PENERINTAH BERI WAKTU 5 TAHUN LAGI BANGUN SMELTER
![]() |
Revisi UU Minerba bakal memperpanjang batas waktu pembangunan smelter dari sebelumnya 2014, menjadi lima tahun ke depan sejak UU baru diundangkan. (REUTERS/Yusuf Ahmad). |
Jakarta,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
menyatakan tengah mencari periode yang tepat dalam mengimplementasikan
relaksasi ekspor mineral, yang rencananya akan dimasukkan di dalam
revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara.
Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan menerangkan, relaksasi ekspor hanya berlaku bagi perusahaan yang memang beritikad baik untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Namun, bukan berarti relaksasi ini akan diberikan secara terus menerus.
Rencananya, periode relaksasi ini akan dilaksanakan dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun setelah peraturannya terbit. Dengan demikian, perusahaan tambang harus merampungkan smelter-nya selama jangka waktu tersebut. Dengan cara ini, ia menjamin perusahaan-perusahaan tambang mau merampungkan smelternya.
"Ada jangka waktunya, tiga atau lima tahun. Kalau kami kasih seperti ini, kan investor harus menambah progress pembangunan smelter itu," ujar Luhut di Gedung Kementerian ESDM, Selasa (6/9).
Jika nanti ada perusahaan yang belum merampungkan proyek smelter-nya di periode relaksasi, pemerintah juga siap memberikan sanksi khusus. Kendati demikian, pembahasan terkait hukuman ini masih akan dibahas lebih lanjut.
"Tentu saja akan kami beri tindakan kalau (relaksasi ekspor) ada yang melebihi tenggat waktu yang kami berikan. Sedang kami rumuskan tindakannya seperti apa," kata Luhut.
Semangat Hilirisasi
Lebih lanjut ia berharap, investor mau melihat relaksasi ini sebagai kompensasi pemerintah yang terlambat menerbitkan peraturan turunan dari UU Minerba. Namun, ia pun tak ingin masyarakat menganggap relaksasi ini merupakan upaya untuk menghilangkan semangat hilirisasi mineral tambang.
"Justru yang kami pikirkan adalah bagaimana mencari jalan keluar supaya UU Minerba ini bisa berjalan dengan baik. Jadi jangan serta merta berpikir kita mengubah UU, padahal kenyataan sebenarnya malah kami belum melaksanakan UU itu. Ada banyak sekali poin-poin di UU Minerba yang belum dilaksanakan sama sekali," katanya.
Sebelumnya, Luhut mengatakan kebijakan relaksasi ekspor ini ditujukan bagi perusahaan tambang yang sedang kekurangan dana dalam membangun smelter. Sehingga, faktor utama yang menentukan jangka waktu dan volume relaksasi ekspor mineral adalah kemajuan pembangunan smelter-nya.
Di tahap awal, pemerintah akan mendata progress masing-masing perusahaan tambang yang membangun smelter. Dari angka progress tersebut, tambah Luhut, bisa terlihat berapa lama sisa waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan smelter.
Wacana relaksasi ekspor tersebut sempat mendapat kritikan dari Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo.
Jonatan mengatakan, jika pemerintah benar-benar merevisi ketentuan wajib membangun smelter bagi perusahaan yang ingin mengekspor bahan galian tambangnya, maka hal tersebut bisa merusak reputasi pemerintah di mata investor.
Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan menerangkan, relaksasi ekspor hanya berlaku bagi perusahaan yang memang beritikad baik untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Namun, bukan berarti relaksasi ini akan diberikan secara terus menerus.
Rencananya, periode relaksasi ini akan dilaksanakan dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun setelah peraturannya terbit. Dengan demikian, perusahaan tambang harus merampungkan smelter-nya selama jangka waktu tersebut. Dengan cara ini, ia menjamin perusahaan-perusahaan tambang mau merampungkan smelternya.
"Ada jangka waktunya, tiga atau lima tahun. Kalau kami kasih seperti ini, kan investor harus menambah progress pembangunan smelter itu," ujar Luhut di Gedung Kementerian ESDM, Selasa (6/9).
Jika nanti ada perusahaan yang belum merampungkan proyek smelter-nya di periode relaksasi, pemerintah juga siap memberikan sanksi khusus. Kendati demikian, pembahasan terkait hukuman ini masih akan dibahas lebih lanjut.
"Tentu saja akan kami beri tindakan kalau (relaksasi ekspor) ada yang melebihi tenggat waktu yang kami berikan. Sedang kami rumuskan tindakannya seperti apa," kata Luhut.
Semangat Hilirisasi
Lebih lanjut ia berharap, investor mau melihat relaksasi ini sebagai kompensasi pemerintah yang terlambat menerbitkan peraturan turunan dari UU Minerba. Namun, ia pun tak ingin masyarakat menganggap relaksasi ini merupakan upaya untuk menghilangkan semangat hilirisasi mineral tambang.
"Justru yang kami pikirkan adalah bagaimana mencari jalan keluar supaya UU Minerba ini bisa berjalan dengan baik. Jadi jangan serta merta berpikir kita mengubah UU, padahal kenyataan sebenarnya malah kami belum melaksanakan UU itu. Ada banyak sekali poin-poin di UU Minerba yang belum dilaksanakan sama sekali," katanya.
Sebelumnya, Luhut mengatakan kebijakan relaksasi ekspor ini ditujukan bagi perusahaan tambang yang sedang kekurangan dana dalam membangun smelter. Sehingga, faktor utama yang menentukan jangka waktu dan volume relaksasi ekspor mineral adalah kemajuan pembangunan smelter-nya.
Di tahap awal, pemerintah akan mendata progress masing-masing perusahaan tambang yang membangun smelter. Dari angka progress tersebut, tambah Luhut, bisa terlihat berapa lama sisa waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan smelter.
Wacana relaksasi ekspor tersebut sempat mendapat kritikan dari Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo.
Jonatan mengatakan, jika pemerintah benar-benar merevisi ketentuan wajib membangun smelter bagi perusahaan yang ingin mengekspor bahan galian tambangnya, maka hal tersebut bisa merusak reputasi pemerintah di mata investor.
Pasalnya, wacana ini merupakan langkah mundur dari semangat hilirisasi mineral yang digaungkan bertahun-tahun lalu.
"Sehingga dari kami, ada baiknya pemerintah menimbang ulang wacana ini. Alasannya, ini investasi yang nilainya besar, investor yang sudah ada di Indonesia bisa marah. Nama baik pemerintah bisa hancur," ujar Jonatan.
Ia menjelaskan, relaksasi ekspor tak boleh dilakukan dengan alasan apapun. Apalagi kalau alasan utamanya memberi waktu lebih panjang bagi perusahaan tambang untuk mengumpulkan uang, yang nantinya digunakan untuk membangun smelter.
Menurut Jonatan, perusahaan yang benar-benar berniat bangun smelter pasti sudah mempersiapkan dana tersebut untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batubara yang terbit 2009 lalu.
"Sehingga dari kami, ada baiknya pemerintah menimbang ulang wacana ini. Alasannya, ini investasi yang nilainya besar, investor yang sudah ada di Indonesia bisa marah. Nama baik pemerintah bisa hancur," ujar Jonatan.
Ia menjelaskan, relaksasi ekspor tak boleh dilakukan dengan alasan apapun. Apalagi kalau alasan utamanya memberi waktu lebih panjang bagi perusahaan tambang untuk mengumpulkan uang, yang nantinya digunakan untuk membangun smelter.
Menurut Jonatan, perusahaan yang benar-benar berniat bangun smelter pasti sudah mempersiapkan dana tersebut untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batubara yang terbit 2009 lalu.
Sumber: cnnindonesia.com