CERITA KEGELISAHAN BESAR NELAYAN KECIL
Jakarta,
Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Bahunya kekar, kulitnya coklat terbakar matahari dengan wajah tegas namun teduh di saat bersamaan. Jika diam dia tampak menyeramkan, bagai tukang pukul penagih utang.
Lain lagi kalau melihat dia tersenyum. Pandangan mata garang itu sirna sudah, digantikan dengan mata bulan sabit yang diam-diam menyembul saat dia tertawa cekikikan. Tawanya tak pernah sirna saat dia bercerita, betapa bahagia dia terlahir sebagai seorang nelayan.
"Ini pekerjaan turun temurun, kakeknya kakek saya, bapak saya, dan sekarang saya, anak saya juga nanti pasti melaut," katanya bangga, 7 Oktober lalu.
Namanya Surya, buruh nelayan Muara Angke yang telah bersahabat dengan Laut seumur hidupnya. Saat ini Surya berusia 56 tahun, dan dia mengaku telah berlayar sejak usia 6 tahun.
"Dulu ikut sama bapak saya, kakeknya anak saya ini, lupa tahun berapa," akunya, yang berarti kurang lebih setengah abad telah Surya habiskan bergelut dengan asinnya gelombang.
Surya mengaku, betapa bangga dia bisa hidup mengais rezeki sebagai seorang nelayan. Menurutnya, pekerjaan itu adalah salah satu karunia terbesar dari Tuhan.
Surya memang tidak lulus sekolah dasar, tapi dia tahu cara menghitung gelombang pasang.
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Bahunya kekar, kulitnya coklat terbakar matahari dengan wajah tegas namun teduh di saat bersamaan. Jika diam dia tampak menyeramkan, bagai tukang pukul penagih utang.
Lain lagi kalau melihat dia tersenyum. Pandangan mata garang itu sirna sudah, digantikan dengan mata bulan sabit yang diam-diam menyembul saat dia tertawa cekikikan. Tawanya tak pernah sirna saat dia bercerita, betapa bahagia dia terlahir sebagai seorang nelayan.
"Ini pekerjaan turun temurun, kakeknya kakek saya, bapak saya, dan sekarang saya, anak saya juga nanti pasti melaut," katanya bangga, 7 Oktober lalu.
Namanya Surya, buruh nelayan Muara Angke yang telah bersahabat dengan Laut seumur hidupnya. Saat ini Surya berusia 56 tahun, dan dia mengaku telah berlayar sejak usia 6 tahun.
"Dulu ikut sama bapak saya, kakeknya anak saya ini, lupa tahun berapa," akunya, yang berarti kurang lebih setengah abad telah Surya habiskan bergelut dengan asinnya gelombang.
Surya mengaku, betapa bangga dia bisa hidup mengais rezeki sebagai seorang nelayan. Menurutnya, pekerjaan itu adalah salah satu karunia terbesar dari Tuhan.
Surya memang tidak lulus sekolah dasar, tapi dia tahu cara menghitung gelombang pasang.
"Saya baca tulis pas-pasan, tapi saya hidup sejahtera sekarang. Memang bukan kapal saya, saya buruh tapi saya bangga," tuturnya.
Surya hanya seorang buruh kapal. Dia tidak pernah mampu membeli kapal penangkap ikan yang harganya mencapai ratusan juta rupiah. Mengecap asin air laut dengan menaiki kapal orang bagi Surya memang sudah lebih dari cukup.
"Iya kadang iri, tapi enggak apa yang penting anak istri bisa makan," katanya.
Namun kebahagiaan itu kian hari kian meredup. Siang itu, sambil membolak balik ikan asin yang dia jemur di pinggir dermaga, Surya tertawa miris. Lama dia melamun, pandangannya lurus ke arah lautan.
"Saya enggak tahu nanti bisa melaut lagi atau tidak, lama-lama kok rasanya makin susah," dia menumpahkan kegelisahannya.
Surya mengaku kesulitan yang dia rasakan adalah imbas dari kesusahan yang juga dirasakan pemilik kapal tempat dia bekerja. Hampir sebagian kapal milik majikannya tidak bisa beroperasi lantaran tersangkut izin Menteri Kelautan dan Perikanan.
Sang majikan awalnya memiliki 53 kapal, dan sekarang hanya sejumlah dua puluhan yang bisa melaut. Itu pun dengan ukuran kecil.
Cerita lain datang dari Lampung. Ayah sembilan anak yang menggantungkan hidupnya dan hidup keluarganya dari hasil tangkapan ikan.
Aziz (62), fisiknya tak sekuat saat usianya masih belasan. Usianya kini seredup sorot matanya yang memantul bening. Aziz mengatakan, dia tak lagi melaut sejak hampir dua tahun belakangan.
"Sekarang antar jemput bule (warga negara asing) yang mau piknik, kalau melaut sudah enggak mampu saya," kata Aziz.
Ketidakmampuan Aziz bukan tanpa alasan. Aziz pernah harus menepi secara paksa, melajukan kapalnya dalam kecepatan maksimal, bahkan dia mengaku harus kuat menahan arus demi melarikan diri dari Satuan Petugas Laut yang berpatroli menanyakan berbagai surat izin yang belum juga Aziz urus.
"Bukannya saya mau membohongi negara, urus surat izin itu ribetnya minta ampun, harus ke menteri ini, harus ke gedung itu, mana urusnya di Jakarta, bayarnya mahal, saya ini cuma nelayan tradisional, nelayan kecil," ucap Aziz.
Hal inilah yang mendorong Aziz untuk menyerah dari pekerjaan yang telah dia geluti lebih dari setengah masa hidupnya.
"Jujur yah, sekarang itu ikan banyak, tapi kami juga makin kesulitan karena banyak aturan," tuturnya.
Sejahtera Laut Tak Sejahtera Pelaut
Tak ada yang bisa menyangkal jika keadaan laut Indonesia saat ini tergolong lebih baik dari sebelumnya. Ikan yang melimpah ruah dan semakin berkurang aktifitas illegal fishing kapal asing adalah buah dari upaya wanita nomor satu di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Surya hanya seorang buruh kapal. Dia tidak pernah mampu membeli kapal penangkap ikan yang harganya mencapai ratusan juta rupiah. Mengecap asin air laut dengan menaiki kapal orang bagi Surya memang sudah lebih dari cukup.
"Iya kadang iri, tapi enggak apa yang penting anak istri bisa makan," katanya.
Namun kebahagiaan itu kian hari kian meredup. Siang itu, sambil membolak balik ikan asin yang dia jemur di pinggir dermaga, Surya tertawa miris. Lama dia melamun, pandangannya lurus ke arah lautan.
"Saya enggak tahu nanti bisa melaut lagi atau tidak, lama-lama kok rasanya makin susah," dia menumpahkan kegelisahannya.
Surya mengaku kesulitan yang dia rasakan adalah imbas dari kesusahan yang juga dirasakan pemilik kapal tempat dia bekerja. Hampir sebagian kapal milik majikannya tidak bisa beroperasi lantaran tersangkut izin Menteri Kelautan dan Perikanan.
Sang majikan awalnya memiliki 53 kapal, dan sekarang hanya sejumlah dua puluhan yang bisa melaut. Itu pun dengan ukuran kecil.
Cerita lain datang dari Lampung. Ayah sembilan anak yang menggantungkan hidupnya dan hidup keluarganya dari hasil tangkapan ikan.
Aziz (62), fisiknya tak sekuat saat usianya masih belasan. Usianya kini seredup sorot matanya yang memantul bening. Aziz mengatakan, dia tak lagi melaut sejak hampir dua tahun belakangan.
"Sekarang antar jemput bule (warga negara asing) yang mau piknik, kalau melaut sudah enggak mampu saya," kata Aziz.
Ketidakmampuan Aziz bukan tanpa alasan. Aziz pernah harus menepi secara paksa, melajukan kapalnya dalam kecepatan maksimal, bahkan dia mengaku harus kuat menahan arus demi melarikan diri dari Satuan Petugas Laut yang berpatroli menanyakan berbagai surat izin yang belum juga Aziz urus.
"Bukannya saya mau membohongi negara, urus surat izin itu ribetnya minta ampun, harus ke menteri ini, harus ke gedung itu, mana urusnya di Jakarta, bayarnya mahal, saya ini cuma nelayan tradisional, nelayan kecil," ucap Aziz.
Hal inilah yang mendorong Aziz untuk menyerah dari pekerjaan yang telah dia geluti lebih dari setengah masa hidupnya.
"Jujur yah, sekarang itu ikan banyak, tapi kami juga makin kesulitan karena banyak aturan," tuturnya.
Sejahtera Laut Tak Sejahtera Pelaut
Tak ada yang bisa menyangkal jika keadaan laut Indonesia saat ini tergolong lebih baik dari sebelumnya. Ikan yang melimpah ruah dan semakin berkurang aktifitas illegal fishing kapal asing adalah buah dari upaya wanita nomor satu di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Sejak menjabat, Susi memang hobi menembak dan meledakkan kapal. Aksi ini
dia klaim sebagai sikap tegas untuk melawan pencurian ikan di wilayah
perairan Indonesia yang telah berlangsung belasan tahun.
Bukan hanya meledakkan dan menembak kapal di tengah lautan, Menteri Susi juga hobi membuat aturan. Bahkan tidak sedikit aturan yang dia terapkan semakin membuat nelayan kecil terjepit di tengah limpahan ikan yang tak bisa ditangkap.
Cendekiawan maritim, Azyumardi Azra mengatakan, Susi gagah sebagai pemimpin tapi luput perhitungan. Semua sikap dan kebijakan yang dibuatnya memang bisa membalikan keadaan laut Indonesia menjadi laut strategis dengan ikan yang melimpah ruah, tapi tanpa perhitungan matang lantaran banyak nelayan merasa dirugikan.
Menurut Azyumardi, dalam membuat sebuah kebijakan, seorang pemimpin sekelas menteri harus memperhitungkan efek jangka panjang maupun pendek yang akan dialami secara langsung oleh masyarakat.
"Sayangnya dari yang saya lihat, Ibu Menteri terlalu fokus pada efek jangka panjang, padahal nelayan kita tidak hanya hidup di masa depan, masa kini juga perlu," kata Azyumardi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (9/10)..
Menurut Azyumardi, tidak salah ketika seorang pemimpin membuat aturan, namun perhitungan yang matang dari berbagai sisi harus diperhitungkan.
"Jangan sampai nelayan merasa termarginalkan, padahal kebijakan yang dibuat saya yakin untuk kelangsungan nelayan hingga puluhan tahun ke depan, tapi semua harus adil, jangan sampai laut sejahtera, tapi nelayan tak bisa apa-apa," katanya.
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Bukan hanya meledakkan dan menembak kapal di tengah lautan, Menteri Susi juga hobi membuat aturan. Bahkan tidak sedikit aturan yang dia terapkan semakin membuat nelayan kecil terjepit di tengah limpahan ikan yang tak bisa ditangkap.
Cendekiawan maritim, Azyumardi Azra mengatakan, Susi gagah sebagai pemimpin tapi luput perhitungan. Semua sikap dan kebijakan yang dibuatnya memang bisa membalikan keadaan laut Indonesia menjadi laut strategis dengan ikan yang melimpah ruah, tapi tanpa perhitungan matang lantaran banyak nelayan merasa dirugikan.
Menurut Azyumardi, dalam membuat sebuah kebijakan, seorang pemimpin sekelas menteri harus memperhitungkan efek jangka panjang maupun pendek yang akan dialami secara langsung oleh masyarakat.
"Sayangnya dari yang saya lihat, Ibu Menteri terlalu fokus pada efek jangka panjang, padahal nelayan kita tidak hanya hidup di masa depan, masa kini juga perlu," kata Azyumardi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (9/10)..
Menurut Azyumardi, tidak salah ketika seorang pemimpin membuat aturan, namun perhitungan yang matang dari berbagai sisi harus diperhitungkan.
"Jangan sampai nelayan merasa termarginalkan, padahal kebijakan yang dibuat saya yakin untuk kelangsungan nelayan hingga puluhan tahun ke depan, tapi semua harus adil, jangan sampai laut sejahtera, tapi nelayan tak bisa apa-apa," katanya.
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Sumber: cnnindonesia.com