MESKI GANTI PEMIMPIN, PENGGUSURAN TAK HILANG
![]() |
Alat berat Pemprov DKI meruntuhkan bangunan yang berdiri di bantaran Kali Gendong, Waduk Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, 11 Januari 2016. (Suara Pembaruan/Carlos Roy Fajarta) |
Jakarta - Kata
penggusuran selalu menjadi momok menakutkan bagi warga Jakarta maupun
luar daerah yang tinggal di bantaran kali, waduk dan pemukiman kumis
(kumuh dan miskin) serta pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di
pinggir jalan.
Meski ganti pemimpin, penggusuran tak pernah hilang dari Jakarta
karena merupakan bagian dalam penataan sebuah kota megapolitan. Jika
ingin tertata rapi, maka bagian-bagian kota yang tidak enak dipandang
mata harus digusur, dihilangkan kemudian dibangun kembali sesuai dengan
peruntukannya.
Hal itu terlihat sejak zaman Gubernur Sutiyoso, Gubernur Fauzi Bowo,
Gubernur Joko Widodo (Jokowi) hingga Gubernur Basuki Tjahaja Purnama,
penggusuran masih terus terjadi. Penolakan dan reaksi protes keras
akibat tindakan penggusuran pemerintahan daerah selalu ada.
Apalagi,
ketika melakukan penggusuran, warga tidak diberikan solusi kemana mereka
harus pindah. Di mana mereka bisa mendapatkan rumah yang manusiawi dan
layak huni dengan harga yang tidak mencekik leher.
Pada era Gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo, tindakan penggusuran di
bantaran kali atau waduk, PKL atau pemukiman kumis kerap kali
menimbulkan aksi protes baik dari warga, korban gusuran maupun lembaga
yang bergerak di bidang HAM.
Mengapa? Karena kedua pemimpin ini melakukan penggusuran tanpa solusi
terhadap warga yang terkena dampak kehilangan rumah tinggal. Mereka
melakukan penggusuran yang diwarnai dengan perlawanan arogansi aparat
pemerintah, dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Akibatnya, selain kehilangan rumah tinggal dan harta benda di
dalamnya, warga korban gusuran juga kehilangan mata pencaharian. Karena
harus pindah dari tempat di mana mereka berteduh dan mendapatkan
penghasilan.
Kondisi seperti ini membuat banyak warga korban penggusuran turun
kesejahteraannya dan menimbulkan banyak kejahatan. Kendati demikian,
kedua pemimpin ini masih cukup memberikan toleransi kepada para pedagang
yang berjualan di sekitar pasar-pasar tradisional. Mereka tak kena
penggusuran.
Menurut catatan Beritasatu.com, Puncak penggusuran
terjadi pada 14 April 2010 pada zaman Gubernur Fauzi Bowo. Yaitu
penggusuran Makam Mbah Priok di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saat itu,
terjadi bentrokan antara warga dengan aparat Satpol PP DKI. Terjadi aksi
saling lempar batu antara pihak aparat dan warga. Massa yang sempat
menguasai wilayah di sekitar Jalan Jampea Raya, Koja pun tak kalah
beringas. Berbagai benda termasuk kendaraan bermotor, menjadi korban
amukan massa dan dibakar di tengah jalan.
Peristiwa itu menjadi sejarah kelam Kota Jakarta yang menjadi Ibukota
Negara Republik Indonesia. Sejak saat ini, penggusuran di Jakarta mulai
menurun, bahkan cenderung dilakukan lebih berhati-hati lagi.
Maka tak heran lah, ketika sosok Jokowi muncul, warga Jakarta
mempunyai harapan baru terhadap tindakan penggusuran pemukiman kumuh dan
penertiban PKL. Karena Jokowi dinilai pemimpin yang memiliki rasa
bersahabat dan mau mendekatkan diri kepada rakyat.
Dan benar saja, sebelum melakukan penggusuran, Jokowi memastikan
terlebih dahulu kesediaan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di
Jakarta. Karena ia merencanakan warga korban gusuran akan direlokasi ke
rusunawa-rusunawa milik DKI Jakarta.
Tidak hanya itu, sebelum dilakukan penggusuran, Jokowi biasanya turun
ke lapangan, mengunjungi warga untuk memberitahukan maksud dan tujuan
penggusuran tersebut kepada warga. Dialog pun terjadi. Dan diakhiri
dengan kesepakatan sesuai dengan keinginan rakyat, yakni mau dipindah ke
rusun.
Dengan pendekatan dan menjalin dialog dengan warga, maka penggusuran
demi penggusuran terjadi tanpa ada perlawanan berarti dari warga. Mereka
mau dengan rela pindah ke rusunawa, yang lebih layak huni, karena sudah
dilengkapi dengan segala furnitur dan kebutuhan rumah tangga di
dalamnya.
Setidaknya ada 16 lokasi penggusuran yang dilakukan selama Jokowi
memimpin Jakarta. Di antaranya, penggusuran pemukiman kumuh di Waduk
Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara dengan tujuan mengembalikan fungsi
lokasi sebagai waduk guna mengantisipasi terjadinya banjir.
Waduk Pluit memiliki lahan seluas 88 hektar. Seluas 28 hektar didiami
oleh warga dalam 18 RW dan 218 RT. Pada kasus ini, sekitar 7.000 rumah
digusur. Solusinya, warga waduk Pluit yang tergusur direlokasi ke rumah
susun Marunda dan Muara Baru.
Korban penggusuran melakukan perundingan melalui pertemuan dengan
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo agar penggusuran tidak dilanjutkan.
Melakukan perlawanan dengan menghalangi alat berat yang akan masuk ke
lokasi. Melaporkan tindakan anarkis penegak hukum saat pembongkaran ke
Polda Metro Jaya dan Komnas HAM.
Kemudian penertiban 1.000 PKL di Pasar Tanah Abang dan direlokasi ke
Pasar Blok G Tanah Abang dan memberikan pekerjaan kepada warga Tanah
Abang yang kehilangan mata pencaharian sebagai penjaga parkir dan
penyewa kios di pinggir jalan. Tak ada reaksi perlawanan.
Penggusuran juga terjadi di Kampung Srikandi, Jatinegara Kaum,
Jakarta Timur; Waduk Ria Rio, Pedongkelan, Pulo Gadung, Jakarta Timur;
Bungur, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan; di Dharmawangsa, Jakarta
Selatan dan di Kelurahan Guntur, Jakarta Selatan.
Selanjutnya, Jokowi juga melakukan penggusuran PKL di Pasar Minggu,
Jakarta Selatan; Pasar Jatinegara dan Pasar Gembrong, Jakarta Timur;
Stasiun Kereta Api Pasar Minggu, Jakarta Selatan; Stasiun Kali Deres,
Jakarta Barat; Jalan Batu, Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Jakarta
Pusat; Makam Kampung Mangga, Plumpang, Jakarta Utara; Stasiun
Gondangdia, Jakarta Pusat; Kembangan, Jakarta Barat dan Taman Pulo
Gebang, Jakarta Timur serta penertiban PKL Jalan Raya Ragunan, Jakarta
Selatan.
Penolakan keras terhadap penggusuran kembali terjadi pada era
kepemimpinan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Banyak warga menilai
penggusuran yang dilakukan Basuki hampir sama dengan era Fauzi Bowo.
Tidak melalui dialog, melainkan asal main gusur tanpa ada solusi yang
tepat.
Sepanjang tahun 2016 ini, berdasarkan data dari APBD DKI 2016 dan
Perda Rencana Detail Tata Ruang DKI, akan ada 325 lokasi yang akan
digusur. Dengan rincian, 57 lokasi di Jakarta Pusat, 77 Lokasi di
Jakarta Selatan, 55 lokasi di Jakarta Barat, 82 lokasi di Jakarta Timur
dan 54 lokasi di Jakarta Utara.
Puncak perlawanan warga terhadap penggusuran yang dilakukan oleh
Basuki adalah saat dilakukan penggusuran warga di Kampung Aquarium, Luar
Batang, Jakarta Utara. Banyak pihak yang mengecam tindakan Basuki. Yang
tidak hanya menggusur, tetapi juga melontarkan kata-kata pedas kepada
warga korban gusuran Luar Batang.
Aktivis perempuan, Luluk Nur Hamidah, menilai proses penggusuran di
Jakarta sering kali dilakukan dengan sangat cepat. Menurut perempuan
yang sudah mendaftar menjadi bakal cagub DKI ini, situasi semacam ini
sering kali membuat pemerintah menjadi berhadapan dengan warga.
"Cara kita tuh maunya serba instan, serba cepat. SP 1, lalu SP 2, SP
3, langsung. Proseduralnya memang seperti itu dan pemerintah pasti
menang. Tetapi, masa pemerintah menang melawan rakyat," kata Luluk.
Menurut Luluk, penggusuran harus dilakukan dengan pendekatan yang
humanis. Musyawarah harus dilakukan berkali-kali. Dia memberi contoh
sikap Presiden RI Jokowi ketika masih menjadi Gubernur DKI atau Wali
Kota Solo. Jokowi terbiasa melakukan pendekatan dengan makan
bersama-sama warga yang mau digusur.
Bukan satu sampai dua kali, berkali-kali pun ditempuh Jokowi.
Seharusnya, kata Luluk, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus lebih
sering melibatkan masyarakat dalam kegiatan penggusuran. Seharusnya,
melibatkan komponen masyarakat ini yang belum dijadikan kekuatan
strategis dalam melakukan pembangunan, termasuk di DKI Jakarta.
Ia pun menyamakan gaya pemerintahan Ahok dengan pemerintah Orde Baru.
Menurut Luluk, model pemerintahan Orde Baru tidak lagi berlaku saat
ini. Zaman sekarang, dia melanjutkan, masyarakat harus dilibatkan secara
aktif dalam menentukan kebijakan.Dengan demikian, kata dia, kebijakan
tersebut dapat menghasilkan wujud Jakarta yang mereka harapkan.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi menyayangkan sikap
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang minim sosialisasi dalam
menertibkan kawasan Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Ia pun
menyayangkan Pemprov DKI Jakarta yang memberi lokasi rusun lebih jauh
dari tempat tinggal warga sebelumnya.
Adapun Pemprov DKI Jakarta merelokasi warga Pasar Ikan ke Rusun Rawa
Bebek, Cakung, Jakarta Timur, dan Rusun Rusun Marunda, Jakarta Utara.
Dengan demikian, menurut dia, warga harus berpikir dua kali untuk
memperoleh mata pencarian mereka. "Makannya di Pasar Ikan, naruhnya di
Cakung, ini permasalahannya. Kalau saya jadi gubernur, saya buat dulu
ini fasilitas untuk masyarakat, baru dipindahkan (direlokasi ke rusun),"
kata Prasetio.
Hal itu, kata dia, merupakan prinsip yang diusung oleh pasangan
Jokowi-Basuki ketika maju pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI
Jakarta 2012. Atas dasar itu, Prasetio mengimbau Pemprov DKI Jakarta
untuk memindahkan warga setempat tidak jauh dari tempat tinggal
sebelumnya.
Sumber: beritasatu.com