DPR TOLAK BAYAR UANG TEBUSAN UNTUK WNI DI FILIPINA
![]() |
Hari Jumat (08/04) merupakan batas waktu yang dituntut kelompok Abu Sayyaf agar membayar uang tebusan sekitar Rp15 miliar. |
Memasuki tenggat
waktu pembayaran uang tebusan yang dituntut oleh kelompok penculik,
muncul perdebatan antara pejabat keamanan Indonesia dan politisi di DPR
tentang opsi membayar tebusan untuk membebaskan 10 WNI yang disandera di
Filipina selatan.
Anggota DPR dari PDI Perjuangan, Effendi
Simbolon menolak opsi uang tebusan yang disiapkan pemerintah Indonesia
untuk pembebasan 10 WNI yang disebut disandera kelompok Abu Sayyaf.
"(Pendekatan) soft power
itu akhirnya mengenyampingkan arti kedaulatan bangsa Indonesia. Kalau
pemerintah sudah bersikap seperti itu (membayar tebusan), untuk apa ada
negara dan pemerintah?" kata Effendi Simbolon kepada BBC Indonesia.
Effendi juga mengkhawatirkan apabila pemerintah Indonesia
menyetujui membayar uang tebusan, naka praktek seperti itu akan diulang
kembali oleh kelompok penculik.
"Mereka itu bukan penjahat
musiman, mereka teroris," tandas anggota Komisi I yang membidangi
masalah pertahanan dan luar negeri ini.
Sinyal kesediaan
pemerintah Indonesia untuk menyediakan uang tebusan kepada kelompok
penculik itu dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Rabu
(07/04) pagi, walaupun dia menjelaskan dana tebusan itu bukan uang
negara.
"Kalau negara membayar (uang tebusan), enggak boleh. Itu artinya menekan. Negara kita enggak boleh ditekan," kata Ryamizard kepada wartawan sebelum mengikuti rapat kabinet.
Bukan uang negara
Hari Jumat (08/04) merupakan batas waktu yang
dituntut kelompok penculik agar pemerintah Indonesia menyediakan uang
sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp15 miliar untuk ditukar para
sandera.
Kesepuluh WNI -yang merupakan awak kapal Anand 12-
diculik pada 26 Maret lalu di perairan Tambulian, di lepas pantai Pulau
Tapul, Kepulauan Sulu, Filipina, dan sejauh ini belum ada pihak yang
mengaku sebagai pelakunya.
Ditanya apakah itu artinya perusahaan pemilik kapal yang akan membayar uang tebusan, Ryamizard menolak menjawab. "Enggak tahulah."
Walaupun tidak menggunakan uang negara, Effendi menyayangkan pernyataan itu keluar dari seorang pejabat keamanan Indonesia.
"Kalau
misalnya upaya itu (penebusan) dilakukan oleh pihak perusahaan dengan
perompak, 'silakan' saja. 'Silakan' itu bukan berarti pemerintah
mempersilakan. Kalau pemerintah yang membuat sinyal seperti itu, lalu di
mana kedaulatan negara?" ujar Simbolon
Namun Ryamizard beralasan,
jalan 'negosiasi' yang sedang ditempuh pemerintah lebih tidak berisiko
ketimbang opsi serangan militer.
"Saya pikir negosiasi itu bagus,
karena operasi militer pasti ada dampak... Nanti ada yang mati. Kalau
yang mati teroris ya enggak masalah, kalau yang mati rakyat kita 'kan
disayangkan,” katanya.
RI harus tekan pemerintah Filipina
Sejak awal, Pemerintah Filipina menolak keterlibatan
militer Indonesia dalam operasi pembebasan sandera dan mereka juga
tidak menganjurkan pembayaran uang tebusan.
Filipina menganggap
kehadiran militer Indonesia tidak dimungkinkan secara hukum karena kedua
negara tidak memiliki pakta kerja sama militer.
Walaupun ditolak,
pemerintah Indonesia siap mengerahkan pasukan jika dibutuhkan. Saat ini
lima kapal perang dan sejumlah pasukan elit TNI Angkatan Laut di
Tarakan, Kalimantan Utara, telah berada dalam 'posisi siaga satu'.
Namun,
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan pemerintah harus
menunggu keputusan dari Filipina, karena “itu kan dalam wilayah
Filipina. Etikanya kita masuk wilayah orang, kan harus izin.”
Tetapi
politisi PDI-P Effendi Simbolon mengatakan pemerintah Indonesia harus
terus melobi pemerintah Filipina agar mereka mengizinkan operasi militer
Indonesia untuk menyelamatkan 10 WNI yang disandera.
"Lobi ke sana (Filipina), lakukan pendekatan. Ini
yang harus dilakukan. Tunjukkan bahwa negara kita punya kedaulatan, kita
minta kepada Filipina (agar diizinkan melakukan pendekatan militer),"
kata Effendi.
Dia kemudian mengingatkan peristiwa penundaan
hukuman mati oleh otoritas hukum Indonesia terhadap terpidana narkoba
asal Filipina, Mary Jane, April 2015 lalu, dapat dijadikan untuk
'melobi' pemerintah Filipina.
"Anda (Filipina) 'kan sudah diberi credit point
juga. Mary Jane itu seorang penjahat yang membawa narkoba... Kenapa hal
yang sama (izin operasi penyelamatan militer terhadap sandera) tidak
kita dapatkan?" jelasnya.
Menlu: 10 WNI dalam keadaan baik
Di
tempat terpisah, Rabu (07/04), Menteri luar negeri Retno Marsudi
mengatakan, 10 WNI yang diduga diculik oleh kelompok Abu Sayyaf 'masih
dalam keadaan baik'.
"Kemarin (Selasa), saya kembali berkoordinasi
dengan otoritas Filipina, dan berdasarkan informasi yang saya peroleh,
semua pergerakan is well monitor. Dan berdasarkan koordinasi di
lapangan, dari Manila, Jakarta, kita juga mendapatkan informasi bahwa 10
ABK WNI masih dalam keadaan baik," ungkapnya.
Menlu mengaku situasinya tidak mudah tetapi menegaskan pemerintah Indonesia tidak akan menyerah.
"Dan akan terus berupaya dalam rangka pembebasan 10 WNI, kita mencoba melakukan yang terbaik," tambahnya.
Ditanya apakah pemerintah lebih memberi porsi besar kepada opsi membayar tebusan, Retno menolak menjawab.
Pada
2011 lalu, Indonesia membayar uang tebusan untuk membebaskan 20 anak
buah kapal KM Sinar Kudus yang dibajak perompak Somalia.
Saat itu uang tebusan dibayar dan dibawa kabur perompak, namun empat perompak tewas ditembak TNI.
Sumber :bbcindonesia.com