BERAPA YANG DIPEROLEH MUI DARI SERTIFIKASI HALAL?
![]() |
Keterbukaan tentang pengelolaan dana oleh MUI, termasuk dari sertifikasi halal, 'harus dibuka ke publik', mengingat posisi MUI sebagai badan publik nonpemerintah |
Tuntutan Komisi
Informasi Pusat terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuka
laporan keuangannya, terutama dalam hal sertifikasi halal, ke hadapan
publik kembali mencuat.
Meski begitu, mereka tak bisa memaksa MUI, atau lembaga publik nonpemerintah lain, untuk membuka data tersebut.
Kewajiban
bagi badan publik non-negara seperti MUI untuk membuka data pengelolaan
keuangannya sudah diatur dalam UU Nomor 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
Wakil Ketua Komisi Informasi dan
Komunikasi MUI, Ibnu Hamad, ketika ditanya tentang besaran dana yang
diperoleh dan dikelola oleh MUI dari sertifikasi halal mengatakan,
"Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikan informasinya. Saya belum bisa
menyampaikan karena belum menguasai informasinya."
Dan saat ditanya tentang jumlah yang harus dibayar oleh pemohon sertifikasi halal, Ibnu mengatakan hal yang sama.
Namun,
menurut Aisha Maharani, biaya yang dibutuhkan rata-rata adalah Rp3 juta
untuk sertifikat yang berlaku selama dua tahun bagi usaha kecil dan
menengah.
Aisha, seorang konsultan sertifikasi halal dan
pelatihannya sering membantu usaha kecil dan menengah di bidang makanan
dalam mengajukan sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan,
Kosmetika, Obat-obatan, dan Makanan MUI.
"Tiga juta (rupiah)
dibagi 24 bulan, per bulannya untuk dana legalisasi halal, seratus
ribuan (rupiah) ya. Dan otomatis, begitu dapat sertifikasi halal,
keuntungan langsung naik," katanya.
Dari pengalaman Aisha menjadi
konsultan sertifikasi halal sejak 2013, prosedur keluarnya sertifikat
bisa antara satu bulan, paling cepat, hingga lebih dari tiga bulan.
Tidak ada wewenang
Pemasukan
yang diperoleh MUI, terutama dari LPPOM melalui sertifikasi halal,
sering menjadi sorotan publik, terutama karena jumlah penerimaan yang
tak transparan.
Padahal yang menerima APBN, APBD, dan sumbangan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri.
Akan
tetapi komisioner Komisi Informasi Pusat, Henny S Widyaningsih,
mengatakan lembaganya tak bisa memaksa MUI, atau lembaga publik
nonpemerintah lain -seperti partai politik atau PSSI- agar membuka data
mereka.
"Ini delik aduan, jadi sebelum ada pemohon, kami tidak bisa meminta. Kita review
(informasinya), dan menyatakan ini informasi terbuka atau tertutup.
Kalau informasi terbuka, wajib memberikan dia, tapi kalau sudah diputus
oleh Komisi Informasi (informasi terbuka) dan tidak diberikan, itu bisa
banding ke PTUN atau PN," kata Henny.
Jika kasus banding atas
permintaan informasi tersebut berlanjut sampai ke Mahkamah Agung, maka
badan yang tak mau membuka informasi publik tersebut terancam dijatuhi
hukuman satu tahun penjara atau denda ganti rugi Rp5 juta untuk satu
informasi yang tidak diberikan.
Memilih informasi untuk umum
Lalu, apakah MUI siap membuka data, termasuk soal pemasukan dari sertifikasi halal, kepada publik?
"Prosesnya
memang, mau tak mau, MUI dalam hal ini khususnya, kalau mengikuti
undang-undang ini, tahapan pertamanya adalah membentuk PPID (Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi)," jelas Ibnu Hamad.
PPID inilah yang nantinya, menurut Ibnu, akan menentukan informasi mana yang akan dibuka ke publik atau dikecualikan.
Saat
ditanya apakah informasi tentang pemasukan soal sertifikasi halal
termasuk yang akan dibuka ke publik, Ibnu menjawab, "Itu termasuk.
Terutama yang sudah audited. Keterbukaan informasi juga ada aturannya."
"Bukan berarti dibuka begitu saja, tapi yang sudah audited."
Sumber: bbc.com