Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KRONIK KEHIDUPAN YAHUDI DI INDONESIA

Di perbukitan Gunung Klabat, Airmadidi, Minahasa Utara, berdiri kaki dian (menorah) raksasa setinggi 19 meter. Kaki dian merupakan simbol penting Yudaisme. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Manado,  Tahun 1857, dua rabi yang bermukim di Den Haag dan seorang rabi asal Rotterdam menandatangani petisi kepada Kerajaan Belanda. Ketiganya mendukung permohonan Israel Benjamin untuk pergi ke Hindia Belanda, mendirikan komunitas Yahudi yang kokoh seperti yang telah berdiri di West Indies alias Suriname.
Israel Benjamin adalah seorang warga Belanda berdarah Yahudi. Menurut Jeffrey Hadler dalam penelitiannya di Universitas California berjudul Translations of Antisemitism: Jews, The Chinese and Violance in Colonial and Post-Colonial Indonesia, Benjamin merupakan segelintir orang pertama mengangkat fakta kehadiran komunitas Yahudi di Hindia Belanda, cikal bakal Indonesia.

Kepada otoritas Kerajaan Belanda, tiga rabi tadi menyatakan komunitas Yahudi di Hindia Belanda tidak akan mampu memantik pendirian komunitas Yahudi yang kokoh. Status sosial yang rendah, kata para rabi itu, akan menghambat upaya swadaya itu.

Ketiga rabi itu, yakni Bernstein, Ferares dan Isaacsohn, mendorong Kerajaan Belanda mengalokasikan dana untuk survei komunitaas Yahudi di Hindia Belanda yang digagas Benjamin. “Kelompok Yahudi di sana layak memiliki sinagog dan pemakaman khusus,” tulis Hadler mengutip perkataan para rabbi itu.

Meskipun telah mendapatkan rekomendasi dari sejumlah profesor dari perguruan tinggi yang berpusast di Leiden dan Delft, Benjamin urung berangkat ke Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menolak permintaan Benjamin. Perjalanan itu pun batal.

Empat tahun setelah kegagalan Benjamin, seorang berdarah Yahudi bernama Jacob Saphir mengungkap keberadaan kelompok masyarakat Yahudi di Hindia Belanda. Ketika itu, Juni 1861, Saphir sedang berada di Singapura, menanti kapal yang akan menyeberangkannya ke tanah yang baru ditemukan penjelajah Inggris, Australia.

Namun Saphir ternyata justru mencoba peruntungan dengan menjejakkan kaki di Batavia. Selama tujuh pekan ia berada di Jawa. Catatan tentang perjalanan Saphir terekam melalui suratnya kepada seorang teman perempuannya yang bernama Beit Yaakov.

Pada kunjungannya itu, sebagaimana temuan Hadler, Benjamin menggarisbawahi seorang Yahudi di Batavia bernama Wiliam Hachgezunt alias Wolf Samuel van Hogezan asal Amsterdam. Kepada Yaakov, ia berkata, Hachgezunt adalah saudagar terkemuka di Batavia.

“Revolusi di Belanda mengantarkannya ke Jawa. Sekarang beberapa putra-putrinya telah menikah di Batavia,” kata Benjamin.

Putra pertama Hachgezunt menikahi perempuan Yahudi di Batavia. Perempuan tersebut berasal dari keluarga yang masih menjalankan ajaran Yudaisme secara ketat, salah satunya mematuhi aturan kosher atau hukum halal dan haram atas pangan.

Catatan awal tentang keberadaan komunitas Yahudi di Indonesia itu terbukti dengan penemuan sejumlah batu nisan yang memuat lambang Bintang Daud dan aksara Ibrani. Di Banda Aceh, seperti ditulis Teuku Cut Mahmud Aziz dalam penelitian berjudul Tracing Jewish History in Kuta Radja, lambang-lambang itu ditemukan di kompleks pemakaman Kerkoff.

                 
                Pemakaman Kerkhof di Blower, Banda Aceh. (Rachmat04 via Wikimedia (CC-BY-SA-4.0)
Simbol-simbol khas Yahudi itu juga terdapat pada sejumlah nisan di pemakaman Kembang Kuning, Surabaya, Jawa Timur. CNNIndonesia.com pun menemukan dua nisan bersimbol Bintang Daud dan beraksara Ibrani di Pineleng, Minahasa dan Matungkas, Minahasa Utara. Dua daerah itu berada di Sulawesi Utara.

Rotem Kowner, seorang profesor di Departemen Studi Asia pada Universitas Haifa, Israel, mengidentifikasi latar belakang orang Yahudi mula-mula di Hindia Belanda. Menurut Kowner, komunitas Yahudi di Hindia Belanda beranggotakan para pegawai pemerintah kolonial dan saudagar.

Kelompok masyarakat Yahudi itu menjalankan tradisi Sephardic yang berasal dari kawasan Timur Tengah. Kelompok ini disebut berakar Baghdadi dan mayoritas dari mereka tinggal di Surabaya.

Sebagian dari anggota komunitas Yahudi itu berstatus sebagai imigran yang melestarikan tradisi Askenazim. Kebanyakan dari mereka lari dari penindasan Nazi di Jerman, Austria dan negara Eropa Timur lain. Mereka berhasil mencapai Hindia Belanda atas bantuan sanak saudara yang telah lebih dulu tiba.

Di Jakarta, CNNIndonesia.com bertemu dengan Elisheva Wiriaatmadja, seorang perempuan berkenegaraan Indonesia yang memiliki darah Yahudi. “Setelah saya tes DNA di Family Tree DNA, ternyata saya bukan keturunan Yahudi Belanda. Saya ternyata keturunan Yahudi yang bermigrasi dari Eropa Timur,” ujarnya akhir Juni lalu.

Elisheva berkata, ia adalah generasi keempat dari keluarga besarnya yang berdarah Yahudi. Ibu dari neneknya itu datang ke Hindia Belanda tahun 1819. Sejak itu, keluarga besar Elisheva telah kawin-mawin dengan berbagai suku di Indonesia.

Sebagian besar dari keluarga Elisheva telah meninggalkan tradisi dan tidak lagi memeluk agama Yudaisme. Tujuh tahun lalu, Elisheva memutuskan untuk merekonstruksi sejarah keluarganya dan kembali menjalankan ajaran yang dipercayai nenek moyangnya.

Elisheva Wiriaatmadja (kedua dari kanan) dan Abigail Wiriaatmadja (kanan) seusai dinyatakan lulus konversi menjadi pemeluk Yudaisme di Beit Din Ortodox Yahudi di Sydney, Australia, Mei silam. (Dok. Pribadi)
Di Manado, CNNIndonesia.com berjumpa dengan Toar Palilingan. Pengajar di Universitas Sam Ratulangi itu menemukan akar silsilahnya ketika menginjak usia 20-an tahun. Pencarian jati diri itu Toar itu membuahkan fakta, bahwa ia adalah keturunan seorang Belanda Yahudi bernama Elias van Beugen.

Pada pameran bertajuk Selamat Shabbat, The Unknown History of Jews int the Dutch East Indies yang diselenggarakan Museum Sejarah Yahudi di Amsterdam, van Beugen disebut lahir di Den Haag dari sebuah keluarga Yahudi ortodoks. “Orangtua ayah nenek saya itu tidak menandatangani akte kelahiran karena saat itu hari sabat,” kata Toar yang kini memiliki nama Yahudi, yaitu Yaakov Baruch.

Dalam Yudaisme, sabat merupakan hari istirahat. Sabat dimulai sebelum matahari terbenam pada Jumat sore dan berakhir ketika bulan muncul di Sabtu malam.

Di Hindia Belanda, Van Beugen bekerja sebagai anggota angkatan bersenjata pemerintah kolonial. 27 Juni 1935, ia meninggal. Batu nisannya yang beraksara Ibrani dan bersimbol Bintang Daud kini berada di pinggi jalan raya Pineleng, akses utama yang menghubungkan Manado dan Tomohon.

                                 
                            Makam Elias van Beugen di Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara. (CNN Indonesia/Abraham Utama)
Catatan keberadaan komunitas Yahudi di Hindia Belanda berlanjut hingga periode pendudukan Jepang. Kala itu, seperti dicatat Hadler, jumlah keturunan Yahudi turun drastis akibat penangkapan dan penyiksaan Jepang yang didahului permintaan khusus Partai Nazi Jerman.

Hadler menulis, setelah Perang Dunia Kedua, populasi Yahudi di Batavia hanya 750 orang, di Surabaya 500 orang, 250 orang di Bandung dan sejumlah lain yang tersebar di beberapa daerah lain.

Padahal sensus penduduk yang digelar pemerintah kolonial pada tahun 1930 mencatat keberadaan 1.095 orang Yahudi di Hindia Belanda. Di akhir dekade 1930-an, jumlah itu meningkat hingga 2.500 di seantero Jawa, Sumatera dan sebagian kecil kawasan lain Hindia Belanda.

Angka itu terus merosot seiring kebijakan dan peristiwa politik yang bermunculan di Indonesia. Nasionalisasi segala sesuatu yang berbau asing oleh Presiden Soekarno di awal dekade 1950-an memantik migrasi besar keturunan Yahudi dari Indonesia.

Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak memasukkan Yudaisme sebagai satu dari enam agama yang difasilitasi pemerintah.

“Eksistensi Yudaisme tanpa terbantahkan diakui secara global. Namun merunut dokumen sejarah, penganut agama tersebut sangat sedikit dibandingkan total penduduk Indonesia,” tulis Manfred Hutter, seorang profesor dari Universitas Bonn, Jerman dalam bukunya berjudul Between Mumbai and Manila: Judaism in Asia since The Founding of the State of Israel.

Kejadian berdarah pada 30 September 1965 yang melahirkan Orde Baru pun semakin menyudutkan komunitas ini. Hutter menulis, kebijakan politik negara di era selanjutnya membatasi sorotan atas eksistensi Yudasime dan kelompok masyarakat keturunan Yahudi. Presiden Soeharto, menurut Hutter mendukung penerbitan literatur dan atmosfer anti-semit serta teori konspirasi seputar Yahudi, Israel dan Amerika Serikat.

Januari 2009, 21 organisasi masyarakat keagamaan menyerang sinagog atau tempat ibadah pemeluk Yudaisme di Surabaya. Aksi itu dipicu protes mereka atas serangan Israel ke Palestina.

Menurut Wahid Institut melalui keterangan tertulis mereka ketika itu, “Mereka tidak bisa membedakan tentara Israel yang menyerang Palestina dan pemeluk agama Yahudi. Dalam demonstrasi itu terlihat sentimen anti-Yahudi daripada komitmen atas HAM.”

                       
                               Prosesi pemakaman pemeluk Yudaisme di Jakarta, pertengahan Juli lalu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Saat ini, komunitas keturunan Yahudi di Indonesia tidak lagi sekuat masa kolonial. Mayoritas dari mereka telah berimigrasi, sebagian besar menetap di Amerika Serikat, Singapura, Belanda maupun kembali ke Israel.

Elisheva berkata, tidak sedikit keturunan orang-orang Yahudi itu kini tidak mengenali sejarah keluarga besar mereka. Menurutnya, kawin-mawin dengan penduduk lokal melahirkan keturunan Yahudi yang tak lagi menjalankan tradisi Yahudi. Desakan sosial memaksa mereka menganut agama resmi pemerintah.

“Banyak sepupu saya yang menolak fakta ada darah Yahudi mengalir di tubuh mereka. Mereka menolak, terutama karena agama yang telah mereka anut,” ucap Elisheva. Mengutip kalimat pamungkas kerabatnya, ia berkata, “Sudahlah tidak usah dibahas." 
Sumber: cnnindonesia.com