KISAH SHANDRA WOWORUNTU, WNI KORBAN PERBUDAKAN SEKS DI AMERIKA
Saat Shandra Woworuntu menginjakkan
kakinya di AS, ia berharap bisa memulai karir baru di industri
perhotelan. Namun ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan
perbudakan seksual, dipaksa mengkonsumsi obat-obatan dan mengalami
kekerasan. Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya, dan
Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan,
sebelum akhirnya bertemu seseorang yang menghubungkannya dengan FBI.
Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca.
Saya
tiba di Amerika Serikat pada minggu pertama bulan Juni 2001. Bagi saya,
Amerika adalah sebuah tempat yang menjanjikan dan memberikan peluang.
Saat saya melangkah menuju imigrasi saya merasa senang berada di sebuah
negara baru, meskipun secara ganjil terasa akrab juga karena sudah
mendapat gambaran dari yang dilihat di TV dan film-film.
Di bagian kedatangan saya mendengar nama
saya dipanggil, lalu saya melihat seorang pria yang tengah memegang
sebuah plakat dengan foto saya. Tetapi, bukan soal foto yang saya
pedulikan. Agen penyalur kerja di Indonesia menyuruh saya mengenakan
pakaian yang terbuka, 'tank top' atau kaus tanpa lengan. Orang yang
memegang plakat itu tersenyum hangat. Namanya Johnny, dan saya menyangka
ia akan mengantarkan saya ke hotel tempat saya akan bekerja nanti.
Pada
kenyataannya hotel itu berada di Chicago, sementara saya tiba di
bandara JFK di New York yang jaraknya hampir 1250km, ini menunjukkan
betapa naifnya saya. Saya berumur 24 tahun kala itu dan tidak tahu dunia
apa yang saya masuki ini.
Usai lulus univrsitas di bidang
keuangan, saya bekerja pada sebuah bank internasional di Indonesia
sebagai analis keuangan dan perdagangan. Tapi pada tahun 1998,
Indonesia dilanda krisis keuangan yang menerjang Asia, dan tahun
berikutnya Indonesia jatuh ke dalam kekacauan politik. Lalu, saya pun
kehilangan pekerjaan.
![]() |
Shandra berdiri tepat di sebelah kanan pria yang berada di tengah. |
Saya mulai mencari pekerjaan di luar negeri untuk
menghidupi putri saya yang berusia tiga tahun. Waktu itu saya melihat
sebuah iklan di sebuah surat kabar yang mencari peminat untuk bekerja di
industri perhotelan di hotel-hotel besar di Amerika Serikat, Jepang,
Hong Kong dan Singapura. Saya memilih tujuan Amerika Serikat, dan
melamar.
Persyaratan yang harus saya penuhi adalah bisa berbicara
sedikit bahasa Inggris dan membayar biaya sebesar Rp30 juta (pada tahun
2001). Proses perekrutan begitu panjang, dengan banyak wawancara.
Sebagai persyaratan lain, mereka juga meminta saya untuk menunjukkan
cara berjalan, naik turun tangga, dan tersenyum.
"Layanan pelanggan adalah kunci untuk pekerjaan ini," saya diberitahu saat itu.
Saya
menjalani semua tes dan lulus, lalu saya mengambil pekerjaan itu.
Rencananya ibu dan kakak saya yang akan merawat gadis kecil saya saat
saya bekerja di luar negeri selama enam bulan, dengan penghasilan
US$5.000 per bulan (atau sekitar Rp66 juta). Setelahnya, saya akan
pulang untuk membesarkan putri saya.
Saya tiba di bandara John F.
Kennedy bersama empat perempuan lainnya dan seorang pria, lalu kami
dibagi menjadi dua kelompok. Johnny mengambil semua dokumen-dokumen
saya, termasuk paspor saya, lalu ia membawa saya dan dua wanita lainnya
masuk ke dalam mobilnya.
Itu adalah saat ketika segalanya mulai tampak aneh.
Rumah bordil di Brooklyn, tempat Shandra dibawa untuk pertama kalinya saat menginjakkan kaki di AS. |
Sopir menempuh jalan pintas ke Flushing di Queens,
sebelum kemudian mengarah ke sebuah tempat parkir dan menghentikan
kendaraannya. Johnny mengatakan kepada kami bertiga untuk keluar dan
masuk ke mobil lain dengan sopir yang berbeda pula.
Kami melakukan
apa yang diperintahkan. Dan melalui jendela mobil, saya melihat Johnny
memberi uang kepada sopir yang baru. Saya pikir, "Ada yang tidak beres
di sini," namun saya kembali berkata pada diri sendiri sendiri untuk
tidak khawatir, bahwa itu mestinya merupakan cara jaringan hotel
berbisnis dengan perusahaan yang mereka gunakan untuk menjemput orang
dari bandara.
Tapi sopir baru pun tidak membawa kami
terlalu jauh. Ia malah memarkir kendaraan di halaman sebuah restoran,
dan lagi-lagi kami harus keluar dari mobil dan pindah ke mobil lain,
setelah memberi uang kepada sopir lain. Kemudian sopir ketiga membawa
kami ke sebuah rumah, dan kami diserah-terimakan lagi.
Sopir
keempat ini membawa pistol. Ia memaksa kami untuk masuk ke dalam mobil
dan membawa kami ke sebuah rumah di Brooklyn, lalu ia mengetuk pintu,
memanggil "Mama-san! Gadis baru!"
Pada saat itu saya langsung
panik, karena saya tahu 'Mama-san' berarti mami-mami germo rumah bordil.
Tapi kami tidak bisa apa-apa, karena ditodong pistol.
Pintu terbuka dan saya melihat seorang gadis kecil, mungkin usia 12 atau 13 tahun, tergeletak di lantai.
Ia
berteriak saat sekelompok pria menendangnya bergantian. Darah terlihat
mengalir dari hidungnya, ia melolong, menjerit kesakitan. Salah satu
pria tersenyum dan mulai memainkan tongkat baseball di depan saya,
seolah-olah itu adalah peringatan.
Dan hanya beberapa jam setelah kedatangan saya di AS, saya dipaksa untuk melakukan seks.
Saya
sangat ketakutan, tapi sesuatu terbersit di pikiran saya - semacam
naluri untuk bertahan hidup. Saya mempelajarinya saat menyaksikan tindak
kekerasan pertama.
Keesokan harinya, Johnny muncul dan meminta
maaf panjang lebar atas segala yang telah terjadi pada kami setelah
berpisah. Ia mengatakan pasti ada kekeliruan. Hari itu kami akan difoto
untuk kartu identitas, dan kami akan dijemput untuk membeli seragam, dan
kemudian kami akan pergi ke hotel di Chicago untuk mulai bekerja.
"Kita
akan baik-baik saja," katanya, sambil mengusap punggung saya. "Hal ini
tidak akan terjadi lagi." Saya percaya padanya. Setelah hal-hal buruk
yang baru saja saya alami ia seperti malaikat bagi saya. "OK," kata
saya. "Mimpi buruk sudah berakhir. Sekarang saya akan pergi ke Chicago
untuk memulai pekerjaan saya."
Seorang pria datang dan membawa kami ke
sebuah studio foto, untuk difoto, kemudian ia mengantar kami ke sebuah
toko untuk membeli seragam. Tapi itu sebuah toko lingerie, yang
dipenuhi pakaian-pakaian seksi yang terlihat minim, berenda, sesuatu
yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Pakaian-pakaian yang bukanlah
'seragam.'
Lucu juga mengingat kembali kejadian itu. Saya tahu
saya sedang dibohongi dan situasi saya penuh bahaya. Saya ingat saat
melihat sekeliling toko itu, bertanya-tanya jika saya bisa menyelinap
pergi, menghilang. Tapi saya takut dan saya tidak kenal siapa pun di
Amerika, saya pun enggan untuk meninggalkan dua perempuan Indonesia
lainnya. Saya kembali, dan melihat mereka cukup menikmati kesempatan
berbelanja itu.
Lalu saya menoleh kepada pengawal saya, ia
menyembunyikan senjatanya, dan tengah memperhatikan saya. Gerakan
tubuhnya mengisyaratkan kepada saya untuk tidak coba-coba melakukan
sesuatu.
Lalu pada hari itu kelompok kami berpisah dan hanya
sesekali saya melihat dua perempuan itu lagi. Saya dibawa pergi dengan
mobil, bukan ke Chicago, tapi ke sebuah tempat di mana para sindikat
penjualan orang memaksa saya untuk melakukan seks.
![]() |
Shandra dan tiga korban perdagangan lainnya di dekat rumah bordil di Connecticut. Mereka disuruh untuk berpose. |
Para penyelundup manusia itu berasal dari Indonesia,
Taiwan, Malaysia Cina dan Amerika. Hanya dua dari mereka yang bisa
berbicara bahasa Inggris - sebagian besar dari mereka hanya akan
menggunakan bahasa tubuh, mendorong-dorong, dan menggunakan kata-kata
kasar.
.
Satu hal yang paling membuat saya bingung
dan ketakutan malam itu, dan terus membebani saya di minggu-minggu
berikutnya, adalah bahwa salah satu dari mereka memiliki lencana polisi.
Sampai hari ini saya tidak tahu apakah ia benar-benar seorang polisi.
Mereka
bilang saya berutang kepada mereka sebesar US$30.000 (atau sekitar
Rp400juta dengan kurs sekarang) dan saya harus mengangsur utang senilai
US$100 setiap kali melayani seorang pria.
Selama berminggu-minggu
dan bulan-bulan berikutnya, saya dibawa pulang pergi ke rumah bordil
yang berbeda-beda, apartemen-apartemen, hotel-hotel dan kasino-kasino di
Pantai Timur. Saya jarang berada di tempat yang sama dalam dua hari,
dan saya tidak pernah tahu di mana saya berada atau ke mana saya pergi.
Rumah-rumah bordil ini tampak seperti
rumah-rumah biasa dari luar dan ada diskotek di dalamnya, dengan lampu
kelap-kelip dan musik hingar bingar. Kokain, shabu dan ganja diletakkan
di atas meja.
Para bandit itu menyuruh saya mengkonsumsi narkoba
di bawah todongan senjata, dan mungkin itu yang bisa membuat saya bbisa
mengatasi paksaan seksual itu. Siang dan malam, saya hanya minum bir dan
wiski karena hanya minuman itu yang ditawarkan. Saya tidak tahu waktu
itu bahwa di Amerika kita bisa minum air keran.
Selama dua puluh
empat jam dalam sehari, kami gadis-gadis menghabiskan waktu dengan
duduk-duduk, dalam keadaan benar-benar telanjang, menunggu para
pelanggan. Jika tidak ada yang datang maka kami bisa tidur sebentar,
meskipun tidak pernah di ranjang. Tapi ketika pelanggan sepi juga
merupakan saat yang digunakan para penyelundup manusia itu untuk
memperkosa kami.
Jadi kami harus tetap waspada. Tidak ada yang bisa ditebak.
Meski
saya menjaga kewaspadaan, saya seakan mati rasa, dan tidak bisa
menangis. Diliputi kesedihan, kemarahan, kekecewaan, saya hanya bisa
melakukan apa yang telah diperintahkan, dan berusaha keras untuk
bertahan hidup.
![]() |
Shandra berfoto bersama pria terakhir yang menjualnya. |
Saya ingat saat melihat gadis kecil yang dipukuli,
dan saya juga melihat para penjahat itu menyakiti perempuan-perempuan
lainnya jika mereka membuat masalah atau menolak melakukan seks. Pistol,
pisau dan pemukul bisbol menjadi peralatan yang digunakan silih
berganti.
Mereka memberi saya julukan 'Candy.' Semua perempuan
yang diperdagangkan berasal dari Asia - selain dari Indonesia, ada juga
gadis-gadis dari Thailand, Cina dan Malaysia. Ada pula para wanita yang
bukan merupakan budak seks. Mereka adalah pelacur yang mencari
penghasilan dan tampaknya bisa bebas untuk datang dan pergi.
Hampir setiap malam, sekitar tengah
malam, salah seorang anggota sindikat membawa saya ke sebuah kasino.
Mereka akan mendandani saya supaya terlihat bagai putri. Mucikari saya
akan memakai setelan hitam dan sepatu hitam mengkilat, dan berjalan
diam-diam di samping saya seperti pengawal saya, sambil menodongkan
pistol ke punggung saya setiap waktu. Kami tidak melewati lobi, tapi
melalui pintu masuk staf dan lift khusus untuk layanan binatu.
Saya
ingat pertama kali diantar ke kamar hotel kasino, saya pikir mungkin
saya bisa lari. Tapi rupanya salah seorang anggota sindikat menunggu
saya di koridor. Ia menunjukkan ke kamar sebelah, lalu kamar berikutnya
dan seterusnya. Saya berada di setiap kamar selama empat puluh lima
menit, malam demi malam, mucikari selalu menunggu di balik pintu kamar.
Saya
selalu patuh, makanya saya tidak pernah dipukuli oleh para mucikari.
Tapi para pelanggan sangat kejam. Beberapa dari mereka tampak seperti
anggota mafia Asia, tetapi ada juga orang kulit putih, orang hitam, dan
orang-orang Hispanik. Ada orang-orang tua dan mahasiswa. Saya adalah
milik mereka selama 45 menit dan saya harus melakukan apa yang mereka
katakan, kalau tidak mereka akan menyakiti saya.
Apa yang saya alami sungguh berat menyakitkan.
Secara fisik, saya lemah. Para mucikari hanya memberi saya makan sup dan
nasi dan acar, dan saya lebih sering menkonsumsi obat-obatan. Ancaman
kekerasan yang terus menerus, dan keharusan tetap waspada, itu juga
sangat melelahkan.
Satu-satunya yang menjadi milik saya - di luar
'seragam' yang saya kenakan - adalah sebuah tas kecil, yang berisi
kamus, sebuah Alkitab kecil, dan beberapa bolpen juga buku-buku
permainan yang saya curi dari kamar hotel, dengan nama-nama kasino di
dalamnya.
Saya juga menyimpan sebuah buku harian,
sesuatu yang saya lakukan sejak saya masih kecil. Saya menulis dalam
bahasa campuran Indonesia, Inggris, Jepang dan simbol-simbol, saya
mencoba untuk mencatat apa yang sudah saya lakukan, ke mana saya pergi,
berapa orang yang sudah bersama saya, tanggal berapa. Saya melakukannya
sebisa mungkin meskipun hal itu sulit karena saya tidak bisa membedakan
siang atau malam jika sudah berada di dalam rumah bordil.
Saya selalu berpikir untuk melarikan diri, tapi peluangnya sangat langka.
Pada
suatu malam saya disekap di sebuah loteng rumah bordil di Connecticut.
Kamarnya memiliki jendela yang bisa saya buka, lalu seprei dan pakaian
saya susun menjadi tali, lalu mengikatnya ke kusen jendela, saya mencoba
turun menggunakan tali. Tapi begitu saya sampai di ujung tali, jarak
antara tali dan tanah masih terlalu jauh. Saya tidak bisa berbuat
apa-apa, kecuali memanjat lagi.
![]() |
Sejumlah kartu nama orang-orang yang telah membantu Shandra terlepas dari kasus perbudakan seks. |
Lalu suatu hari saya dibawa ke rumah bordil di
Brooklyn, tempat saya pertama kali menginjakkan kaki di Amerika Serikat.
Saya bersama seorang gadis Indonesia berumur 15 tahun bernama Nina, dan
kami pun menjadi teman. Ia seorang gadis cantik dan manis dan selalu
bersemangat. Sekali waktu ia menolak untuk melakukan apa yang
diperintahkan, lalu mucikari memelintir tangannya, dan ia berteriak
kesakitan.
Kami mengobrol dengan perempuan lain yang
berada di rumah bordil itu, ia merupakan "pelacur kelas atas," yang
artinya ia memimpin kami. Ia bersikap baik, dan mengatakan kalau kami
bisa keluar dari rumah bordil, kami harus menghubungi seorang pria ini
yang akan mencarikan kami pekerjaan yang layak, dan kami bisa menghemat
uang untuk pulang. Saya mencatat nomornya dalam secarik kertas dan
menyimpannya.
Dan saat ia tengah membicarakan soal utang kami
sebesar US$30.000 yang harus kami lunasi kepada para mucikari - saya
mulai panik. Saya yakin saya akan mati sebelum saya bisa melayani 300
pria. Saya memejamkan mata dan berdoa semoga ada yang bisa menolong.
Tidak
lama setelah itu, di kamar mandi dan melihat sebuah jendela kecil.
Sekrupnya tertutup, tapi Nina dan saya berupaya membukanya, dan tangan
saya gemetar, saya menggunakan sendok untuk membuka selot secepat
mungkin. Kemudian kami memanjat lewat jendela dan melompat turun di sisi
lain.
Kami menelepon nomor yang diberikan
perempuan itu dan seorang pria Indonesia terdengar menjawab telepon
kami. Sama seperti yang dikatakan perempuan tadi, ia berjanji untuk
membantu kami. Kami sangat bersemangat. Dia bertemu kami dan membayar
biaya menginap di sebuah hotel, lalu ia berkata agar kami menunggu di
sana sampai dia bisa menemukan pekerjaan untuk kami.
Ia mengurus
kami, membelikan kami makanan, pakaian dan lain-lain. Tapi setelah
beberapa minggu, dia menyuruh kami tidur dengan sejumlah pria di hotel.
Lalu ketika kami menolak, ia pun menelepon Johnny untuk datang dan
menjemput kami. Ternyata ia juga merupakan anggota sindikat lainnya,
pria itu, pelacur kelas atas, dan yang lainnya rupanya bekerja sama.
Akhirnya saya menemukan sebuah keberuntungan.
![]() |
Seorang anak perempuan di Indonesia tengah membaca buku komik yang memperingatkan tentang perdagangan manusia. |
Di dekat hotel, sebelum Johnny tiba, saya berhasil
kabur dari mucikari baru saya dan melarikan diri ke jalan, hanya memakai
sandal dan tidak membawa apa-apa kecuali dompet. Saya berbalik, dan
berteriak pada Nina yang mengikuti saya, tapi sudah ada mucikari itu
yang memegangnya erat.
Saya bisa mencapai sebuah kantor polisi dan
menceritakan semuanya kepada salah seorang petugas polisi. Ia tidak
mempercayai saya dan menolak saya. Jauh lebih aman untuk saya, kata dia,
untuk kembali di jalanan tanpa uang atau dokumen. Dalam keadaan putus
asa untuk mencari bantuan, saya mendekati dua petugas polisi lainnya di
jalan dan mendapat respon yang sama.
Lalu saya pergi ke konsulat Indonesia,
untuk meminta tolong mendapatkan dokumen-dokumen seperti paspor, dan
bantuan lain. Saya juga tahu mereka memiliki ruangan bagi orang untuk
bisa tidur dalam keadaan darurat. Tetapi mereka juga tidak membantu
saya.
Saya marah dan jengkel. Saya tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukan. Saya datang ke Amerika Serikat saat musim panas, dan saat itu
tengah menuju musim dingin dan saya kedinginan. Saya terpaksa tidur di
stasiun kereta api bawah tanah di New York, Staten Island Ferry, dan di
Times Square.
Saya mengemis makanan dari orang-orang yang berlalu
lalang, dan setiap ada kesempatan saya menceritakan kisah saya pada
mereka, dan saya katakan bahwa ada sebuah rumah di sekitar wilayah itu
yang menyekap sejumlah perempuan, dan mereka membutuhkan bantuan.
Hingga
pada suatu hari, ketika saya berada di Grand Ferry Park di
Williamsburg, seorang pria bernama Eddy membelikan saya makanan. Ia
berasal dari Ohio, dan seorang pelaut yang tengah berlibur. "Kembalilah
besok di siang hari," katanya, setelah saya menceritakan kisah saya.
Saya
sangat senang, saya tidak berhenti untuk menanyakan apa yang ia maksud
dengan kata siang.' Yang saya tahu saat sekolah 'siang' bisa jadi
menjelang sore, saya menebak kata 'siang' di sini adalah kata lain untuk
'pagi. Jadi esok harinya saya datang lebih pagi ke tempat yang sama di
taman itu, dan menunggu datangnya Eddy selama beberapa jam.
Akhirnya ia datang, dan mengatakan sudah
menelepon dan berbicara dengan FBI, lalu FBI telah menelepon kantor
polisi. Kami langsung pergi ke pos polisi, di sana sudah ada para
petugas yang mencoba membantu saya.
Jadi Eddy mengantarkan saya
dengan mobilnya ke sana, dan dua detektif menanyai saya panjang lebar.
Saya menunjukkan buku harian saya kepada mereka dengan rincian lokasi
pelacuran, dan buku-buku pemainan dari kasino di mana saya telah dipaksa
untuk bekerja. Mereka menelepon maskapai penerbangan dan imigrasi, dan
mereka sudah mengecek laporan saya.
"OK," kata mereka akhirnya. "Apakah Anda siap untuk pergi?"
"Pergi ke mana?" tanya saya.
"Menjemput teman-teman Anda," kata mereka.
Lalu saya masuk mobil polisi dan kami melaju ke rumah bordil di Brooklyn itu. Saya lega saya bisa menemukannya lagi.
Rasanya seperti seperti sebuah adegan
dalam sebuah film. Mobil diparkir dan saya melihat ke luar jendela. Di
luar rumah bordil, ada polisi yang menyamar berpura-pura menjadi tuna
wisma -saya ingat salah satu dari mereka mendorong troli belanja.
Kemudian ada banyak detektif, polisi bersenjata dan tim SWAT dan para
penembak jitu bersembunyi di dekatnya.
Kendati saya menikmatinya
sekarang, saat itu saya merasa sangat tegang, dan khawatir jika saat
polisi memasuki bangunan itu dan tidak menemukan apapun di sana malam
itu, akankah mereka berpikir saya telah berbohong? Akankah saya yang
justru akan masuk penjara, dan bukan orang yang menganiaya saya?
Seorang
petugas polisi berpakaian preman dan menyamar sebagai pelanggan menekan
bel rumah bordil. Saya melihat Johnny muncul di ambang pintu, dan,
setelah berbicara singkat, membuka jeruji logam. Dia langsung dipaksa
kembali ke dalam ruang yang gelap. Dalam hitungan detik, seluruh tim
polisi sudah berada di anak tangga dan masuk ke dalam rumah itu. Tidak
ada satupun tembakan yang dilepaskan.
Satu jam telah berlalu.
Mereka mengatakan saya bisa keluar dari mobil dan mendekati rumah
bordil. Mereka sudah menutupi salah satu jendela dengan kertas lalu
melubanginya supaya saya bisa melihat ke dalam. Dengan cara seperti ini,
saya bisa mengenali Johnny dan para perempuan yang bekerja di rumah
bordil itu tanpa bisa terlihat. Ada tiga perempuan di sana, Nina berada
di antara mereka.
Ketika saya melihat perempuan-perempuan itu keluar
dari bangunan itu, telanjang dan hanya berbalut handuk, itu adalah momen
terhebat dalam hidup saya. Melahirkan adalah sebuah keajaiban, ya, tapi
tidak ada yang bisa membandingkan emosi yang saya alami ketika melihat
teman-teman mendapatkan lagi kebebasan mereka. Dalam kilatan lampu biru
dan merah dari mobil-mobil polisi, kami menari, berteriak, menjerit
kegirangan!
Johnny didakwa dan akhirnya ditahan, seperti dua orang
pria lainnya yang ditangkap pada hari-hari berikutnya. Kendati begitu,
saya masih membutuhkan dukungan, dan kesempatan untuk menyembuhkan diri.
FBI
menghubungkan saya dengan Safe Horizon, sebuah organisasi di New York
yang membantu korban-korban kejahatan dan pelecehan, termasuk korban
perdagangan manusia. Mereka membantu saya untuk tinggal di Amerika
Serikat secara legal, memberi saya tempat tinggal dan menghubungkan saya
dengan lembaga-lembaga yang bisa mengusahakan pekerjaan.
Saya bisa kembali ke keluarga saya di
Indonesia, namun FBI memerlukan kesaksian saya untuk menghadapi para
sindikat perdagangan manusia, dan saya benar-benar menginginkan mereka
dipenjara. Ternyata prosesnya memakan waktu selama bertahun-tahun.
Di
Indonesia, para sindikat datang mencari saya di rumah ibu saya, ia dan
putri saya harus bersembunyi. Orang-orang itu sudah lama mencari saya.
Bahaya besar mengancam putri saya, namun akhirnya pemerintah AS dan Safe
Horizon mempertemukan kami kembali pada tahun 2004, setelah mengijinkan
putri saya untuk terbang ke Amerika.
Sebagai imbalan karena telah
membantu pemerintah, pada tahun 2010 saya diberi izin untuk menetap di
Amerika. Pada saat itu, mereka bilang saya bisa memilih nama baru, untuk
keselamatan saya sendiri. Tapi saya memutuskan untuk tetap memakai nama
lama Shandra Woworuntu. Ini nama saya. Para sindikat itu telah
mengambil semua yang saya miliki - lalu mengapa saya harus menyerah
dengan mengganti nama?
Beberapa tahun setelah pelarian, saya mulai
merasakan rasa sakit dan mati rasa pada persendian Saya mengalami
masalah di kulit dan sakit migren parah.
Setelah melalui banyak tes, para dokter menyarankan saya menemui psikiater atas apa yang sudah saya alami.
Meski
sudah 15 tahun berlalu, tapi saya masih kesulitan tidur malam. Hubungan
dengan pria pun masih jauh dari normal. Saya masih mengunjungi terapis
setiap minggu, dan psikiater, setiap dua minggu sekali, untuk memperoleh
obat-obat anti-depresan.
Saya masih teringat masa lalu, sepanjang
waktu. Bau wiski membuat saya muntah dan jika saya mendengar nada
dering tertentu – bunyi telepon genggam mucikari saya - tubuh saya
menegang disertai rasa takut. Wajah-wajah di keramaian begitu menakutkan
– bayangan-bayangan itu muncul sesaat, dan saya hancur
berkeping-keping.
![]() |
Shandra berbicara dalam sebuah konferensi pers bersama anggota Kongres Ted Poe dan Carolyn Maloney. |
Jika Anda menghabiskan waktu dengan saya, Anda akan
melihat saya sering memainkan cincin di jari saya untuk menenangkan
diri. Saya memakai karet gelang di lengan saya, saya terus menerus
menjepretkan benda itu, dan syal yang saya pakai juga akan
diputar-putar.
Sepertinya kebahagiaan menjauh dari saya,
dan mungkin akan selalu begitu. Tapi saya sudah bisa berdamai dengan
masa lalu saya. Saya suka menyanyi dalam paduan suara, dan membesarkan
anak-anak sangat menyembuhkan. Gadis kecil saya sudah tumbuh menjadi
seorang remaja! - Dan saya juga memiliki putra berusia sembilan tahun.
Saya
sudah memutuskan untuk melakukan semua yang saya bisa untuk membantu
para korban perbudakan lainnya. Saya memulainya dengan sebuah
organisasi, Mentari, yang membantu korban-korban berbaur ke dalam
masyarakat, dan menghubungkan mereka ke pasar kerja.
Pada saat
yang sama, kami mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko
datang ke AS kepada orang-orang yang masih melihat negara ini sebagai
tanah impian. Setiap tahun, sebanyak 17.000 sampai 19.000 orang dibawa
ke AS untuk diperdagangkan.
Tahun lalu, kami membantu menerbitkan
sebuah buku komik pendidikan tentang masalah ini di Indonesia. Kami juga
menyumbangkan peternakan ayam dan bibitnya sehingga kalangan
orang-orang tidak mampu bisa beternak ayam untuk dijual dan dimakan,
jadi mereka tidak merasa harus menjual anak-anak mereka kepada sindikat
penjualan manusia.
Tidak semua korban perdagangan itu berasal dari
kalangan orang-orang miskin. Beberapa diantaranya, seperti saya,
memiliki gelar sarjana. Saya membantu seorang dokter dan guru dari
Filipina. Tidak hanya kaum perempuan, saya juga telah membantu kaum
lelaki yang diperdagangkan, dan bahkan ada satu orang yang berusia 65
tahun.
![]() |
Shandra bersama Menteri Luar Negeri AS, John Kerry dan rekan-rekan sesama anggota Dewan Penasehat Perdagangan Manusia. |
Saya menuturkan pengalaman saya di gereja-gereja, sekolah-sekolah, universitas dan lembaga-lembaga pemerintah.
Pertama kali, usai menceritakan kisah
saya, konsulat Indonesia mendekati saya, bukan untuk meminta maaf,
melainkan untuk meminta saya menarik kembali pernyataan saya tentang
penolakan mereka untuk membantu saya.
Maaf, itu sudah terlambat -
itu sudah beredar di luar sana. Saya tidak bisa berpura-pura atas apa
yang telah terjadi. Bahkan setelah media memberitakan kasus saya,
pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menghubungi saya, mengecek
keadaan saya, apakah baik-baik saja atau membutuhkan bantuan.
Selain
bekerja dengan kelompok-kelompok masyarakat, saya juga membahas masalah
ini dengan pemerintah Meksiko dan tahun lalu saya bersaksi di depan
Senat AS.
Saya meminta kepada para senator agar menetapkan
undang-undang untuk memastikan bahwa para pekerja yang direkrut dari
luar negeri mengetahui hak-hak mereka, tidak dikenakan biaya, dan
diberitahu soal gaji dan kondisi hidup mereka yang bisa mereka harapkan
di AS.
Saya senang bisa mengatakan bahwa sejak itu peraturan
diubah dan agen-agen perekrutan di luar negeri harus mendaftar ke
Departemen Tenaga Kerja sebelum mereka beroperasi.
Saya juga melobi Senat, atas nama National Survivor Network, untuk menempatkan para korban perdagangan manusia dalam peran yang bisa memberikan dampak langsung pada kebijakan.
Undang-undang
The Survivors of Human Trafficking Empowerment telah melaksanakannya.
Saya merasa terhormat untuk mengatakan bahwa di bulan Desember 2015,
saya diminta untuk bergabung dengan sebuah dewan baru, dan kami bertemu
untuk pertama kalinya pada bulan Januari, di Gedung Putih.
Kita
sangat perlu mendidik rakyat Amerika tentang subyek ini. Menengok
kembali pengalaman saya sendiri, saya pikir semua orang yang bekerja di
kasino dan hotel pasti tahu apa yang sedang terjadi. Dan rumah bordil
yang ada di Brooklyn merupakan wilayah pemukiman – apakah para tetangga
di sekelilingnya tidak pernah berhenti untuk bertanya mengapa seolah tak
ada habisnya orang datang ke rumah tersebut, siang dan malam?
![]() |
Shandra Woworuntu berbicara dalam sebuah gerakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, Maret 2016. |
Masalahnya adalah, orang-orang melihat
perempuan-perempuan yang diperdagangkan ini sebagai pelacur, dan bukan
sebagai korban, tapi sebagai penjahat. Dan di kota-kota besar,
orang-orang menutup mata atas segala macam tindak kejahatan seperti ini.
Kita
mungkin bisa memulai dengan memenjarakan para pria yang telah membayar
untuk berhubungan seks. Setelah rumah bordil di Brooklyn digerebek dan
banyak para pembeli seks ditanyai, tapi kemudian semuanya dibebaskan.
Sekarang, pria yang tertangkap basah,
dikirim untuk menjalani pembinaan satu hari yang disebut John School.
Ini bukanlah hukuman, tetapi mengajarkan mereka bagaimana untuk
mengidentifikasi anak-anak di rumah bordil, dan mengenai perempuan yang
dipaksa untuk menjadi pekerja seks.
Bagus - tapi belum cukup. Saya
pikir nama orang-orang yang membayar untuk berhubungan seks dengan para
wanita atau pria yang diperdagangkan harus dipublikasikan, seperti
orang-orang yang melakukan pelecehan terhadap anak-anak dan predator
seksual.
Saya masih berteman dekat dengan Nina, yang baru-baru ini
menginjak usia ke 30. Dan selama bertahun-tahun, saya memiliki nomor
telepon Eddy, orang yang melapor kepada FBI atas nama saya, ketika saya
putus asa.
Pada tahun 2014, sekitar hari Natal, saya memutar nomor
telepon. Saya akan bercerita tentang semua yang telah terjadi pada
saya, tapi ia memotong omongan saya dan mengatakan, "Saya tahu semua.
Saya mengikuti berita-beritanya. Saya sangat senang, Anda telah
berhasil."
Lalu ia berkata, "Tidak usah mengucapkan terima kasih pada saya - Anda sendiri yang telah melakukan semuanya itu."
Tapi
saya ingin mengucapkan terima kasih, Eddy, sudah mendengarkan kisah
saya hari itu di taman, dan membantu saya memulai lagi hidup saya.
Sumber : bbcindonesia.com