Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

WACANA PANSUS SUMBER WARAS DPR DIPERTANYAKAN

Rencana pembentukan Pansus Sumber Waras oleh DPR dipertanyakan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)


Jakarta,  Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus mempertanyakan wacana pembentukan panitia khusus di DPR untuk menelisik perkara pengadaan lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Alih-alih untuk mengungkap dugaan penyelewengan, pembentukan pansus ditengarai hanya untuk menekan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Mereka hanya ingin menekuk Ahok, bukan mau menelisik sumber waras," kata Lucius saat dihubungi, Selasa (19/4).

Menurutnya, tak ada hal yang bersifat mendesak bagi DPR untuk membentuk pansus. Apabila dibentuk, Pansus Sumber Waras sama saja mengabaikan DPRD DKI Jakarta.

DPR, kata Lucius, seharusnya mengurusi persoalan nasional. Sementara itu, persoalan provinsi dan daerah diserahkan kepada DPRD.

"DPR seharusnya percaya kepada kader mereka di DPRD. Soal efektivitas, untuk apa kasus yang sama diselidiki dua institusi perwakilan?" ujarnya.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD memang mengatur kewenangan pengawasan DPR dan hak membentuk Pansus. Namun, Lucius menilai, DPR hanya perlu berkoordinasi dengan DPRD DKI yang sudah berinisiatif membentuk pansus.

Wacana pembentukan pansus Sumber Waras dikemukakan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurutnya ada sejumlah alasan yang menjadi dasar pembentukan pansus. Salah satunya ialah bekerjanya dua komisi di DPR menyelidiki dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras.

Panja Penegakan Hukum Komisi III DPR telah mengunjungi Badan Pemeriksa Keuangan dan RS Sumber Waras. Sementara Komisi XI DPR juga berencana memanggil Ketua BPK Harry Azis Azhar mendalami laporan hasil pemeriksaan (LHS) pembelian lahan RS Sumber Waras yang berindikasi kerugian negara Rp191 miliar.

"Kalau sudah menjadi perhatian publik dan nasional‎, tidak masalah," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta.

Menurutnya, Pansus menyelidiki Laporan Hasil Sementara (LHS) BPK soal pembelian lahan, dan pengawasan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pembentukan Pansus hanya membutuhkan usulan minimal 25 anggota dari dua fraksi kepada pimpinan DPR. Usulan itu nantinya akan dibahas dalam rapat pimpinan dan Badan Musyawarah, kemudian disahkan dalam rapat paripurna.

Fadli sendiri kemarin mengunjungi lahan RS Sumber Waras. Dia menemukan lahan rumah sakit memiliki dua sertifikat, surat hak milik atas nama Perkumpulan Sin Ming Hui dan Hak Guna Bangunan (HGB) Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Namun, RS Sumber Waras hanya memiliki satu PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Berdasarkan dokumen pembelian, PBB untuk lahan yang beralamatkan di Jalan Kyai Tapa. Sementara itu, lokasi lahan itu sebenarnya masuk kawasan Tomang Utara. "Saya kira ini karena keputusan diambil secara tidak teliti dan tidak ada tawar menawar," kata politikus Partai gerindra ini.

Sebelumnya, BPK menemukan perbedaan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan di sekitar RS Sumber Waras yakni di Jalan Tomang Raya dengan lahan rumah sakit di Jalan Kyai Tapa.

RS Sumber Waras bersedia menjual lahan dengan nilai NJOP Rp20,7 juta per meter persegi yang menyesuaikan NJOP untuk area Jalan Kyai Tapa.

Namun, berdasarkan perhitungan BPK, NJOP seharusnya tidak mengacu pada harga Jalan Kyai Tapa melainkan Tomang Utara senilai Rp7 juta per meter persegi.

Penjualan lahan di Kyai Tapa dilakukan setelah Peraturan Gubernur Nomor 135 Tahun 2013 diubah melalui Pergub Nomor 145 Tahun 2014 yang ditandatangani Gubernur DKI saat itu, Joko Widodo.

Pergub Nomor 135 Tahun 2013 mengatur, NJOP meliputi tanah dan perairan di dalamnya dan bangunan yang melekat di atasnya. NJOP dihitung berdasar rata-rata harga pasar dan daftar biaya komponen bangunan di suatu wilayah.

Sementara itu, Pergub Nomor 145 Tahun 2014 mengatur, NJOP bangunan dengan zonasi nilai tanah khusus atau wilayah khusus pun tak lagi menyesuaikan dengan harga pasar.

Pasal 4a kebijakan ini menyatakan, Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat menentukan sendiri NJOP suatu bangunan khusus dengan dasar untuk menggali potensi bangunan yang ada di dalamnya.

Setelah melalui serangkaian kajian internal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ahok memutuskan membeli lahan itu pada 10 Desember 2014. Saat itu, Ahok menjabat sebagai pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Jokowi yang menjadi Presiden RI.

Pembayaran dilakukan melalui cek sekitar Rp755 miliar yang diserahkan ke Sumber Waras dengan perantara Dinas Kesehatan Jakarta.
 
 
 
 
Sumber: cnnindonesia.com