Guru Besar STT Jakarta Ajak MUI Diskusi Soal Sebutan Kafir
![]() |
Prof. Dr. Jan Sihar Aritonang (Foto: Reformata) |
JAKARTA, Guru Besar
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Jan Sihar Aritonang, mengimbau Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut
menambah panas suasana dan suhu kehidupan di Indonesia. Sebaliknya, ia
mengharapkan MUI menyampaikan fatwa ataupun pendapat yang mendatangkan
kesejukan.
Harapan itu ia sampaikan sehubungan dengan terbitnya Fatwa MUI nomor
56 Tahun 2016 tertanggal 14 Desember 2016, tentang Hukum Menggunakan
Atribut Keagamaan Non-Muslim, yang dari latar belakang dan konteks
terbitnya fatwa ini, menurut dia, dapat membawa tafsiran bahwa yang
disebut kafir dalam fatwa itu adalah umat Kristen.
Melalui sebuah surat yang ia kirimkan kepada Komisi Fatwa MUI, (dan
ia tembuskan kepada Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI),
Pemimpin dan dosen STT Jakarta serta sejumlah rekannya) Jan
Aritonang mengatakan bila Komisi Fatwa MUI, sehubungan dengan atribut
keagamaan non-muslim, menyebut umat Kristen sebagai kafir, perlu Komisi
Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat.
Selanjutnya, Jan Aritonang mengatakan bersedia diundang untuk
mendiskusikan hal ini dalam suasana persahabatan dan persaudaraan.
"Sepengetahuan saya, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan
bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah
menyebut mereka kafir.
Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip
pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang
menyebut orang Kristen sebagai kafir," kata Jan Aritonang, dalam
butir ketujuh dari sembilan butir isi suratnya.
Selengkapnya, berikut ini isi surat Jan Aritonang.
Yang terhormat: Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Jalan Proklamasi 51,
Jakarta Pusat 10320
Jalan Proklamasi 51,
Jakarta Pusat 10320
Salam sejahtera dan dengan hormat,
Sehubungan dengan terbitnya Fatwa MUI nomor 56 Tahun 2016
tertanggal 14 Desember 2016, tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan
Non-Muslim, perkenankanlah saya menyampaikan beberapa catatan dan
pertanyaan berikut:
1. Di dalam judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak
secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah
Non-Muslim adalah umat atau pemeluk agama Kristen (=Nasrani). Namun dari
latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan istilah itu adalah umat Kristen.
2. Di dalam fatwa tersebut tidak secara rinci disebut apa-apa
saja yang dimaksud dengan atribut ataupun simbol keagamaan non-muslim
yang dinyatakan haram, kendati pada Keputusan, butir Ketentuan Umum,
dinyatakan bahwa “dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan
adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas
atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu,
baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari
agama tertentu.”
3. Kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa
yang dimaksud adalah pernik-pernik hiasan yang digunakan banyak orang
untuk merayakan Hari Natal, misalnya: pohon terang dengan berbagai
hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa,
kereta salju, lilin, dsb.
4. Sampai sekarang gereja Kristen (yang terdiri dari berbagai
aliran dan organisasi) belum pernah membuat konsensus tentang
atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu. Bahkan ada juga
gereja yang tidak merayakan hari Natal dan tidak menggunakan simbol
salib. Atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu muncul
dari tradisi sebagian gereja, terutama yang di Barat (Eropa dan
Amerika), yang kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk
Indonesia.
5. Produksi, penyebaran, dan perdagangan benda-benda itu tidak
mempunyai hubungan langsung dengan iman Kristen, termasuk iman kepada
Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen sebagai Tuhan Allah yang
menjelma menjadi manusia, serta sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia.
Penyebaran, produksi, dan perdagangan benda-benda itu lebih dimotivasi
oleh hasrat untuk mendapat keuntungan material; itulah sebabnya
orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas itu berasal dari berbagai
penganut agama. Bahkan boleh jadi orang yang tak beragama pun ikut
memproduksi dan memperdagangkannya. Karena itu saya tidak mempersoalkan
atau berkeberatan kalau Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa menggunakan,
memproduksi, menyebarkan, dan memperdagangkan benda-benda atau
atribut-itu adalah haram.
6. Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan
Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits
Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang
pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir.
Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI
dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat
Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan
bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan
rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya maka lebih dari 5 milyar
penduduk dunia adalah kafir.
7. Sepengetahuan saya, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan
bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah
menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip
pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang
menyebut orang Kristen sebagai kafir.
8. Karena itu, bila Komisi Fatwa MUI, sehubungan dengan atribut
keagamaan non-muslim, menyebut umat Kristen sebagai kafir, perlulah
Komisi Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat.
Saya bersedia diundang untuk mendiskusikan hal ini dalam suasana
persahabatan dan persaudaraan.
9. Dengan itu pula saya mengimbau Komisi Fatwa MUI agar tidak
menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu
kehidupan di negeri kita ini, sebaliknya menyampaikan fatwa ataupun
pendapat yang mendatangkan kesejukan. Izinkanlah umat Kristen di
Indonesia merayakan hari Natal (kelahiran) Yesus Kristus, yang kami
yakini sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia, dalam suasana
tenteram dan sejahtera.
Salam hormat teriring doa,
Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D. Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta