'DISKRIMINASI RAS' DI YOGYAKARTA: KENAPA KETURUNAN CINA TAK BOLEH PUNYA TANAH?
![]() |
Siput Lokasari (berpeci) bertemu dengan Wakil Gubernur Yogyakarta Selasa (04/10). |
Dalam beberapa
bulan terakhir ini, seorang penduduk Yogyakarta berusia 60-an, berupaya
menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak
kepemilikan tanah di kota kelahirannya yang ia anggap diskriminatif.
Siput
Lokasari mulai mengontak Sultan beberapa bulan lalu untuk meminta
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ini membatalkan Surat Instruksi
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan pada 1975 lalu,
berisi larangan warga nonpribumi memiliki tanah.
"Kenapa harus ada
diskriminasi ras... Orang Tionghoa bekerja setengah mati mengumpulkan
uang sedikit demi sedikit dan beli tanah hak milik, kenapa hak milik
dipaksa untuk dirampas dikembalikan ke negara dan orang tersebut diberi
hak sewa. Orang Tionghoa ataupun orang India yang diangggap non
pribumi... Kenapa sampai begitu?" kata Siput kepada BBC Indonesia.
Tanah yang dimaksud Siput adalah yang dibeli istrinya di Kulon
Progo seluas 1.000 m2 sekitar enam bulan lalu dan sampai kini tak bisa
diubah menjadi hak milik atas namanya karena -seperti dikutipnya dari
pejabat Badan Pertanahan Nasional setempat- "Istri bapak orang Cina."
Upaya
untuk menuntut hak juga dilakukan sejumlah penduduk Yogyakarta lain
termasuk oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, beberapa tahun lalu.
Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang disebut 'diskiriminatif' itu.
Nonpribumi dan pribumi?
"Seharusnya Yogyakarta sebagai salah satu daerah
berbudaya di Indonesia telah menghapus kebijakan yang bernada
diskriminasi. Kebijakan diskriminasi pada akhirnya hanya akan menghambat
pembangunan di daerah tersebut," tulis Komnas melalui situs tertanggal
23 September 2015.
"Urusan ini sudah panjang sekali. Kami ke Komnas HAM sejak 2009 dan Komnas HAM keluarkan rekomendasi pada 2014," tambah Siput.
Siput
juga bercerita tentang penduduk Yogyakarta lain, Handoko, yang menempuh
gugatan uji materi ke Mahkamah Agung beberapa tahun lalu, namun ditolak
karena "Surat Instruksi pada 1975 itu bukan produk undang-undang."
Tetapi
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, Arie
Yuriwin, mengatakan pihaknya menjadikan putusan MA sebagai
yurisprudensi.
"Putusan MA atas gugatan para nonpribumi untuk
memperoleh hak milik dimenangkan oleh pihak Keraton, sehingga keputusan
MA kita jadikan sebagai yurisprudensi... Ketentuan wakil gubernur itu
tetap berlaku di DIY," kata Arie kepada BBC Indonesia, Rabu (05/10).
Arie juga mengatakan masalah ini sudah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri dan pihaknya menunggu keputusan.
Siput
dan rekan-rekannya menyatakan masih akan terus berupaya untuk menghapus
diskriminasi yang "tak terjadi di tempat lain" di Indonesia.
"Negara
saya tak lagi mengenal adanya warga negara pribumi dan nonpribumi. Yang
ada adalah warga negara Indonesia. Kenapa kami masih dianggap di sini
(Yogyakarta) sebagai nonpribumi?"
"Saya ingin gubernur taat kepada
perundangan... Saya ingin peraturan perundangan di tempat saya lahir
ini ditegakkan oleh siapapun, jangan ada yang memalukan misalnya
diskriminasi ras," tambah Siput.
Sumber: bbc.com
Image copyright
Mawa Kresna