Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

INDONESIA MASIH 'GELAP' TENTANG AUSTISME

Jakarta,  Mencari tahu kondisi anak-anak penyandang autisme di Indonesia agaknya tak jauh beda mencoba dengan mengetahui apa yang ada dalam pikiran seorang anak autisme. Sangat sulit ditebak.

"Indonesia belum pernah ada survei resmi sehingga tidak ada data jumlah pasti angka dan pertumbuhan autisme di Indonesia," kata Melly Budhiman, pakar autisme dan ketua Yayasan Autisma Indonesia dalam acara Autism Awareness Month di Grand Indonesia, Rabu (6/4).

"Namun kalau dari pengalaman saya praktek pada era 1980an, anak autis baru hanya tiga anak per tahun. Kemudian ketika 1994-1995, mulai terjadi kenaikan. Saat ini, anak autis datang setiap hari ke tempat saya sampai-sampai saya harus membatasi untuk yang baru, yaitu tiga anak per hari," ujarnya.

Meski di Indonesia belum ada data resmi yang menyatakan jumlah pasti anak dengan kondisi autisme, tapi riset di beberapa tempat di dunia sempat menyatakan telah terjadi peningkatan pengidap autis. Dalam sebuah studi yang dilakukan pada 2013, diperkirakan penderita autis di dunia sebanyak 21,7 juta.

Badan Dunia untuk Pendidikan dan Kebudayaan, UNESCO, pada 2011 lalu memperkirakan bahwa ada 35 juta orang dengan autisme di dunia. Ini berarti rata-rata ada enam orang dengan autis per 1000 orang dari populasi dunia.

Menurut data 2014 dari Pemerintah Amerika Serikat, di negara tersebut sebanyak 1,5 persen anak-anak atau satu dari 68 anak di Negara Paman Sam adalah autistik. Angka ini meningkat 30 persen dari 2012, yang memiliki perbandingan satu banding 88 anak.

Dalam sebuah studi lainnya yang dilakukan pada 2012 menyatakan bahwa sebanyak 1,1 persen penduduk di atas 18 tahun di Inggris adalah autis.

"Di Korea Selatan bahkan kini disebutkan perbandingannya sebesar satu banding 48. Tapi memang perbandingan anak laki-laki dengan perempuan penyandang autis lebih banyak di laki-laki, empat berbanding satu," kata Melly.

Meski belum ada survei resmi tentang jumlah anak dengan autis di Indonesia, pada 2013 lalu Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan pernah menduga jumlah anak autis di Indonesia sekitar 112 ribu dengan rentang 5-19 tahun.

Angka ini keluar berdasarkan hitungan prevalensi autis sebesar 1,68 per 1000 anak di bawah 15 tahun. Dengan jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia sejumlah sekitar 66 juta menurut Badan Pusat Statistik pada 2010, didapatlah angka 112 ribu tersebut.

Kondisi 'gelap' yang tidak diketahui ini ternyata bukan hanya untuk jumlah anak autis di Indonesia, namun merembet pada sektor kehidupan lainnya. Seperti pada penanganan autis. Sebagian besar anak autis yang ada di daerah dibawa ke Jakarta karena minimnya pengobatan di daerah asal.

"Kami pun sejak berdiri pada 1997 menginginkan adanya pusat terapi untuk para penyandang autis, namun itu butuh biaya yang sangat besar. Sehingga kami hanya dapat mengedukasi berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran dan penerimaan terhadap autis, bukan cuma orang tua saja," kata Melly.

"Dalam kegiatan seminar-seminar kami juga coba libatkan Kemendikbud, karena ini terkait dengan penerimaan sekolah atas siswa dengan autis. Kami juga mencoba ke Kemenakertrans, apakah berbagai perusahaan sudah siap menerima anak autis, barang satu persen saja. Tapi belum ada aturan tentang itu," ujarnya.

Melly menjelaskan, secara teori mereka memang sudah mau terlibat dan mendukung, tetapi aplikasi di lapangan masih berbeda. Meski begitu, untuk orang tua, yang terpenting adalah kemampuan mereka untuk menerima anak yang dengan kondisi autis.

"Seharusnya sih dengan berbagai seminar sudah bisa menerima, tapi saat ini saja masih banyak yang belum menerima, bahkan malu ketika mengetahui anaknya memiliki autis." kata Melly. 
 
 
 
 
Sumber: cnnindonesia.com