'PEMERASAN GEREJA' DI BANDUNG: 'MEREKA MINTA Rp.200JUTA'
![]() |
Sekelompok orang menggelar unjuk rasa mempertanyakan izin pendirian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Bandung, Minggu (10/04) lalu. |
Praktik dugaan
pemerasan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan terhadap beberapa
gereja di sekitar kota Bandung, Jawa Barat, dikhawatirkan akan terus
berlanjut selama pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus-kasus
seputar izin pendirian tempat ibadah.
Hasil pertemuan Komnas HAM
dengan sejumlah pimpinan gereja di Bandung, Jumat (03/06), menyebutkan
ada beberapa ormas yang diduga memeras setidaknya tiga gereja di sekitar
kota Bandung dengan dalih bangunan tempat ibadah itu tidak berizin.
Kepada
BBC Indonesia, seorang pemimpin gereja di Bandung mengaku pernah
diperas hingga sekitar Rp200 juta oleh orang-orang yang tergabung dalam
ormas berlabel agama.
Menurut Komnas HAM, kasus pemerasan seperti
itu akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak mampu bersikap tegas
menghadapi kelompok-kelompok antitoleran yang main hakim sendiri, kata
Komnas HAM.
"Poin yang ingin diungkap oleh Komnas HAM
adalah bahwa ketidaktegasan pemerintah terhadap aksi main hakim sendiri
oleh kelompok intoleran itu berbuntut pada aksi premanisme, pemerasan
dan kejahatan yang lain," kata komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat,
Senin (06/06) sore.
Image copyright
PGI.or.id
Image caption
Suasana unjuk rasa di sekitar gereja GBKP Bandung Timur, Minggu (10/04).
Lebih lanjut dia mengatakan sikap pemerintah daerah
dan pusat yang "membiarkan status" sebagian gereja-gereja tanpa izin
ikut menyuburkan praktik pemerasan.
Karena itu, Komnas HAM meminta pemerintah melakukan langkah simultan untuk mendampingi pimpinan gereja untuk mengurus izinnya.
"Mana
yang memenuhi perizinan segera diterbitkan izinnya, mana yang belum
(keluar izinnya) ditanya kesulitannya apa dan dibantu bagaimana cara
memenuhi persyaratannya," papar Imdadun.
Pengakuan gereja yang diperas
Komnas
HAM menolak menyebutkan nama gereja dan ormas yang dituduh melakukan
pemerasan, tetapi hasil penelusuran BBC Indonesia mengungkapkan
salah-satu gereja yang menjadi korban pemerasan adalah Gereja Batak Karo
Protestan, GBKP Bandung Timur.
Bangunan gereja itu terletak di Jalan Kawaluyan, Kecamatan Buah Batu, Bandung, Jabar.
![]() |
Aksi umat Kristen mempertanyakan soal penutupan gereja Filadelpia, Bekasi, yang dianggap tidak berizin. |
Walaupun mengaku telah mendapatkan izin sejak empat
tahun silam, pimpinan gereja itu mengaku beberapa kali didemo oleh
sejumlah ormas yang menuding izin pembangunan gereja tidak sah.
"Berkali-kali
didemo sehingga gereja sempat tidak bisa dipakai. Dan pada akhir 2015,
justru ormasnya datang dan minta Rp200 juta supaya gereja bisa
difungsikan," kata seorang tokoh gereja Bandung yang mengalaminya,
kepada BBC Indonesia, Senin (06/06) malam.
Ia mengaku menolak
memenuhi tuntutan sekelompok orang itu. "Permintaan itu tidak logis dan
tentu tidak ada jaminan, apakah nanti kita tidak diperas lagi,"
tandasnya.
Ormas Garis membantah
Penolakan
itu, lanjutnya, membuat mereka kembali didemo oleh orang-orang yang
melakukan pemerasan serta beberapa ormas lainnya. "Tanggal 10 April lalu
mereka demo lagi, mereka seperti mau menanamkan kebencian kepada warga
sekitar gereja," ungkap sang tokoh gereja itu lagi.
Sumber BBC
Indonesia menyebutkan salah-satu ormas yang diduga terlibat pemerasan
beberapa gereja di sekitar Bandung adalah Gerakan Reformasi Islam atau
Garis.
Tetapi salah-seorang pimpinan Gerakan Reformasi
Islam, Afif Koswara membantah tuduhan pihaknya memeras pimpinan gereja
GBKP Bandung Timur.
"Tidak benar itu. Enggak ada peras-memeras. Enggak benar itu," kata Afif kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui sambungan telepon, Senin (06/06) malam.
Menurutnya,
selama ini pihaknya hanya menggelar unjuk rasa di depan gereja GBKP
Bandung Timur karena menuding izin pembangunan gereja itu tidak sah.
Sikap Polda Jabar
Kepolisian Jawa Barat meminta Komnas HAM dan pimpinan gereja untuk melaporkan kasusnya sehingga mereka bisa menindaklanjutinya.
"Komnas
HAM sudah berani mengungkap ada gereja yang diperas, ada ormas yang
memeras, sebutkan saja siapa mereka. Laporkan saja kepada kami," kata
Kepala humas Polda Jabar, Komisaris besar Yusri Yunus.
Tokoh gereja GBPK Bandung Timur mengaku pihaknya
kesulitan mengadukan kasus pemerasan karena minimnya bukti-bukti. "Kerja
mereka rapi sekali," ungkapnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Masalah
keamanan juga menjadi pertimbangan dirinya tidak melaporkannya ke
polisi. "Mereka akan terus menganggu kita. Kadang-kadang bagus didiamkan
saja," tambahnya.
Tetapi, komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan concern
pihaknya bukan pada masalah pemerasan, tetapi lebih kepada apa yang
disebutnya sebagai ketidaktegasan pemerintah terhadap aksi main sendiri
oleh kelompok intoleran.
"Penggunaan kekuasaan seperti menyegel
(bangunan tempat ibadah tidak berizin) itu otoritas pemerintah, dan
tidak boleh diambil oleh ormas. Harus ada penegakan hukum," kata
Imdadun.
Izin seharusnya disederhanakan
Sementara, peneliti lembaga pemerhati hak asasi manusia, Setara, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan pemerasan oleh ormas terhadap gereja dengan dalih perizinan bukanlah hal baru.
Pihaknya
mengaku pernah mendapat laporan kasus pemerasan terhadap sebuah gereja
di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Kasus gereja Toraja di kawasan Bintaro, menurutnya,
dilatari kesulitan pihak gereja untuk mendapatkan izin mendirikan
bangunan (IMB). "Mereka kemudian didekati sebuah ormas yang menjanjikan
untuk urus IMB," katanya.
"Akhirnya IMB berhasil didapatkan,
seolah ormas itu menunjukkan mereka bertoleransi terhadap umat lain.
Tetapi biaya yang dikeluarkan hampir Rp100 juta," ungkap Bonar.
Menurut
Bonar, praktik pemerasan ini bisa terjadi karena dilatari keberadaan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9
tahun 2006 tentang pendirian tempat ibadah.
"Karena kesulitan
mendapatkan dukungan tanda tangan, dan tidak mendapat dukungan lurah,
misalnya, sangat mungkin kemudian ada yang mengambil jalan pintas,"
katanya.
Dalam peraturan itu pendirian tempat ibadah antara
lain harus didukung masyarakat setempat, yaitu paling sedikit 60 orang
yang disahkan oleh pimpinan desa, selain pengguna rumah ibadah minimal
90 orang.
Kemudian harus ada rekomendasi tertulis kepala kantor
departemen agama setempat dan rekomendasi tertulis forum kerukunan umat
beragama (FKUB) kota.
"Sangat birokratis dan akibatnya, tidak
hanya ketat, kemungkinan pada level tertentu akan ada intervensi pihak
lain," tambah Bonar.
Karena itulah dia mengusulkan izin pendirian
tempat ibadah dipermudah menjadi dua syarat. "Yaitu jumlah jemaat lebih
dari cukup dan lokasi rumah ibadah sesuai tata ruang."
Tanggapan Kementerian agama
Terlepas
dari kasus pemerasan gereja di Bandung, Dirjen bimas Kristen
Kementerian agama, Odita Hutabarat mengaku "ada semangat teman-teman
Kristen yang memang besar sekali untuk mendirikan tempat ibadah".
"Tetapi
kita punya regulasi," kata Odita sata dihubungi BBC Indonesia, Senin
malam. "Jadi, kadang-kadang ada teman-teman dari gereja tertentu belum
memenuhi sesuai regulasi itu."
![]() |
Gereja Katolik di pusat kota Banda Aceh, Provinsi NAD. |
Regulasi itu adalah Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006
tentang pendirian tempat ibadah.
"Mereka akan merasa sulit karena tidak memenuhi aturan itu,"tambahnya.
Menanggapi
usulan agar regulasi itu disederhanakan, Odita mengatakan bisa saja itu
dilakukan karena alasan situasi dan lokasi pendirian gereja. "Tetapi
peraturan itu sudah disepakati semua pihak sebelum akhirnya dilegalkan,"
paparnya.
Tentang adanya anggapan sebagian umat Kristen yang
merasa didiskriminasikan terkait izin pendirian tempat ibadah, Odita
mengatakan "pertumbuhan gedung gereja yang mendapat izin cukup signifikan."
Kasus per kasus
Menyinggung
penolakan ormas tertentu terhadap pendirian gereja, Odita meminta
melihatnya kasus per kasus. "Tidak bisa menyama-ratakan kasus. Bisa saja
itu terjadi di berbagai tempat dan penolakan itu 'kan menunjukkan belum
ada persetujuan 90 orang di sekitarnya."
Dalam pesan tertulisnya
kepada BBC Indonesia, Kepala badan litbang dan diklat Kementerian agama,
Abdul Rahman Mas'ud mengatakan, kasus-kasus 'intoleransi' utamanya
menimpa pemeluk agama minoritas di lingkungan mayoritas.
Namun dalam perkembangannya, "problem tidak melulu
soal intoleransi beragama, tapi karena poleksosbud (soal status tanah,
soal izin, soal komunikasi, dsb)", tulisnya.
Abdul Rahman
kemudian menambahkan, kasus intoleransi menimpa semua kalangan agama.
"Di barat Indonesia kebanyakan kasus gereja, di tengah dan timur
Indonesia kebanyakan masjid," ungkapnya.
"Bedanya, ekpose (pemberitaan) kasus lebih pada gereja," tulis Abdul Rahman.
Sumber :bbcindonesia