SETORAN PAJAK TURUN, UPETI TAX AMNESTY JADI ANDALAH KEMENKEU
![]() |
Kepala BKF Suahasil Nazara, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, dan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia (Afebi) Chandra Fajri Ananda menggelar jumpa pers di sela Forum Fiskal Internasional 2015 di Nusa Dua, Bali, Jumat (11/12). (CNN Indonesia/Agust Supriadi) |
Jakarta, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi
penerimaan perpajakan sepanjang paruh pertama tahun ini sebesar Rp518,4
triliun atau baru 33,7 persen dari target Rp1539,2 triliun di Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016.
Apabila dibandingkan dengan pencapaian periode yang sama tahun lalu sebesar Rp536,1 triliun, penerimaan perpajakan pada semester I 2016 turun sebesar 3,3 persen.
Merosotnya penerimaan perpajakan terkait pula dengan belum maksimalnya
setoran pajak yang terkumpul. Statistik menunjukkan, jumlah pajak yang
berhasil dipungut oleh para fiskus dalam enam bulan pertama tahun ini
baru sebesar Rp458,2 triliun atau baru 33,8 persen dari target Rp1.355,2
triliun.
Secara nominal, penerimaan pajak itu lebih rendah 0,1 persen dibandingkan dengan yang terkumpul selama periode Januari-Juni 2015, yang sebesar Rp458,5 triliun.
Suahasil Nazara, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menjelaskan, turunnya penerimaan pajak disebabkan oleh anjloknya harga minyak mentah (ICP) dan belum pulihnya kinerja ekspor dan impor.
Selain itu, lanjut Suahasil, meningkatnya beban restitusi pajak turut mengurangi penerimaan pajak semester I 2016.
Kendati demikian, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) itu optimistis target penerimaan pajak tahun ini bakal tercapai. Pasalnya, penerimaan pajak yang terkumpul sejauh ini belum memperhitungkan setoran uang tebusan dari para pemohon amnesti pajak (tax amnesty).
“Sampai akhir tahun kami tetap (capai) 100 persen, kan belum ada tax amnesty di enam bulan pertama,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menyebutkan, kebijakan tax amnesty berpotensi menyumbang penerimaan negara sebesar Rp165 triliun. Potensi tersebut memperhitungkan uang tebusan yang dibayarkan oleh para wajib pajak pemohon amnesti.
Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, ada tiga periode pengajuan amnesti pajak hingga 31 Maret 2017, yakni kuartal III dan kuartal IV 2016, serta kuartal I 2017. Adapun tarif dibuat dengan menyesuaikan periodesasi tersebut dan berdasarkan tiga kategori kebijakan amnesti pajak.
Pertama, untuk wajib pajak yang melakukan pelaporan (deklarasi) atas aset yang ada di dalam negeri atau yang merepatriasi dan menginvestasikan asetnya selama minimal tiga tahun dikenai tarif sebesar 2 persen untuk periode pelaporan kuartal III 2016, dan naik menjadi 3 persen dan 5 persen untuk masa pelaporan dua kuartal berikutnya.
Kedua, bagi wajib pajak yang hanya mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa mau membawa pulang ke Indonesia akan dikenakan tarif berjenjang yang lebih tinggi, yakni 4 persen, 6 persen, dan 10 persen untuk periodesasi yang sama.
Ketiga, dikhususkan bagi wajib pajak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan pendapatan kurang dari Rp4,8 miliar per tahun dijanjikan tarif uang tebusan yang lebih rendah dari kedua kriteria normal. Untuk UMKM hanya ada dua skema tarif uang tebusan, yakni 0,5 persen bagi UMKM dengan nuilai aset kurang dari Rp10 miliar dan 2 persen untuk jumlah aset lebih dari Rp10 miliar.
Apabila dibandingkan dengan pencapaian periode yang sama tahun lalu sebesar Rp536,1 triliun, penerimaan perpajakan pada semester I 2016 turun sebesar 3,3 persen.
Secara nominal, penerimaan pajak itu lebih rendah 0,1 persen dibandingkan dengan yang terkumpul selama periode Januari-Juni 2015, yang sebesar Rp458,5 triliun.
Suahasil Nazara, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menjelaskan, turunnya penerimaan pajak disebabkan oleh anjloknya harga minyak mentah (ICP) dan belum pulihnya kinerja ekspor dan impor.
Selain itu, lanjut Suahasil, meningkatnya beban restitusi pajak turut mengurangi penerimaan pajak semester I 2016.
Kendati demikian, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) itu optimistis target penerimaan pajak tahun ini bakal tercapai. Pasalnya, penerimaan pajak yang terkumpul sejauh ini belum memperhitungkan setoran uang tebusan dari para pemohon amnesti pajak (tax amnesty).
“Sampai akhir tahun kami tetap (capai) 100 persen, kan belum ada tax amnesty di enam bulan pertama,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menyebutkan, kebijakan tax amnesty berpotensi menyumbang penerimaan negara sebesar Rp165 triliun. Potensi tersebut memperhitungkan uang tebusan yang dibayarkan oleh para wajib pajak pemohon amnesti.
Dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, ada tiga periode pengajuan amnesti pajak hingga 31 Maret 2017, yakni kuartal III dan kuartal IV 2016, serta kuartal I 2017. Adapun tarif dibuat dengan menyesuaikan periodesasi tersebut dan berdasarkan tiga kategori kebijakan amnesti pajak.
Pertama, untuk wajib pajak yang melakukan pelaporan (deklarasi) atas aset yang ada di dalam negeri atau yang merepatriasi dan menginvestasikan asetnya selama minimal tiga tahun dikenai tarif sebesar 2 persen untuk periode pelaporan kuartal III 2016, dan naik menjadi 3 persen dan 5 persen untuk masa pelaporan dua kuartal berikutnya.
Kedua, bagi wajib pajak yang hanya mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa mau membawa pulang ke Indonesia akan dikenakan tarif berjenjang yang lebih tinggi, yakni 4 persen, 6 persen, dan 10 persen untuk periodesasi yang sama.
Ketiga, dikhususkan bagi wajib pajak Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan pendapatan kurang dari Rp4,8 miliar per tahun dijanjikan tarif uang tebusan yang lebih rendah dari kedua kriteria normal. Untuk UMKM hanya ada dua skema tarif uang tebusan, yakni 0,5 persen bagi UMKM dengan nuilai aset kurang dari Rp10 miliar dan 2 persen untuk jumlah aset lebih dari Rp10 miliar.
Sumber: cnnindonesia.com