Pengagum Margaret Thatcher Jadi Capres Perancis
![]() |
Dalam beberapa kesempatan, Fillon kerap mengutarakan kekagumannya kepada Thatcher denga kebijakan sosial garis kerasnya. (Reuters/Christian Hartmann) |
Fillon secara resmi menjadi capres dari Partai Republik setelah mengalahkan rivalnya yang lebih berhaluan liberal, Alain Juppe, dalam pemilihan pendahuluan partai pada Minggu (27/11).
"Kemenangan ini milik saya. Ini adalah kemenangan substantif yang berdasarkan kepercayaan. Kita memiliki segala aset untuk menjadi negara modern yang berdaulat dalam kepemimpinan di Eropa," ujar Fillon dalam pidato kemenangannya.
Layaknya kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat, keunggulan Fillon dalam pemilu awal ini juga mengejutkan, apalagi dengan angka mutlak, sekitar 60 persen.
Seperti dilansir AFP, hasil ini menunjukkan pergeseran peta politik di Barat setelah serangkaian hasil mengejutkan lainnya, seperti menangnya referendum Brexit yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa, juga tentunya kemenangan Trump.
Fillon sendiri merupakan mantan PM Perancis yang konservatif dan kerap menekankan beberapa isu, seperti pemangkasan belanja publik, menghapuskan pajak kekayaan, mengurangi imigrasi, serta investasi besar di bidang keamanan, pertahanan, dan peradilan.
Kebijakan ini disebut-sebut terinspirasi dari mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher. Dalam beberapa kesempatan, Fillon memang kerap mengutarakan kekagumannya kepada Thatcher berkat kebijakan sosial garis kerasnya.
Dalam pemilu ini, Fillon akan berhadapan dengan Marine Le Pen, pemimpin dari partai sayap kanan Perancis, Partai Front Nasional.
Le Pen kerap disamakan dengan Trump karena kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial yang dianggap mendiskriminasi umat Muslim dan imigran. Le Pen mengklaim ingin melindungi negaranya dari para ekstremis dengan menolak nilai-nilai yang banyak dibawa oleh imigran.
Partai pimpinan Le Pen pun dikenal sebagai kubu anti-Islam dan imigran di Perancis. Le Pen bahkan pernah digugat karena menyamakan salat berjamaah di Perancis dengan invasi Nazi ke Roma.
Banyak pihak kemudian menyebut bahwa gagasan-gagasan dari Trump dan Le Pen ini sangat mengisolasi dan membuat negara tak berkembang, bahkan justru menimbulkan ketakutan dan ketidakstabilan. Namun menurut Le Pen, kemenangan Trump menunjukkan bahwa argumen-argumen tersebut dapat dipatahkan.
"Donald Trump membuat apa yang awalnya benar-benar tidak mungkin menjadi mungkin. Ini adalah pertanda harapan bagi mereka yang tidak tahan dengan globalisasi liar. Mereka tidak dapat membiarkan kehidupan politik dipimpin para elite," kata Le Pen.
Sebaliknya, Le Pen justru mengatakan bahwa kini, Presiden Perancis, Francois Hollande, yang harus merasa terisolasi karena peta politik mulai berubah sejak Trump memenangkan pemilu AS.
Sementara itu, nasib Hollande dalam pemilu tahun depan juga masih dipertanyakan, apalagi dengan isu perpecahan di dalam partai tempat sang presiden bernaung, Sosialis Perancis, yang berhaluan liberal.
Di tengah menurunnya popularitas Hollande karena dianggap tak mampu mencegah terorisme, tiba-tiba beredar rumor bahwa Perdana Menteri Perancis, Manuel Valls, akan menjadi rival sang presiden dalam pemilu awal untuk menentukan capres dari Partai Sosialis pada Januari mendatang.
Sumber: cnnindonesia.com