Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CEGAH MUNCULNYA PELAKU TERORISME, DENSUS 88 DITUNTUT PROFESIONAL

Sejumlah pihak mengatakan perluasan kewenangan Densus 88 harus disertai pengawasan.

Detasemen Khusus 88 (Densus 88) dituntut lebih profesional dan transparan dalam melakukan upaya penangkapan tersangka kasus terorisme, untuk mencegah munculnya pelaku terorisme baru, seperti disampaikan oleh Panitia Khusus revisi UU Terorisme DPR.

Wakil ketua Pansus revisi UU Terorisme, Hanafi Rais, mengatakan perluasan wewenang Densus 88 untuk menangkap terduga kasus terorisme dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, harus disertai dengan tindakan yang profesional agar tidak terjadi salah tangkap.

“Ini kita cermati, kita waspadai betul-betul bukan untuk melemahkan polisi, tetapi untuk menghindari supaya tidak menjadi alasan teroris tidak merekrut orang baru lagi, " kata Hanafi.

"Jangan sampai mereka mengatakan wah kita didzalimi nih ditahan seenaknya, sehingga kemudian itu jadi bahan untuk merekrut sel-sel baru,” jelas Hanafi usai acara diskusi bersama dengan Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) di Jakarta, Selasa (03/05).

Hanafi mencontohkan kasus Siyono, warga Klaten yang tewas setelah ditangkap Densus 88. Hasil autopsi yang dilakukan oleh Komnas HAM dan PP Muhammadiyah, menyebutkan penyebab kematian Siyono akibat patah tulang pada bagian iga dan tulang dada akibat benda tumpul di rongga dada yang mengarah ke jaringan jantung.

Polisi menolak hasil itu dan menyebutkan Siyono tewas setelah berkelahi dengan anggota Densus 88 yang mengawalnya.

Data intelijen kuat

Hanafi mengatakan polisi seringkali melakukan penahanan dan setelah itu dibebaskan karena tidak ada bukti atau akibat informasi yang salah.

Menurut Hanafi, untuk menghindari kesalahan, penangkapan terduga terorisme juga harus disertai bukti-bukti intelijen yang kuat.

“Kita ingin sejak awal data intelijen itu akurat, sejak awal kita ingin polisi kerjanya udah bener , jadi mengurangi risiko salah tangkap dan mencari-cari kesalahan,” jelas anggota DPR dari Fraksi PAN ini.

Rehabilitasi juga harus diberikan kepada orang yang mengalami tindakan salah tangkap ini, tambah Hanafi.
Aksi protes terhadap tindakan Densus 88 terhadap terduga kasus terorisme Siyono, di Solo.
Dia mengatakan tindakan terorisme melanggar HAM tetapi kewenangan yang diberikan oleh Densus 88 jangan sampai melanggar HAM.

Sementara itu, Ketua PBNU Said Aqil Siraj menyetujui UU Terorisme harus diperkuat, terutama dalam menangkap seseorang yang berencana melakukan aksi terorisme.

“Jadi teroris masih membahayakan maka UU harus diperketat. Kalau saya intel, kalau saya intel BIN tahu ini teroris akan mengebom, masa tak boleh menangkap?” kata Said.

Said mengatakan terorisme masih menjadi ancaman bagi Indonesia, karena ratusan WNI telah berangkat ke Suriah yang bisa menjadi ancaman ketika kembali.
 
Hanafi mengatakan dalam revisi UU anti-terorisme kewenangan penangkapan hanya diberikan kepada polisi, sementara BIN dan TNI hanya sebagai pendukung. “TNI hanya membantu jika dibutuhkan skill nya, seperti di hutan,” jelas dia.

Lembaga pengawas

Masalah lain yang disoroti Hanafi dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini, yaitu pemberian wewenang masa penahanan yang lebih lama dibandingkan dengan UU yang lama.

“Untuk lama penahanan itu, itu tentu pasti akan dibahas juga, kita semangatnya kalau sudah ada jangka waktu penahanan, terduga maupun yang sudah itu betul-betul jangan dijadikan aparat untuk menangkap orang seenaknya, lantas baru mengikuti kerja-kerja pencarian bukti yang lambat,” kata Hanafi.
Serangan di kawasan Thamrin, Jakarta, pada Januari lalu, mendorong pemerintah untuk merevisi UU anti-terorisme.
Dia mengatakan agar Densus 88 lebih akuntabel, harus ada lembaga yang mengawasi kerja detasemen anti-teror itu. Badan pengawas beranggotakan dari berbagai kalangan seperti publik, polisi dan anggota DPR.

Salah satu pasal draf revisi UU menyebut perpanjangan masa penangkapan dari semula tujuh hari menjadi 30 hari.

Pasal lain yang dianggap tidak memiliki landasan hukum dalam UU No 15 tahun 2003 yaitu 43A, yang memberikan kewenangan untuk membawa atau menempatkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme ke suatu tempat dalam waktu enam bulan.

Masa penahanan yang lama terhadap terduga kasus terorisme sebelum dijadikan tersangka atau tidak juga dikritik oleh pegiat HAM sebagai tindakan yang melanggar HAM dan hak sipil.




Sumber: bbc.com