SRI MULLYANI: BADAN PERPAJAKAN HARUS KREDIBEL DAN BEBAS KORUPSI
Jakarta,
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih harus
mengkaji efektivitas pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan (BPP),
lembaga otonom yang bakal menjadi wajah baru Direktorat Jenderal Pajak
(DJP).
Menurutnya, permasalahan sistem perpajakan di Indonesia bukan terletak pada badan atau direktorat yang mengelolanya. Melainkan lebih pada fungsi dan kredibilitas dari para petugas pajaknya.
“Jadi bukan pada masalah badannya, tetapi pada masalah, apakah
kelembagan ini akan bisa melaksanakan fungsinya secara kredibel, secara
bersih dari korupsi, dan secara efektif. Itu yang paling penting bagi
kita untuk mendesainnya,” ujar Sri Mulyani di kantornya, Rabu (12/10).
Intinya, tegas Sri Mulyani, Kemenkeu akan terus mengusahakan pemisahan DJP menjadi BPP. Namun, ia menegaskan, selama pembentukan badan otonom tersebut selaras dan sesuai, serta konsisten dengan tujuan reformasi perpajakan.
Untuk itu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu akan mengevaluasi sejarah dan kinerja DJP. Hal itu dilakukan agar BPP nantinya bisa bekerja efektif, kredibel, dihormati, dan bisa mengoreksi kesalahan-kesalahan dari pemungutan pajak sebelumnya.
“Karena kalau kita mendesain undang-undang kan tidak bisa men-copy dari negara lain tetapi kita harus lihat situasi di Indonesia seperti apa, historisnya seperti apa, lingkungannya seperti apa,” jelasnya.
Awalnya, pemisahan DJP dari Kemenkeu dan berganti nama menjadi BPP ditargetkan tuntas pada awal 2017. Wacana ini berkembang sejak pertengahan tahun lalu, ketika DJP masih dipimpin oleh Sigit Priadi Pramudito.
Sigit ketika itu menyatakan, pemerintah telah menyiapkan Amanat Presiden (Ampres) agar DPR segera memasukkan agenda pembahasan BPP ke dalam pembahasan amandemen Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Targetnya per Januari 2017, DJP resmi ganti baju jadi Badan Penerimaan Pajak,” kata Sigit, Agustus 2015.
Namun sampai saat ini, pembahasan amandemen UU KUP masih mandek di parlemen setelah pemerintah dan DPR memutuskan untuk memprioritaskan pengesahan UU Pengampunan Pajak.
Menurutnya, permasalahan sistem perpajakan di Indonesia bukan terletak pada badan atau direktorat yang mengelolanya. Melainkan lebih pada fungsi dan kredibilitas dari para petugas pajaknya.
|
Intinya, tegas Sri Mulyani, Kemenkeu akan terus mengusahakan pemisahan DJP menjadi BPP. Namun, ia menegaskan, selama pembentukan badan otonom tersebut selaras dan sesuai, serta konsisten dengan tujuan reformasi perpajakan.
Untuk itu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu akan mengevaluasi sejarah dan kinerja DJP. Hal itu dilakukan agar BPP nantinya bisa bekerja efektif, kredibel, dihormati, dan bisa mengoreksi kesalahan-kesalahan dari pemungutan pajak sebelumnya.
“Karena kalau kita mendesain undang-undang kan tidak bisa men-copy dari negara lain tetapi kita harus lihat situasi di Indonesia seperti apa, historisnya seperti apa, lingkungannya seperti apa,” jelasnya.
Awalnya, pemisahan DJP dari Kemenkeu dan berganti nama menjadi BPP ditargetkan tuntas pada awal 2017. Wacana ini berkembang sejak pertengahan tahun lalu, ketika DJP masih dipimpin oleh Sigit Priadi Pramudito.
Sigit ketika itu menyatakan, pemerintah telah menyiapkan Amanat Presiden (Ampres) agar DPR segera memasukkan agenda pembahasan BPP ke dalam pembahasan amandemen Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Targetnya per Januari 2017, DJP resmi ganti baju jadi Badan Penerimaan Pajak,” kata Sigit, Agustus 2015.
Namun sampai saat ini, pembahasan amandemen UU KUP masih mandek di parlemen setelah pemerintah dan DPR memutuskan untuk memprioritaskan pengesahan UU Pengampunan Pajak.
Sumber: cnnindonesia.com