MENGAPA PELAUT INDONESIA KEMBALI DICULIK?
Pemerintah Indonesia diminta segera
menindaklanjuti kesepakatan kerja sama dengan Filipina dan Malaysia,
setelah seorang pelaut Indonesia kembali diculik dan disandera di
perbatasan perairan Filipina selatan dan Malaysia.
"Kalau ini
terlaksana, maka itu bisa menjadi daya tangkal yang sangat kuat," kata
politikus Partai Golkar dan anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya, kepada
BBC Indonesia, Minggu (07/08) malam.
Dalam pertemuan antar menteri
pertahanan Indonesia, Filipina, Malaysia di Bali, Selasa (02/08) lalu,
telah dilahirkan sejumlah kesepakatan antara lain pembentukan posko
bersama dan operasi darat gabungan.
Namun demikian, apabila kerja sama ini sulit
direalisasikan dalam waktu dekat, lanjut Tantowi, pemerintah Indonesia
dapat menyertakan anggota TNI atau polisi untuk mendampingi kapal-kapal
Indonesia di wilayan perairan yang rawan penculikan.
Tantowi Yahya
juga mengingatkan agar semua pihak yang terlibat upaya pembebasan untuk
tidak menggunakan uang tebusan yang dikhawatirkan akan terus diulangi
oleh kelompok penyandera.
"Kita ini seperti bancakan
mereka. Warga negara Malaysia dibebaskan, sedang warga negara kita
ditahan. Mereka sudah tahu ini bakal ditebus. Ini yang harus
dihentikan," kata Tantowi.
Pelaku berdialek Filipina selatan
Hari
Rabu (03/08), sekelompok orang bersenjata menculik pelaut Indonesia di
perairan Malaysia di dekat negara bagian Sabah. Dia adalah anak buah
kapal berbendera Malaysia.
Para penculik menyandera kapten kapal asal Indonesia
dan melarikannya ke perairan Filipina selatan setelah gagal mendapatkan
uang 10.000 ringgit yang mereka minta, kata Duta besar Indonesia untuk
Malaysia, Herman Prayitno.
"Kalau dialeknya (kelompok penculik),
sepertinya orang Filipina. Karena yang satu orang yang diculik dibawa ke
Filipina," kata Herman Prayitno saat dihubungi BBC Indonesia melalui
sambungan telepon, Minggu (07/08) malam.
Pemerintah Indonesia,
melalui Kemenlu, mengatakan pihaknya masih melakukan verivikasi kepada
berbagai pihak di Malaysia dan Filipina terkait kasus yang menimpa
seorang WNI sekaligus kapten kapal penangkap udang berbendera Malaysia
tersebut.
"Karena sejumlah informasi yang diterima dari
pihak-pihak terkait masih terdapat sejumlah perbedaan," kata Dirjen
Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu,
Lalu Mohammad Iqbal, kepada wartawan.
Motif penculikan harus diketahui
Sementara,
Benny Mamoto, mantan juru runding Indonesia yang terlibat pembebasan
sandera oleh kelompok Abu Sayyaf pada 2005 lalu, mengatakan, proses
penyelesaian penculikan harus diselesaikan secara kasus per kasus.
Dia menduga motif penculikan terhadap sejumlah WNI pada Juni lalu berbeda dengan yang terjadi belakangan.
"Yang
awal (penculikan terhadap 10 orang) itu menyandera untuk minta tebusan.
Itu kriminal murni. Yang tiga (WNI yang diculik) terakhir, itu sudah
menyangkut para nelayan yang masuk ke wilayah negara yang dianggap
menganggu nelayan negara itu," kata Benny kepada BBC Indonesia.
Itulah
sebabnya, pemerintah Indonesia harus memastikan motif di balik
penculikannya terlebih dahulu sehingga penyelesaiannya bisa disesuaikan,
katanya.
"Jadi, penanganannya berbeda. Kalau penanganannya
menyangkut nelayan kapal Malaysia yang menangkap ikan di wilayah
Filipina, itu harus diclearkan antara pemerintah Malaysia dan Filipina, meskipun sanderanya orang Indonesia," papar Benny Mamoto.
Benny
juga setuju apabila proses pembebasan sandera tidak menggunakan uang
tebusan. Dia menduga, tuntutan adanya tebusan oleh kelompok penculik di
Filipina Selatan berdasarkan kasus-kasus pembebasan sandera sebelumnya.
Dalam
berbagai kesempatan, sejumlah pejabat Indonesia selalu membantah adanya
anggapan bahwa uang tebusan selalu digunakan pemerintah Indonesia dan
pemilik kapal untuk membebaskan awal kapal Indonesia.
Memakan waktu lama
Lebih
lanjut, Benny mengatakan agar semua pihak yang terkait kasus penculikan
-utamanya keluarga korban - untuk memahami bahwa proses pembebasan
sandera selalu memakan waktu yang tidak pendek.
"Pengalaman kami
(saat membebaskan sandera dari kelompok Abu Sayyaf pada 2005) enam
bulan. Jadi kalau masih sebulan, dua bulan, itu hal yang masih wajar.
Sabarlah," katanya.
Di sinilah, peran pemerintah untuk terus
berkomunikasi dengan keluarga korban menjadi penting. Dia menilai
komunikasi pemerintah dengan keluarga korban penculikan asal NTT kurang
berjalan baik.
Akibatnya, lanjutnya, keluarga korban mengeluhkan nasib keluarganya kepada media. "Keluarganya tidak diupdate perkembangan penanganannya," ujarnya.
Seharusnya,
mereka perlu memperoleh perkembangan nasib keluarganya. "Karena mereka
perlu pendampingan dan diyakinkan bahwa keluarganya masih sehat dan
selamat," kata Benny.
Dalam tiga bulan terakhir, ada 24 WNI yang
disandera di wilayah Filipina Selatan dan diyakini sebagian dilakukan
oleh kelompok Abu Sayyaf. Sementara yang berhasil dibebaskan ada 14
orang.
Dalam upaya membebaskan sejumlah WNI yang masih
disandera, Indonesia telah melakukan berbagai upaya diantaranya telah
meminta bantuan pimpinan Front Pembebasan Nasional Moro, MNLF.
MNLF
adalah kelompok separatis Islam bersenjata yang berbasis di Filipina
selatan. Awalnya mereka adalah kelompok separatis bersenjata, tetapi
kemudian menempuh jalan perdamaian dengan menuntut otonomi yang luas.
Kelompok
Abu Sayyaf sendiri adalah pecahan dari MNLF, karena tidak sepakat
dengan hasil kesepakatn perdamaian. Dalam aksinya, kelompok Abu Sayyaf
belakangan menggunakan aksi penculikan dan penyanderaan dengan target
warga sipil.
Sumber :bbcindonesia.com