. Lalu pada 2 Desember
dengan kehadiran massa dua kali lipat.
Presiden Joko Widodo akhirnya turun untuk mengatasinya. Namun, menurut The Economist, "sejak itu jelas bahwa para demonstran telah menemukan jalan mereka dan bahwa Ahok akan dituntut dan mungkin dipenjara."
The Economist mengatakan keadaan ini memang patut
disesalkan. Ahok jelas tidak bijaksana. "Tetapi jika dia dinyatakan
bersalah melakukan kejahatan, sulit untuk melihat siapa sesungguhnya
korbannya," tulis The Economist.
Yang pasti, menurut The Economist, walau Jokowi enggan
menyaksikan mantan pasangannya itu diadili, ia tampaknya sudah melunak.
Polisi juga terbelah tentang apakah Ahok akan diadili atau tidak.
Organisasi Muslim terbesar, Nadhatul Ulama, juga tidak banyak bersuara.
Dan para pemimpin mengeluh lebih mudah mengajak orang pergi
berdemonstrasi ketimbang pergi ke perpustakaan.
Akhirnya, menurut The Economist, yang tersisa adalah
kelompok garis keras, Front Pembela Islam (FPI), yang tampak seperti
memimpin. Melalui media sosial, mereka menyebarkan kampanye yang
menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran.
Mereka telah menyebar ke kampung-kampung di Jakarta. Salah satu tempat, yang diamati oleh The Economist,
adalah Pasar Ikan, area rawan banjir dekat pelabuhan tua, yang oleh
Ahok dibersihkan April lalu. Beberapa keluarga yang dulu digusur telah
kembali dan dengan bantuan FPI, mereka membangun kembali masjid mereka.
Hanya saja namanya telah berubah: dari al-Ikhlas menjadi al-Jihad.
Pada akhirnya, The Economist mengingatkan implikasi dari kasus Ahok ini akan berbuntut panjang. Pertama, menurut The Economist, walaupun mereka menyangkal, sangat jelas bahwa para pesaing Ahok dalam Pilkada diuntungkan oleh kasus yang menimpa Ahok.
Lebih lanjut, pertarungan Pilkada kali ini menjadi proxy
dari pertarungan pemilihan presiden 2019. "Saat ini popularitas Jokowi
sangat tinggi. Satu-satunya cara bagi mereka yang ingin jadi presiden
untuk mengalahkan dia adalah mengaitkannya dengan mantan wakil
gubernurnya," tulis The Economist.
Namun, implikasi yang lebih serius adalah implikasi kedua yang oleh The Economist disebut sebagai intrik oleh para jenderal. FPI, menurut The Economist, adalah ciptaan pasukan keamanan, setelah kediktatoran Soeharto berakhir, untuk melawan mahasiswa sayap kiri.
"Sekarang ini, tetap berguna bagi tentara untuk mendukung FPI sebagai
cara menegaskan kembali pengaruh domestiknya setelah hilang pasca
demokratisasi di akhir 1990-an," tulis The Economist.
"Banyak jenderal, seperti FPI, melihat musuh di mana-mana, termasuk
etnis Tionghoa Indonesia yang mengendalikan bisnis yang sukses, beberapa
dari mereka dekat dengan Ahok," tulis The Economist.
"Sementara itu, Panglima TNI yang agak eksentrik, Gatot Nurmantyo,
melihat Tiongkok sebagai kekuatan musuh yang melancarkan "perang proxy"
yang bertujuan untuk merusak kaum muda Indonesia. Dia juga menuduh
Tiongkok merebut kepemimpinan ekonomi (Jokowi telah mendorong banyak
investasi Tiongkok di bidang infrastruktur)," tulis The Economist.
Dalam konteks ini, tulis The Economist, sindiran yang
berkembang bahwa Ahok adalah semacam kolumnis kelima Tiongkok sangat
mengganggu. "Sebagian tentara berada di balik kerusuhan berdarah
ditujukan kepada etnis-Tionghoa Indonesia pada tahun 1998, dan tentara
berperan penting dalam gerakan pembantaian anti Tionghoa yang luas dari
1965."
Pada akhirnya, menurut The Economist, penganiayaan Ahok ini
merupakan pukulan bagi hak-hak semua minoritas di Indonesia, apakah itu
Ahmadiyah Indonesia, Kristen dan bahkan kaum gay. Namun apabila yang
terburuk terjadi, kasus Ahok dapat memunculkan risiko pertumpahan darah
komunal seperti yang terjadi dua dekade lalu.
"Indonesia harus hati-hati menjaga reputasi sebagai negara toleran, yang dibangun secara susah-payah," tutup The Economist.
Sumber: satuharapam.com