PROVOKATOR KERUSUHAN TANJUNG BALAI BELUM TERTANGKAP
Kepolisian telah menetapkan 12 orang
tersangka perusakan dan penjarahan sejumlah vihara dan klenteng di
Tanjung Balai, Sumatera Utara, tetapi belum menemukan pengguna media
sosial yang disebut sebagai penyebab kerusuhan.
Seorang pengamat meminta tim kejahatan dunia maya (cyber crime) kepolisian lebih mementingkan upaya preventif untuk mengantisipasi penyebaran pesan provokasi melalui media sosial.
Polisi
sejauh ini masih melakukan pendalaman untuk melacak aktor utama atau
terduga provokasi di balik kerusuhan tersebut, kata pejabat penerangan
Polda Sumatera Utara.
"Tim penyidik terus bekerja untuk mengungkap
kasus ini sampai tuntas," kata Juru bicara Polda Sumut, Kombes Rina
Sari Ginting, Senin (01/07) petang.
Temuan awal polisi menyebutkan kerusuhan Tanjung Balai diawali
pesan bernada provokasi di media sosial yang kemudian menyulut amuk
massa.
Usia sekolah
Ditanya apakah kepolisian sudah berhasil melacak
pengguna media sosial tersebut, Rina Sari Ginting mengatakan, "Anatomi
bentuk kejahatan sudah kita datakan dan dari situ tim cyber crime akan mendalami."
Kapolri
Jenderal Tito Karnavian sebelumnya mengatakan pelaku provokasi melalui
media sosial akan dijerat undang-undang informasi dan teknologi.
Adapun
12 orang tersangka, menurut Rina, sebagian di antara mereka masih
"berusia sekolah". Polisi menyebutnya sebagai para pelaku di lapangan.
"Sebagian usia sekolah, antara 16 sampai 30 tahun. Sangat kita sayangkan mereka gampang terprovokasi, ikut-ikutan," ungkapnya.
Para tersangka adalah warga kota Tanjung Balai, Sumut. Mereka saat ini ditahan di Polres Tanjung Balai.
Apakah mereka tinggal di sekitar vihara dan klenteng yang dirusak dan dibakar? Rina enggan menjawabnya.
Utamakan upaya preventif
Dihubungi
secara terpisah, Zainal Abidin Bagir, staf pengajar dan peneliti
program studi agama dan lintas budaya Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, mengharapkan agar kepolisian lebih meningkatkan upaya
preventif dalam memantau praktik ujaran kebencian (hate speech) di media sosial yang berujung kerusuhan.
"Itu
harusnya polisi sudah turun, bukan turun untuk penindakan, tapi turun
secara lebih persuasif untuk mengingatkan bahwa itu dampaknya besar,"
kata Zainal Abidin saat dihubungi BBC Indonesia, Senin (01/08) malam.
Pada Oktober 2015 lalu, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah mengeluarkan surat edaran tentang penanganan ujaran kebencian.
Penerbitan
surat edaran ini diharapkan akan memberikan efek jera bagi kelompok
atau perorangan yang sering mengeluarkan pernyataan kebencian.
Meskipun
demikian, lanjut Zainal, dirinya tetap meminta polisi melacak siapa
penyebar ujaran kebencian itu sehingga menyebabkan adanya kerusuhan di
Tanjung Balai.
"Tetap perlu dilakukan melacak siapa yang melakukan
provokasi, tapi idealnya itu tindakan preventif sebelum kerusuhan,
polisi harus turun untuk melakukan upaya persuasif," papar Zainal.
Penyelidikan
kepolisian menyebutkan perusakan dan pembakaran sejumlah vihara dan
kelenteng di Tanjung Balai diawali permintaan seorang warga agar
pimpinan sebuah masjid mengecilkan volume pengeras suara masjidnya.
Hal ini menimbulkan reaksi penolakan dari sebagian orang.
Upaya
dialog sudah diupayakan, menurut Kapolri, tetapi kerusuhan pecah
beberapa jam kemudian setelah ada provokasi melalui media sosial.
Sumber: bbc.com
Gambar: Aliansi Sumut Bersatu