KOMNAS HAM: VONIS PT NSP DAPAT JADI YURISPRUDENSI
![]() |
Upaya pemadaman kebakaran hutan di Riau. Komnas HAM meminta putusan yang menghukum PT National Sago Prima (NSP) dalam kasus pembakaran hutan di Riau menjadi yurisprudensi dalam perkara serupa. (ANTARA FOTO/Rony Muharrman) |
Jakarta,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menilai putusan yang menghukum PT National Sago Prima (NSP) dalam kasus
pembakaran hutan dan lahan di Riau menjadi yurisprudensi dalam perkara
serupa.
Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi mengatakan putusan itu dapat menjadi yurisprudensi bagi para hakim lainnya dalam memutuskan perkara lain yang relatif serupa. Dia menuturkan putusan itu lebih baik dibandingkan dengan sejumlah putusan tentang kebakaran hutan sebelumnya. Yurisprudensi adalah putusan yang dijadikan pedoman dalam kasus yang relatif sama.
Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi mengatakan putusan itu dapat menjadi yurisprudensi bagi para hakim lainnya dalam memutuskan perkara lain yang relatif serupa. Dia menuturkan putusan itu lebih baik dibandingkan dengan sejumlah putusan tentang kebakaran hutan sebelumnya. Yurisprudensi adalah putusan yang dijadikan pedoman dalam kasus yang relatif sama.
Diketahui, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum PT
NSP, bagian dari Sampoerna Agro, untuk membayar Rp1,04 triliun karena
terbukti lalai dalam peristiwa kebakaran hutan di Riau. Putusan itu
dibacakan pada Kamis (11/8).
Seperti dilansir Detik.com, Ketua
majelis hakim Effendi Mukhtar menganggap PT NSP terbukti lalai dalam
peristiwa kebakaran hutan di Pulau Meranti, Riau, tahun lalu.
“Karena statusnya jadi putusan pengadilan, maka statusnya bisa menjadi yurisprudensi untuk hakim-hakim lainnya dalam memutus perkara yang kurang lebih sama,” kata Dianto di Jakarta, Jumat (12/8).
Dia menyambut baik putusan tersebut, walaupun uang Rp1 triliun itu dinilai tak memadai untuk rehabilitasi lingkungan dan kompensasi para warga yang terkena polusi asap. Dianto menegaskan uang Rp1 triliun itu juga harus jelas kemana akan dialokasikan oleh pemerintah.
Data Riau Corruption Trial (RCT) menyatakan PT NSP adalah badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan itu telah memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Bukan Kayu seluas 21.418 hektare di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.77/Menhut-II/2013 tanggal 4 Februari 2013.
“Karena statusnya jadi putusan pengadilan, maka statusnya bisa menjadi yurisprudensi untuk hakim-hakim lainnya dalam memutus perkara yang kurang lebih sama,” kata Dianto di Jakarta, Jumat (12/8).
Dia menyambut baik putusan tersebut, walaupun uang Rp1 triliun itu dinilai tak memadai untuk rehabilitasi lingkungan dan kompensasi para warga yang terkena polusi asap. Dianto menegaskan uang Rp1 triliun itu juga harus jelas kemana akan dialokasikan oleh pemerintah.
Data Riau Corruption Trial (RCT) menyatakan PT NSP adalah badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan itu telah memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Bukan Kayu seluas 21.418 hektare di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.77/Menhut-II/2013 tanggal 4 Februari 2013.
Analisis RCT, organisasi yang memantau peradilan soal lingkungan dan
korupsi, menyatakan lahan yang terbakar dalam kasus itu adalah sekitar
3.000 hektare. Sehingga, demikian organisasi itu, kerugian yang
diakibatkan adalah kerusakan ekologis, kerusakan ekonomi dan biaya
pemulihan lingkungan terhadap hutan yang terbakar.
Komnas HAM sebelumnya menyatakan belum ada penelitian mengenai dampak kesehatan jangka panjang terkait dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan, padahal sangat dibutuhkan. Terkait dengan hal itu, lembaga itu menegaskan perlu adanya riset tentang hal itu sebagai langkah pemulihan dan perlindungan hak atas kesehatan masyarakat yang telah terkena polusi.
Komnas HAM sebelumnya menyatakan belum ada penelitian mengenai dampak kesehatan jangka panjang terkait dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan, padahal sangat dibutuhkan. Terkait dengan hal itu, lembaga itu menegaskan perlu adanya riset tentang hal itu sebagai langkah pemulihan dan perlindungan hak atas kesehatan masyarakat yang telah terkena polusi.
Sumber: cnnindonesia.com