Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LIMA TOKOH DIANUGERAHKAN JOKOWI GELAR PAHLWAN NASIONAL

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh di Istana Negara, Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (5/11). (CNN Indonesia/ Resty Armenia)
Jakarta -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima orang tokoh yang dianggap berjasa dalam perjuangan di berbagai bidang untuk merebut dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Pemberian gelar tersebut sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang menyebutkan bahwa gelar berupa Pahlawan Nasional dan pemberian gelar dapat disertai dengan pemberian tanda jasa dan/atau tanda kehormatan.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2015 yang ditandatangani pada Rabu (4/11) kemarin, Jokowi menetapkan Almarhum Benhard Wilhem Lapian, Almarhum Mas Isman, Almarhum I Gusti Ngurah Made Agung, Almarhum Ki Bagus Hadikusumo dan Almarhum Komisaris Jenderal Dr. H Moehammad Jasin sebagai Pahlawan Nasional.

Bernard Wilhem Lapian

Semasa bekerja di Batavia, Lapian menulis di surat kabar Pangkal Kemadjoean yang memperlihatkan sikap nasionalisme untuk membebaskan warga Indonesia dari kolonialisme. Pada 1930 hingga 1934, Lapian menjadi anggota Dewan Minahasa dan memperjuangkan pembangunan fasilitas publik, infrastruktur, rumah sakit, dan lainnya bagi kepentingan rakyat.

Semasa pendudukan Jepang, Lapian pernah menjadi Gunco (Kepala Distrik) dan pada 1945 menjadi Wali Kota Manado. Karena menolak mengembalikan kekuasaan pemerintah kepada Nederlandsch Indiƫ Civil Administration (NICA), ia pernah dijebloskan ke dalam penjara di Teling, Manado. Pada 1947 dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta dan pada 1948 dipindahkan lagi ke penjara Sukamiskin, Bandung, sebelum akhirnya dibebaskan pada 20 Desember 1949.

Saat menjadi Gubernur Sulawesi di Makassar, Lapian bertugas menyelesaikan masalah perlawanan pemberontak Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan secara damai.

Mas Isman

Setelah pemerintah Republik Indonesia mengumumkan dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945, para pelajar Surabaya mengadakan rapat pada 30 Agustus di Jalan Darmo yang dipimpin oleh Mas Isman. Kala itu, mereka membentuk suatu organisasi pelajar bersenjata dengan dasar pemikiran bahwa para pelajar harus berjuang mengangkat senjata melawan penjajah. 

Maka pada 22 September 1945, pasukan pelajar dilantik oleh Sungkono di Sekolah Darmo 49, Surabaya. Mas Isman diangkat sebagai Komandan BKR Pelajar Surabaya yang diresmikan pada 9 November 1945.

Pada masa pembangunan sesudah Indonesia merdeka, Mas Isman berkontribusi dengan mendirikan Koperasi Simpan Pinjam Gotong Royong (Kosgoro) pada 10 November 1957 dan berkembang menjadi koperasi tingkat nasional yang memberikan dampak luar biasa terhadap pembangunan bangsa.

Mas Isman juga pernah menjadi anggota delegasi RI untuk berunding di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1958 dan menjadi diplomat, termasuk menjadi Kepala Perwakilan RI di Rangoon, Birma pada 1959, Duta Besar RI di Bangkok, Thailand (1960-1964), dan Kairo, Mesir (1964-1967).

Selama menjabat sebagai anggota DPR/MPR RI pada tahun 1978-1982, ia tetap berkiprah dalam bidang organisasi kemasyarakatan, pendidikan, dan kemanusiaan.

Moehammad Jasin

Setelah Indonesia merdeka, Jasin terlibat secara aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, misalnya memproklamasikan Polisi Istimewa menjadi Polisi Indonesia. Dengan proklamasi itu, ia berhasil melepaskan keterikatan Polisi Istimewa dengan Jepang dan mengubah status polisi ini dari polisi kolonial menjadi polisi negara merdeka.

Nama Jasin juga tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan Mobiele Brigade (Mobbrig) yang kemudian berganti nama menjadi Brigade Mobil (Brimob). Ia pun diangkat sebagai Komandan Mobiele Brigade Besar MBB Jatim sekaligus Koordinator Mobbrig di semua keresidenan Jawa Timur.

Selain berkiprah di lingkungan kepolisian, Jasin pernah diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), anggota MPRS dan MPR. Ia pun pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Tanzania.

I Gusti Made Agung

I Gusti Made Agung dikenal sebagai Raha Badung VII. Ia menentang penjajahan Belanda melalui karya-karya sastranya yang membangkitkan semangat perjuangan. Di antara karya sastranya adalah Geguritan Dharma Sasana, Geguritan Niti Raja Sasana, Geguritan Nengah Jimbaran, Kidung Loda, Kakawin Atlas, dan Geguritan Hredaya Sastra.

Pada September 1906, Pemerintah Hindia Belanda membentuk pasukan besar di bawah pimpinan Jenderal Mayor M. B. Rost van Tonningen karena blokade ekonomi tidak berhasil menghancurkan Kerajaan Badung. Pembentukan pasukan ini tidak membuat Raja Badung VII menyerah. 

Sebaliknya, ia memilih untuk berperang melawan pasukan Belanda tersebut hingga gugur di medan pertempuran pada 20 September 1906. Pertempuran ini lebih dikenal dengan nama Puputan Badung.

Ki Bagus Hadikusumo

Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh Muhammadiyah dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah selama sebelas tahun, dari 1942 hingga 1953.

Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia bersama tokoh Islam lainnya berjuang agar Islam dijadikan dasar negara yang akan didirikan. Pada 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk setelah BPUPKI dibubarkan.

Ia bersama Wakil Ketua PPKI Mohammad Hatta mengadakan pertemuan khusus dengan beberapa tokoh Islam. Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Ki Bagus menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk bangsa dan negara sebagai anggota DPR mewakili Masyumi.




Sumber: cnnindonesia.com