PENGEMUDI GO-JEK: KENAPA BARU SEKARANG DILARANG, INI SALAH MENTERINYA.....

JAKARTA — Kementerian Perhubungan melarang ojek ataupun taksi yang berbasis dalam jaringan atau daring (online) beroperasi. Apa tanggapan pengemudi ojek berbasis aplikasi online dengan kebijakan Kemenhub tersebut?
Ahmad (46), salah satu pengojek online, heran dengan kebijakan Kemenhub ini. Ahmad mempertanyakan kenapa kebijakan itu justru keluar pada saat ojek aplikasi sudah berjalan sejauh sekarang.
"Kalau mau melarang seharusnya dari dulu waktu masih tumbuh, bukan sudah banyak begini. (Ini) salah menterinya," kata Ahmad kepada di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (18/12/2015).
Ahmad menyebutkan, driver yang bekerja untuk Go-Jek di Jabodetabek, lanjut dia, sudah mencapai angka 150.000 orang. Dia bertanya bagaimana nasib para rekannya bila kebijakan larangan itu diterapkan.
"Bisa banyak yang protes, sedangkan pemerintah bisa enggak nyediain lapangan pekerjaan?" tanya Ahmad.
Abdul Kodir (46), pengemudi ojek aplikasi lainnya, mengungkapkan hal senada. Ia heran kebijakan itu keluar saat model usaha ini sudah berkembang besar.
"Andai distop total, kita mau ke mana. Lapangan kerja saja sekarang sulit," ujar pria yang mengaku terakhir bekerja di sebuah hotel itu.
Abdul meminta Kemenhub meninjau ulang dengan kebijakan ini, apalagi banyak masyarakat yang justru membutuhkan ojek aplikasi.
"Sebetulnya orang itu kan naik ojek untuk mengejar kecepatan. Sekarang macet begini," jawab Abdul.
Kementerian Perhubungan melarang ojek ataupun taksi yang berbasis dalam jaringan atau daring (online) beroperasi karena dinilai tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/12/2015), mengatakan pelarangan tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015.
Ahmad (46), salah satu pengojek online, heran dengan kebijakan Kemenhub ini. Ahmad mempertanyakan kenapa kebijakan itu justru keluar pada saat ojek aplikasi sudah berjalan sejauh sekarang.
"Kalau mau melarang seharusnya dari dulu waktu masih tumbuh, bukan sudah banyak begini. (Ini) salah menterinya," kata Ahmad kepada di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (18/12/2015).
Ahmad menyebutkan, driver yang bekerja untuk Go-Jek di Jabodetabek, lanjut dia, sudah mencapai angka 150.000 orang. Dia bertanya bagaimana nasib para rekannya bila kebijakan larangan itu diterapkan.
"Bisa banyak yang protes, sedangkan pemerintah bisa enggak nyediain lapangan pekerjaan?" tanya Ahmad.
Abdul Kodir (46), pengemudi ojek aplikasi lainnya, mengungkapkan hal senada. Ia heran kebijakan itu keluar saat model usaha ini sudah berkembang besar.
"Andai distop total, kita mau ke mana. Lapangan kerja saja sekarang sulit," ujar pria yang mengaku terakhir bekerja di sebuah hotel itu.
Abdul meminta Kemenhub meninjau ulang dengan kebijakan ini, apalagi banyak masyarakat yang justru membutuhkan ojek aplikasi.
"Sebetulnya orang itu kan naik ojek untuk mengejar kecepatan. Sekarang macet begini," jawab Abdul.
Kementerian Perhubungan melarang ojek ataupun taksi yang berbasis dalam jaringan atau daring (online) beroperasi karena dinilai tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/12/2015), mengatakan pelarangan tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015.
Adapun surat tersebut ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius
Jonan, tertanggal 9 November 2015.
"Sehubungan dengan maraknya kendaraan bermotor bukan angkutan umum dengan menggunakan aplikasi internet untuk mengangkut orang dan/atau barang, perlu diambil langkah bahwa pengoperasiannya dilarang," katanya.
Djoko mengatakan, surat tersebut juga ditujukan untuk Korps Lalu Lintas Polri serta para kapolda dan gubernur di seluruh Indonesia. Dia menjelaskan, pengoperasian ojek dan taksi sejenis Uber tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
"Sehubungan dengan maraknya kendaraan bermotor bukan angkutan umum dengan menggunakan aplikasi internet untuk mengangkut orang dan/atau barang, perlu diambil langkah bahwa pengoperasiannya dilarang," katanya.
Djoko mengatakan, surat tersebut juga ditujukan untuk Korps Lalu Lintas Polri serta para kapolda dan gubernur di seluruh Indonesia. Dia menjelaskan, pengoperasian ojek dan taksi sejenis Uber tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Sumber: kompas.com