Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

EKSEKUSI MATI MARY JANE DI MATA JOKOWI DAN DUTERTE


Presiden Jokowi dan Presiden Duterte
Jakarta - Nasib terpidana mati asal Filipina, Mary Jane, menjadi salah satu topik hangat yang dibahas saat pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Keduanya angkat bicara, ini 3 kisahnya:

Duterte melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada Kamis 8 September. Ada berbagai masalah yang dibahas dan kesepakatan yang dihasilkan oleh Jokowi dan Duterte dalam pertemuan tersebut.

Mereka sepakat tentang penanganan 177 WNI yang haji dari Filipina, penanganan sekitar 700 orang WNI yang berhaji dari Filipina, upaya pembebasan sandera WNI, kerja sama keamanan laut Sulu, hingga mengizinkan TNI AL meledakkan kapal perompak hingga ke perairan Filipina.

Selain persoalan itu, Jokowi dan Duterte membicarakan tentang eksekusi Mary Jane saat pertemuan Jumat 9 September lalu. Jokowi menceritakan tentang Mary Jane yang membawa 2,6 heroin ke Indonesia dan penundaan eksekusi Mary Jane.

Mary Jane di detik-detik akhir lolos dari eksekusi Jilid II pada tahun 2015. Penundaan eksekusi itu menyusul adanya permintaan pemerintah Filipina karena yang bersangkutan diperlukan kesaksiannya dalam kasus human trafficking. Nama Mary Jane juga tidak masuk dalam daftar eksekusi Jilid III tahun 2016 ini.

"Presiden Duterte saat itu menyampaikan silakan kalau mau dieksekusi," kata Jokowi usai salat Idul Adha di Masjid Agung At-Tsauroh, Serang, Senin (12/9/2016).

Bukan rahasia umum, Duterte dikenal sebagai Presiden yang sangat keras terhadap kasus narkoba. Tak kurang 2.400 tewas di Filipina dalam usaha pemberantasan narkoba sejak Duterte menjabat Presiden.

Namun, Kantor Kepresidenan Filipina meluruskan penyataan Presiden Jokowi. Filipina menyebut Duterte hanya meminta Presiden Joko Widodo untuk mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia, bukan mendorong eksekusi Mary Jane.

Presiden Jokowi mengungkap pembicaraannya dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam pertemuan, Jumat lalu. Ternyata ada pembicaraan tentang nasib terpidana mati asal Filipina, Mary Jane, yang sempat ditunda eksekusinya.

"Sudah saya sampaikan mengenai Mary Jane dan saya bercerita bahwa Mary Jane membawa 2,6 kg heroin, dan saya bercerita mengenai penundaan eksekusi yang kemarin," ucap Jokowi usai salat Idul Adha di Masjid Agung At-Tsauroh, Serang, Senin (12/9/2016).

Jokowi menyebut Duterte mempersilakan pemerintah Indonesia apabila Mary Jane hendak dieksekusi mati. Duterte memang terkenal dengan penolakannya pada peredaran narkotika.

"Presiden Duterte saat itu menyampaikan silakan kalau mau dieksekusi," kata Jokowi.

Soal proses hukum yang bergulir di Filipina atas dugaan Mary Jane hanyalah korban, Jokowi menyerahkan pada Kejaksaan Agung. Namun hingga saat ini, pihak Kejaksaan Agung belum membeberkan secara jelas sudah sejauh mana proses hukum Mary Jane di Filipina.

"Proses hukumnya nanti Jaksa Agung," ujarnya.

"Tapi jawaban Presiden Duterte saat itu seperti itu (mempersilakan Indonesia mengeksekusi Mary Jane)," tegas Jokowi.

Kantor kepresidenan Filipina membantah pernyataan yang menyebut Presiden Rodrigo Duterte memberikan lampu hijau kepada Indonesia untuk mengeksekusi mati Mary Jane Veloso. Filipina menyebut Duterte hanya meminta Presiden Joko Widodo untuk mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia.

"Silakan ikuti aturan hukum (di negara) Anda. Saya tidak akan ikut campur," ucap juru bicara kepresidenan Filipina, Ernesto Abella, mengutip perkataan Duterte kepada Jokowi saat berkunjung ke Jakarta, seperti dilansir media Filipina, GMA News Online, Senin (12/9/2016).

Lebih lanjut, Abella menegaskan, Duterte tidak pernah memberikan pernyataan kepada Jokowi untuk mendorong eksekusi mati terhadap Mary Jane. "Tidak ada (dorongan). Tidak ada bentuk dukungan (untuk eksekusi mati). Dia hanya berkata, 'Ikuti aturan hukum (negara) Anda'," tegas Abella.

Dalam pernyataan terpisah, Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay menyampaikan penegasan senada. Yasay termasuk salah satu menteri yang terus mendampingi Duterte dalam kunjungan perdanannya ke Jakarta, pekan lalu.

"(Duterte) Tidak memberikan apa yang disebut sebagai 'lampu hijau' untuk eksekusi mati Mary Jane Veloso," terang Yasay.

Memperjelas pernyataannya, Yasay menyebut Duterte hanya memberitahu Jokowi, bahwa dirinya menghormati proses hukum yang berlaku di Indonesia dan akan menerima apapun putusan akhir dari pengadilan Indonesia soal kasus Mary Jane.


Drama eksekusi terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso dimulai pada April 2015. Saat itu, nama Mary Jane telah jauh-jauh hari digemborkan Kejaksaan Agung menjadi salah satu terpidana mati.

Namun, di detik-detik akhir, Mary Jane lolos dari bidikan regu tembak dengan alasan kesaksian Mary Jane diperlukan untuk pengadilan di Filipina terkait kasus perdagangan orang. Mary Jane selanjutnya dikembalikan ke LP Wirogunan.

Pada eksekusi tahap III, Jaksa Agung M Prasetyo juga menegaskan Mary Jane tidak masuk dalam daftar eksekusi. "(Kalau) Mary Jane masih menunggu proses hukum di Filipina," imbuhnya. Hanya saja, sampai saat ini belum jelas benar apakah Mary Jane telah memberikan kesaksiannya atau belum.

Drama Mary Jane berawal saat dirinya ditangkap di Bandara Adisucipto Yogyakarta pada April 2010 ketika membawa 2,6 kilogram heroin. Dia mengklaim narkoba tersebut dijahitkan di dalam kopernya tanpa sepengetahuan dirinya. Selama di persidangan, Mary Jane bersikukuh dia tidak bersalah.

Mary Jane, putri bungsu dari 5 bersaudara dari keluarga tak mampu. Dia menikah muda, di usia 17 tahun dan memiliki 2 anak. Namun Mary Jane bercerai dengan suaminya. Untuk membiayai kehidupan dan kedua anaknya, Mary Jane akhirnya menjadi TKW ke Dubai, Uni Emirat Arab pada 2009. Di Dubai, Mary Jane bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) selama 9 bulan.

Majikan Mary Jane saat itu mencoba memperkosanya hingga akhirnya dia keluar dan kembali ke Filipina. Seorang teman yang dikenal keluarga Mary Jane akhirnya menawarkan pekerjaan sebagai ART di Malaysia, demikian dilansir GMA Network edisi 8 April 2015.

Sesampainya di Malaysia, Mary Jane diberi tahu bahwa lowongan ART di Malaysia sudah tidak tersedia dan diberitahu ada lowongan ART di Indonesia. Akhirnya Mary Jane pun diminta terbang ke Indonesia.

Mary Jane dititipi sebuah koper dengan upah USD 500. Namun, sesampainya di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada 2010 lalu, Mary Jane ditangkap dengan barang bukti heroin seberat 2,6 kilogram. Grasi Mary Jane, bersama 11 nama terpidana mati, ditolak Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden (Keppres) tertanggal 30 Desember 2014. Namun saat beberapa menit akan dieksekusi, nama Mary Jane tak termasuk dalam daftar eksekusi. 





 Sumber : detik.com