INDEF PERTANYAKAN KEMAMPUAN BULOG IMPOR JAGUNG KEDELAI
![]() |
Belum adanya kepastian dan akurasi data yang digunakan pemerintah sebagai penentu besarnya kouta impor jagung dan kedelai, menjadi sorotan utama Indef. (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzanie). |
Jakarta,
Direktur Eksekutif Institute for Development of
Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati meragukan kemampuan
Perusahaan Umum (Perum) Bulog dalam melakukan impor jagung dan kedelai
pasca pemerintah mengubah sistem importasi kedua komoditas pangan
tersebut dengan menyerahkannya kepada Bulog.
Enny menyebut sejauh ini masih belum ada kepastian dan akurasi data yang digunakan pemerintah sebagai penentu besarnya kouta impor.
"Dengan belum jelasnya kelembagaan Bulog maka pemberian hak monopoli kepada Bulog dikhawatirkan berpotensi menimbulkan moral hazard dan harga justru tidak kompetitif," kata Enny di Jakarta, Senin (25/4).
Ia melanjutkan dengan adanya permintaan kebutuhan jagung yang terus meningkat untuk industri pakan ternak, maka impor melalui Bulog ini dikhawatirkan akan semakin memperpanjang rantai pasokan tata niaga.
"Konsekuensinya, harga pakan ternak akan cenderung meningkat dan pada akhirnya harga daging ayam terus meningkat. Masyarakat sebagai konsumen akhir yang dikhawatirkan akan semakin dirugikan," ujarnya.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, Enny menyarankan perlu ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan pemerintah.
Pertama, ia menilai perlu adanya validitas dan akurasi data produksi dan konsumsi.
Berikutnya, pemerintah juga harus bisa memastikan peningkatan produksi serta peningkatan produktivitas dan kualitas lahan jagung di Indonesia.
"Berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pengatutan impor jagung dan kedelai, kami menilai pemerintah perlu mempertimbangkan secara rasional dan terukur. Pemerintah jangan sampai terlena dengan ambisi semu dengan menargetkan peningkatan produksi domestik secara fantastik," ujarnya.
Enny menyebut sejauh ini masih belum ada kepastian dan akurasi data yang digunakan pemerintah sebagai penentu besarnya kouta impor.
"Dengan belum jelasnya kelembagaan Bulog maka pemberian hak monopoli kepada Bulog dikhawatirkan berpotensi menimbulkan moral hazard dan harga justru tidak kompetitif," kata Enny di Jakarta, Senin (25/4).
Ia melanjutkan dengan adanya permintaan kebutuhan jagung yang terus meningkat untuk industri pakan ternak, maka impor melalui Bulog ini dikhawatirkan akan semakin memperpanjang rantai pasokan tata niaga.
"Konsekuensinya, harga pakan ternak akan cenderung meningkat dan pada akhirnya harga daging ayam terus meningkat. Masyarakat sebagai konsumen akhir yang dikhawatirkan akan semakin dirugikan," ujarnya.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, Enny menyarankan perlu ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan pemerintah.
Pertama, ia menilai perlu adanya validitas dan akurasi data produksi dan konsumsi.
Berikutnya, pemerintah juga harus bisa memastikan peningkatan produksi serta peningkatan produktivitas dan kualitas lahan jagung di Indonesia.
"Berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pengatutan impor jagung dan kedelai, kami menilai pemerintah perlu mempertimbangkan secara rasional dan terukur. Pemerintah jangan sampai terlena dengan ambisi semu dengan menargetkan peningkatan produksi domestik secara fantastik," ujarnya.
|
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20/M-DAG/PER/3/2016
tentang Ketentuan Impor Jagung sebelumnya juga mendapat kritik dari
Pengamat ekonomi pertanian dari Perhimpuan Ekonomi Pertanian (Perhepi)
Noer Soetrisno.
Menurut Noer, pada saat pemberlakuan pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seperti saat ini, hal yang diperlukan adalah paradigma baru bahwa ekspor dan impor merupakan hal yang wajar.
"Dengan MEA yang sudah terbuka ini, apakah Bulog masih seperti dulu atau tidak. Nah, ini yang kita belum tahu," kata Noer.
Berkaitan dengan situasi tersebut, menurut dia, ekspor maupun impor bukan lagi menjadi sebagai sesuatu yang harusnya ditakuti. Pada era semacam ini yang harusnya dipikirkan bukan lagi terbatas pada persoalan surplus atau tidak surplus namun lebih mengarah pada neraca perdagangannya.
"Sekarang ini MEA sudah dibuka. Salah satu instrumennya adalah tarif. Di sinilah bagaimana (Bulog) bisa mengaturnya. Apakah Bulog bisa bersaing?" ujarnya.
Menurut Noer, pada saat pemberlakuan pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seperti saat ini, hal yang diperlukan adalah paradigma baru bahwa ekspor dan impor merupakan hal yang wajar.
"Dengan MEA yang sudah terbuka ini, apakah Bulog masih seperti dulu atau tidak. Nah, ini yang kita belum tahu," kata Noer.
Berkaitan dengan situasi tersebut, menurut dia, ekspor maupun impor bukan lagi menjadi sebagai sesuatu yang harusnya ditakuti. Pada era semacam ini yang harusnya dipikirkan bukan lagi terbatas pada persoalan surplus atau tidak surplus namun lebih mengarah pada neraca perdagangannya.
"Sekarang ini MEA sudah dibuka. Salah satu instrumennya adalah tarif. Di sinilah bagaimana (Bulog) bisa mengaturnya. Apakah Bulog bisa bersaing?" ujarnya.
Sumber: cnnindonesia.com