Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CERITA MAHASISWA PAPUA DUKUNG PERJUANGAN WARGA YOGYA

Ilustrasi. (ANTARA/Hendra Nurdiyansyah)
Jakarta,  Dua hari setelah pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, Pagu- yuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP) dan Wahana Tri Tunggal (WTT) dua organisasi masyarakat di Yogya mengeluarkan pernyataan sikap berempati terhadap kawan Papua. Bagi mereka, mahasiswa Papua itu sudah seperti saudara sendiri.

“Menanggapi aksi kekerasan aparat keamanan negara dan ormas reaksioner terhadap warga Papua di Yogya, kami menyatakan sikap: warga dan mahasiswa Papua di Yogyakarta selama ini telah bersolidaritas mendukung perjuangan kami menolak tambang pasir besi dan rencana pembangunan bandara di Kulon Progo, dan kami perlu bersolidaritas kepada mereka,” demikian petikan pernyataan PPLP KP dan WTT yang dirilis Minggu (17/7).

Kecaman dilontarkan dua organisasi itu karena mereka pernah mengalami kekerasan serupa saat berjuang mempertahankan hak-hak dan ruang hidup mereka.

“Kami sangat bisa merasakan bahwa kekerasan terhadap warga dan mahasiswa Papua tidak bisa dibenarkan demi kemanusiaan,” ujar pengurus PPLP KP dan WTT.

Bukan cuma masyarakat pesisir pantai selatan Yogya itu yang pernah dibantu orang Papua, tapi juga warga Kampung Miliran, Umbulharjo, di sekitar Asrama Mahasiswa Papua yang sehari-hari hidup dekat dengan para mahasiswa itu.

“Ketika sumur-sumur warga Kampung Miliran kering karena air tanah disedot hotel yang berdiri di sekitar situ, mahasiswa Papua membantu melakukan advokasi. Teman-teman Papua berdemonstrasi bersama warga Miliran menggugat hotel itu, justru ketika banyak orang Yogya tak peduli isu tersebut,” kata salah satu warga Yogya, Elanto Wijoyono, kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/7).

Kala itu dua tahun lalu, 2014, kekeringan tiba-tiba melanda Kampung Miliran. Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 50 sumur yang kering sekaligus. Menurut salah satu warga, Dodok Putra Bangsa, sebelum itu kekeringan tak pernah menyambangi daerahnya yang memiliki cadangan air tanah melimpah, termasuk saat kemarau panjang.

Elanto berkata, jangan kira mahasiswa Papua di Yogya tak serius belajar. Pakar teknologi informasi yang sempat ramai dibicarakan orang lantaran aksinya menghadang konvoi motor gede Harley-Daridson di perempatan Condongcatur tahun lalu itu, lantas bercerita saat ia bertemu dengan kawan-kawan timur Indonesia di sejumlah lokakarya.

“Mereka mendorong sistem informasi untuk desa-desa, dan sering bekerja sama dengan staf pengajar STPMD (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa) untuk menerapkan sistem informasi di desa-desa berbagai daerah,” ujar Elanto.

Dalam tiap diskusi, kata Elanto, kawan-kawan timur amat antusias. “Itu menunjukkan mereka datang ke Yogya memang untuk belajar. Mahasiswa-mahasiwa Papua sangat serius mempelajari sistem pemerintahan desa yang baik, untuk dibawa dan diterapkan ke daerah mereka.”

Saat tinggal di desa-desa di Yogya sebagai bagian dari program studi mereka, ujar Elanto, para mahasiswa Papua pun berinteraksi dengan baik dengan pemerintah desa setempat.

Menengok lebih jauh sekitar enam tahun lalu, Desember 2010, puluhan mahasiswa Papua juga ikut serta dalam aksi dukungan terhadap keistimewaan Yogyakarta. Dengan pakaian adat Papua, mereka menggelar long march dari Alun-alun Utara Yogyakarta menuju Kantor DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebagian masyarakat Yogya ketika itu merasa keistimewaan daerah mereka terancam saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya menyinggung status monarki. Sistem monarki, ujar SBY pada satu kesempatan, bertentangan dengan demokrasi.

Monarki, di mana pemerintahan dikepalai oleh raja, dianut oleh Yogyakarta yang dipimpin sultan. Sementara demokrasi atau pemerintahan rakyat, merupakan sistem yang digunakan di Indonesia secara keseluruhan.

Maka sebagai solidaritas terhadap warga Yogya, saat itu  para mahasiswa Papua sambil long march berseru, “Kami dukung Yogya tetap istimewa! Hidup Yogya! Jangan ganggu keistimewaan Yogya!”

Keistimewaan Yogyakarta yang dipimpin sultan selaku gubernur, Sri Sultan Hamengkubuwono X (kiri depan), didukung oleh para mahasiswa Papua yang menempuh studi di sana. (ANTARA/Sigid Kurniawan)
Kemanusiaan di atas segalanya

Pemerhati Papua, Amiruddin Al Rahab, mengatakan selama ini orang Papua dan Jawa di Yogya saling berhubungan baik. Banyak pula orang Papua yang kini berkeluarga dengan orang Yogya.

Latar belakang relasi yang baik antara kedua suku tak pelak membuat Amiruddin kaget dengan peristiwa pengepungan terhadap Asrama Mahasiswa Papua di Yogya.

Antropolog dan aktivis Yogya yang tergabung dalam Forum Solidaritas Yogyakarta Damai, Sigit Budhi Setiawan, menyatakan prasangka dan rasialisme pasti ada di semua bangsa dan seluruh lapisan masyarakat. Hal itulah yang justru harus dihindari di Yogya.

“Semua suku memiliki individu yang punya kelakuan buruk, tapi tak bisa digeneralisasi ke semua orang di suku itu. Namun yang kini kerap berkembang di Yogya, karena si A minoritas, dia orang timur, maka dia harus berlaku seribu kali lebih baik dari penduduk asli. Rasialisme tumbuh di situ,” kata Sigit.

Tiap hari di Yogya, ujarnya, preman bermotor yang mengatasnamakan partai politik berkeliling, mengincar orang-orang minoritas yang melakukan kesalahan. Perilaku meleset sedikit aja, kaum minoritas lantas dipukuli.

Jika tidak dipukuli, kaum minoritas itu dicerca: dasar wong ireng! (dasar orang kulit hitam).

Para preman berjubah partai politik dan ormas-ormas itu, kata Sigit, hampir setiap hari dan setiap minggu mencari-cari keributan, bertengkar, bahkan memukuli mahasiswa.

Dalam pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Yogya pun, ujar Sigit, para mahasiswa Papua yang tinggal di sana justru tak bermasalah dengan warga sekitar.

“Jika dikomparasikan dengan asrama tertentu, asrama lain bahkan ada yang penghuninya tak akur sama penduduk, tertangkap pakai narkotik. Padahal agama dan warna kulit sama dengan penduduk sekitar. Beda dengan Papua yang beda warna kulit, dan seperti ada penggiringan opini publik untuk menjadikan mereka musuh bersama,” kata Sigit.

Satu orang Papua yang melakukan tindak kriminal, ujar Elanto, tidak bisa lantas dipukul rata dan diartikan semua orang Papua berbuat kriminal. Ia menyesalkan generalisasi yang kerap dilakukan masyarakat.

“Ketika ada peristiwa yang melibatkan teman-teman Papua, itu dianggap perilaku umum untuk seluruh mahasiswa Papua di Yogya,” kata dia.

Lebih parah lagi, pandangan politik sebagian kawan Papua lantas dihubung-hubungkan dengan generalisasi stereotip bahwa mereka kelompok yang melakukan kekerasan.

“Padahal orang Yogya yang melakukan kekerasan dan tindak kriminal juga banyak,” kata Elanto.

Situasi makin runyam karena represi terhadap mahasiswa Papua yang menyuarakan demokrasi untuk tempat asal mereka, kemudian dianggap benar karena orang Papua dicitrakan identik dengan kekerasan.

“Perbedaan pandangan politik seharusnya jangan sampai menghilangkan relasi antarsesama manusia,” ujar Elanto.

Salah satu mahasiswa Papua yang Jumat pekan lalu berada dalam asrama yang dikepung, menegaskan bahwa orang Papua tak memiliki masalah dengan warga Yogya.

“Ketika kami dikepung dan kelaparan pun, justru warga Yogya bersama para aktivis dan mahasiswa yang berupaya mendistribusikan makanan minuman ke dalam asrama untuk kami, meski dihalang-halangi polisi,” kata dia.

Di Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menuding tindakan represif aparat justru menyediakan amunisi bagi para pendukung Gerakan Kebebasan Papua untuk terus memperjuangkan kemerdekaan provinsi paling timur Indonesia itu.

Kepolisian DIY mengatakan polisi tak mengepung Asrama Mahasiswa Papua, namun menjaga mereka dari potensi bentrokan dengan ormas-ormas yang menentang Gerakan Pembebasan Papua.

Meski demikian, warga merasa langkah aparat menurunkan tiga-empat truk berisi personel Kepolisian ke kampung tempat tinggal mereka yang dekat dengan Asrama Mahasiswa Papua, berlebihan.

Sejak Asrama Mahasiswa Papua berdiri pada 1968 sampai sekarang, belum pernah ada pasukan polisi demikian banyaknya mengepung Kampung Miliran, pun ketika pertikaian antarsuku pecah di sana. 
 
 
 
 
Sumber: cnnindonesia.com