KARPET MERAH PENGEMPLANG PAJAK, UU TAX AMNESTY AKAN DIGUGAT
![]() |
Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam YSK dan SPRI akan menggugat UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi karena menjadi karpet merah pengemplang pajak. (REUTERS/Kacper Pempel) |
Jakarta,
Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Yayasan
Satu Keadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) akan
menggugat Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke Mahkamah
Konstitusi.
UU yang baru disahkan DPR pada 28 Juni lalu ini dianggap sebagai 'karpet merah' bagi para pengemplang pajak untuk menghapus dosanya.
Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso menilai aturan yang tercantum dalam UU ini tak adil. Para pengemplang pajak justru diberikan pengampunan, tidak dikenai denda, dan tidak dipidana meski belum melaporkan pajaknya.
"Para pengemplang pajak ini malah diberi keringanan dengan membayar tebusan bertarif rendah," ujar Sugeng saat memberikan keterangan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/7).
UU yang baru disahkan DPR pada 28 Juni lalu ini dianggap sebagai 'karpet merah' bagi para pengemplang pajak untuk menghapus dosanya.
Ketua YSK Sugeng Teguh Santoso menilai aturan yang tercantum dalam UU ini tak adil. Para pengemplang pajak justru diberikan pengampunan, tidak dikenai denda, dan tidak dipidana meski belum melaporkan pajaknya.
"Para pengemplang pajak ini malah diberi keringanan dengan membayar tebusan bertarif rendah," ujar Sugeng saat memberikan keterangan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (10/7).
Padahal, kata Sugeng, jumlah uang tebusan yang diatur dalam UU tidak
seimbang dengan jumlah kekayaan dan pelanggaran hukum yang dilakukan
pengemplang pajak. Tarif uang tebusan ini hanya berkisar dua hingga 10
persen dari jumlah kekayaan yang dimiliki wajib pajak.
"Negara malah memberi diskon habis-habisan bagi pengemplang pajak agar bersedia membayar pajak," katanya.
Selain itu UU Tax Amnesty juga berpotensi menjadi celah bagi penjahat perpajakan untuk membersihkan nama dan hasil kejahatan masa lalu. Sugeng menuding bahwa UU ini sengaja dibuat atas pesanan para pengemplang pajak.
Sebab dalam pasal 11 UU Tax Amnesty menyebutkan, bagi siapa saja mendaftarkan kekayaannya yang selama ini disembunyikan, maka diberikan hak eksklusif untuk dihapuskan pajak terhutangnya, terbebas dari sanksi administrasi, dan dihentikan penyidikannya.
"Patut diduga UU ini pesanan para pengemplang karena memberikan hak eksklusif bagi para pengemplang pajak," ucap Sugeng.
Lebih lanjut, UU Tax Amnesty ini juga terkesan memberikan perlindungan bagi para pejabat Kementerian Keuangan termasuk menteri dan wakilnya karena mereka tak bisa dilaporkan, digugat, atau dituntut terkait pengampunan pajak.
Hal ini, kata Sugeng, bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945 yang menyebutkan bahwa semua warga negara Indonesia mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut Sugeng, pemerintah tidak berkaca pada kegagalan tax amnesty yang pernah berlaku di Indonesia pada tahun 1964 dan 1986. Alih-alih masyarakat membayar pajak tepat waktu, negara justru kehilangan hak dan potensi tagih pada denda yang mestinya dibayarkan wajib pajak saat itu.
Di samping itu, UU Tax Amnesty ini ternyata hanya berlaku sampai 31 Maret 2017. Anggota Persatuan Advokat Indonesia ini tak yakin adanya UU yang berlaku temporary atau sementara. Aturan mengenai batas waktu berlakunya UU dinilai bertentangan dengan dasar perancangan peraturan UU.
"UU itu harusnya memuat pokok pikiran untuk jangka waktu panjang. Ini aneh karena ada masa berlakunya. Jadi jangan sampai bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi," tutur Sugeng.
"Negara malah memberi diskon habis-habisan bagi pengemplang pajak agar bersedia membayar pajak," katanya.
Selain itu UU Tax Amnesty juga berpotensi menjadi celah bagi penjahat perpajakan untuk membersihkan nama dan hasil kejahatan masa lalu. Sugeng menuding bahwa UU ini sengaja dibuat atas pesanan para pengemplang pajak.
Sebab dalam pasal 11 UU Tax Amnesty menyebutkan, bagi siapa saja mendaftarkan kekayaannya yang selama ini disembunyikan, maka diberikan hak eksklusif untuk dihapuskan pajak terhutangnya, terbebas dari sanksi administrasi, dan dihentikan penyidikannya.
"Patut diduga UU ini pesanan para pengemplang karena memberikan hak eksklusif bagi para pengemplang pajak," ucap Sugeng.
Lebih lanjut, UU Tax Amnesty ini juga terkesan memberikan perlindungan bagi para pejabat Kementerian Keuangan termasuk menteri dan wakilnya karena mereka tak bisa dilaporkan, digugat, atau dituntut terkait pengampunan pajak.
Hal ini, kata Sugeng, bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945 yang menyebutkan bahwa semua warga negara Indonesia mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut Sugeng, pemerintah tidak berkaca pada kegagalan tax amnesty yang pernah berlaku di Indonesia pada tahun 1964 dan 1986. Alih-alih masyarakat membayar pajak tepat waktu, negara justru kehilangan hak dan potensi tagih pada denda yang mestinya dibayarkan wajib pajak saat itu.
Di samping itu, UU Tax Amnesty ini ternyata hanya berlaku sampai 31 Maret 2017. Anggota Persatuan Advokat Indonesia ini tak yakin adanya UU yang berlaku temporary atau sementara. Aturan mengenai batas waktu berlakunya UU dinilai bertentangan dengan dasar perancangan peraturan UU.
"UU itu harusnya memuat pokok pikiran untuk jangka waktu panjang. Ini aneh karena ada masa berlakunya. Jadi jangan sampai bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi," tutur Sugeng.
Rencananya ada 11 pasal dalam UU Tax Amensty yang akan digugat ke MK.
Namun, Sugeng belum tahu kapan dirinya akan mendaftarkan gugatan
tersebut. Meski telah disahkan DPR, dia masih menunggu UU tersebut
ditandatangani Presiden Joko Widodo.
"Sudah disahkan tapi saya cek di lembaran negara belum ada. Tapi jika tidak ditandatangani, batas waktunya 30 hari dari 28 Juni. Setelah itu aturan ini otomatis akan mengikat," katanya.
"Sudah disahkan tapi saya cek di lembaran negara belum ada. Tapi jika tidak ditandatangani, batas waktunya 30 hari dari 28 Juni. Setelah itu aturan ini otomatis akan mengikat," katanya.
Sumber: cnnindonesia.com