Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KADIS PENDIDIKAN BENARKAN PERPELONCOAN LEBIH DOMINAN USAI MOS

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Sopan Adrianto. (Detik Foto/Ari Saputra)
Jakarta,  Penuturan dua orang alumni sebuah SMU di Jakarta Selatan yang mengaku melihat dan mengalami kekerasan sepanjang tahun senada dengan pernyataan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Sopan Adrianto. Menurut Sopan, perpeloncoan dan kekerasan oleh siswa senior kepada junior justru lebih dominan setelah Masa Orientasi Siswa (MOS).

“Dalam pelaksanaan MOS bisa saja tidak terjadi apa-apa, pasca MOS itu lebih dominan, seperti ada panitia pelantikan anggota baru ekstrakurikuler. Ini celah yang memungkinkan ajang balas dendam para senior,” kata Sopan kepada CNNIndonesia.com.

Sopan menjelaskan, hal tersebut dapat terjadi karena seluruh proses pelantikan untuk kegiatan ekskul diserahkan sepenuhnya kepada siswa. Untuk itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 18/2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) bagi Siswa Baru dianggap Sopan sebagai salah satu solusi konkret mengatasi kekerasan di sekolah.

Permendikbud tersebut bukan hanya mengubah nama MOS menjadi PLS, tetapi juga mengatur setiap jenis kegiatan yang melibatkan siswa di sekolah, termasuk ekskul dan kewajiban melibatkan guru dalam program mereka.

Dia mencontohkan, aktivitas ekskul di luar sekolah tidak lagi diperbolehkan setelah terbit Permendikbud tersebut. “Semua harus di lingkungan sekolah, panitia harus ada orang tua dan guru, bukan hanya dari OSIS seperti selama ini,” katanya.

Pasal 5 ayat 1 Permendikbud Nomor 18/2016 menyebutkan secara rinci poin-poin yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan PLS, di antaranya dengan tegas melarang melibatkan siswa senior dan alumni sebagai penyelenggara, dilarang bersifat perpeloncoan dan kekerasan, dan dilarang memberikan tugas kepada siswa baru berupa kegiatan dan penggunaan atribut yang tak relevan dengan pembelajaran siswa.

Sejumlah sanksi untuk semua pihak yang melanggar peraturan tersebut juga disiapkan yaitu untuk siswa, kepala sekolah, dan guru, yang dapat dilakukan oleh kepala dinas pendidikan setempat hingga menteri. Sanksi tersebut mulai dari teguran tertulis, pemberhentian tetap dari jabatan, rekomendasi penurunan level akreditasi, hingga penutupan sekolah.

Permendikbud tersebut ditetapkan pada 27 Mei 2016 yang terdiri dari 12 pasal. Pasal 11 Permendikbud itu menjelaskan, Permenndikbud Nomor 55 tahun 2014 tentang MOS dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Larangan Spesifik

Permendikbud 18/2016 tersebut juga terdiri dari tiga lampiran yaitu silabus PLS; contoh formulir PLS bagi siswa baru; dan ketiga, contoh kegiatan serta atribut yang dilarang dalam pelaksanaan PLS.

Atribut yang dilarang diperintahkan kepada siswa baru terdiri dari enam poin yaitu larangan penggunaan tas karung, tas belanja plastik, dan sejenisnya; kaos kaki berwarna warni tidak simetris; aksesori di kepala dan alas kaki yang tidak wajar; papan nama berbentu rumit dan menyulitkan atau berisi konten yang tidak bermanfaat; atribut lain yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran.
Sedangkan aktivitas yang dilarang yaitu memberikan tugas kepada siswa baru agar wajib membawa suatu produk dengan merek tertentu; menghitung sesuatu yang tidak bermanfaat seperti nasi, gula dan semut; memakan dan meminum makanan dan minuman sisa yang bukan milik siswa baru.

Aktivitas terlarang lainnya dalam PLS yaitu memberikan hukuman yang tidak mendidik seperti menyiramkan air serta hukuman fisik atau mengarah pada tindak kekerasan; dan memberi tugas tak masuk akal seperti berbicara dengan hewan, tumbuhan serta membawa barang yang sudah tidak diproduksi.

“Hal itu dianggap biasa selama ini oleh sekolah. Tapi sekarang, segala bentuk perpeloncoan dan kekerasan adalah cara lama yang tidak boleh lagi dilakukan,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad.




Sumber:cnnindonesia.com