Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

RENCANA AS BOIKOT PRODUK RUMPUT LAUT BIKIN CEMAS KEMENDAG

Petani memikul rumput laut hasil panennya di pinggiran pantai Dusun Kertasari, Desa Labuan Kertasari, Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, Selasa (10/2). (Antara Foto/Ahmad Subaidi)
Jakarta,  Kementerian Perdagangan (Kemendag) cemas dengan rencana Amerika Serikat, yang akan melarang peredaran produk rumput laut . Sejumlah organisasi nirlaba mendesak otoritas terkait di Negeri Paman Sam mengeluarkan produk rumput laut dari daftar (delisting) komoditas yang boleh beredar karena dianggap tidak memenuhi kriteria bahan pangan organik. 

"Pemberlakuan delisting berpotensi menurunkan ekspor komoditas rumput laut Indonesia ke Amerika, yang pada 2015 mendekati angka US$1 juta," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Dody Edward melalui keterangan tertulis, Selasa (9/8).
Dody mengatakan, rencana Amerika tersebut perlu diwaspadai dikarenakan perkembangan tersebut dapat menjadi preseden bagi negara tujuan ekspor rumput laut lainnya, seperti Uni Eropa, untuk juga melakukan hal yang sama.

Indonesia, menurutnya, bahkan berpotensi mengalami kerugian hingga US$160,4 juta jika semua pasar tujuan ekspor memboikot produk rumput laut seperti AS. Pasalnya, komoditas rumput laut merupakan komoditas utama penggerak ekonomi masyarakat laut dan pesisir di Indonesia.

Selain itu, lanjutnya, Indonesia merupakan produsen utama rumput laut di dunia yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di daerah pesisir dan pulau-pulau terluar. Selama ini rumput laut menjadi bahan baku carrageenan dan agar-agar.

Rencana delisting produk rumput laut Indonesia di AS dipicu oleh petisi Joanne K Tobacman (Tobacman) dari University of Illinois, Chicago, pada Juni 2008. Dia mendorong otoritas pengawasan makanan dan obat AS (FDA) agar melarang penggunaan carrageenan yang terbuat dari rumput laut sebagai bahan tambahan makanan.

Berdasarkan penelitian Tobacman, ditengarai carrageenan dapat menyebabkan peradangan atau inflamasi yang memicu kanker. Namun, petisi tersebut ditolak US FDA pada Juni 2008.

Namun, petisi Tobacman pada Maret 2013 dijadikan dasar oleh organisasi nirlaba Cornucopia Institute untuk kembali mendorong publik agar mendesak Dewan Standar Organik AS atau National Organic Standards Board (NOSB) agar mengeluarkan carrageenan dari daftar bahan pangan organik.

"Rencananya, pada November 2016 NOSB akan menentukan apakah carrageenan tetap akan masuk pada National List of Allowed and Prohibited Substances yang diperbolehkan dalam makanan organik atau tidak, setelah sebelumnya mendapat masukan dari berbagai pihak," ujar Dody.

Saat ini, lanjutnya, konsumsi pangan organik di dunia menunjukkan tren peningkatan karena didorong isu-isu kesehatan. Apabila produk rumput laut dikeluarkan dari daftar bahan pangan organik, maka hal itu akan merugikan Indonesia.

Dody menegaskan, saat ini Direktorat Pengamanan Perdagangan Kemendag secara aktif memantau perkembangan rencana delisting terhadap produk rumput laut tersebut.

"Kami harapkan kerja sama dari Kementerian/Lembaga terkait, asosiasi dan akademisi guna membahas langkah-langkah yang dapat membatalkan rencana delisting produk rumput laut tersebut," ujar Dody.

Selain itu, Dody meminta terus dilakukan pembinaan kepada pelaku usaha produk kelautan Indonesia untuk menjaga kualitas rumput laut sehingga menghasilkan mutu yang baik sebagai bahan pangan organik agar ekspor rumput laut Indonesia di pasar international terjaga keberlangsungannya.

Selama ini, Indonesia merupakan pemasok utama dunia untuk komoditas rumput laut dengan pangsa pasar 41 persen pada 2013. Lima negara pemasok rumput laut terbesar dunia adalah Indonesia, Korea Selatan, Chili, Tiongkok dan Irlandia.

Pada tahun 2015, tercatat ekspor Indonesia mencapai US$160,41 juta, setelah mencatatkan ekspor tertingginya pada 2014 yang mencapai US$206,3 juta.
 
 
 
 
Sumber: cnnindonesia.com