Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HUBUNGAN KIAN MESRA TAIWAN-CHINA

Presiden China Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou akan bertemu untuk pertama kalinya sejak kedua negara berpisah lebih dari 60 tahun lalu. (Reuters/Pichi Chuang dan China Daily)
Jakarta -- Presiden China Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou akan bertemu untuk pertama kalinya sejak kedua negara berpisah lebih dari 60 tahun lalu. Statusnya, China dan Taiwan masih bertikai, namun belakangan dalam praktiknya hubungan keduanya kian mesra dengan kerja sama yang terus meningkat.

Sabtu mendatang di Singapura adalah kali pertama pertemuan kedua kepala negara berlangsung. Sebelumnya, pertemuan antara pemimpin Taiwan dan China terjadi tahun 1945. Saat itu Ketua Kuomintang Chiang Kai-sek bertemu dengan pemimpin Partai Komunis Mao Zedong usai berakhirnya penjajahan Jepang di akhir Perang Dunia II. Tahun 1949, Taiwan memisahkan dari China.


Chiang dengan partainya, Partai Nasionalis atau Kuomintang kalah dalam perang saudara melawan pasukan Partai Komunis, dan kabur ke Taiwan, pulau di tenggara China daratan. Sebelumnya, Kuomintang memerintah China setelah dinasti kekaisaran terakhir negara itu ambruk dengan nama Republik China.

Di tahun kekalahan Kuomintang, Partai Komunis mendirikan negara Republik Rakyat China yang dideklarasikan oleh Mao di Gerbang Tiananmen, Beijing. Sejak saat itu, dua pemimpin memerintah terpisah.

Hubungan kedua wilayah menjadi sangat rumit. Taiwan dan China sama-sama masih menganggap diri satu negara, namun dalam praktiknya terpisah sejak tahun 1949. Taiwan dan China sama-sama menyebut diri "China". Hingga tahun 1971, Taiwan memegang kursi perwakilan China di PBB sebelum kalah pengaruh dari Partai Komunis di Beijing.

Amerika Serikat yang sejak lama menentang pemerintahan komunis China selama bertahun-tahun hanya membuka kantor perwakilan di Taiwan. Tapi pada 1979 saat menormalisasi hubungan dengan Beijing, Washington memindahkan kedutaan besar ke China dan menutup perwakilan diplomatik di Taiwan.

Secara teknis, China dan Taiwan masih dianggap satu negara oleh pihak Kuomintang dan Partai Komunis. Hal yang sama juga diterapkan melalui hubungan diplomatik, atau yang dikenal dengan "Satu China."

Kebijakan ini membuat banyak negara harus memilih, hubungan diplomatik dengan Taiwan atau China, yang biasanya dimenangkan Beijing. Namun hal ini tidak menyurutkan kerja sama diplomatik walau dengan wujud lain. Biasanya, Taiwan memiliki kantor dagang dan ekonomi di negara-negara lain, yang berfungsi mirip kedutaan besar.

Ketua Kuomintang Chiang Kai-sek bertemu dengan pemimpin Partai Komunis Mao Zedong usai berakhirnya penjajahan Jepang di akhir Perang Dunia II.  (Dok. Epoch Times)
Konflik kecil

Dalam sejarahnya, hubungan China-Taiwan sangat buruk, diwarnai dengan konflik-konflik kecil yang dikhawatirkan akan menjadi perang terbuka. Apalagi banyak pihak di Taiwan yang mendesak deklarasi kemerdekaan. 

Namun China tahun 2005 telah menerbitkan undang-undang, berisikan ancaman aksi militer jika Taiwan mengumumkan merdeka. Konon, rudal China saat ini juga sudah mengarah ke Taiwan, siap kapan pun ditembakkan.

Tapi dalam 20 tahun terakhir, hubungan mulai membaik. Walau secara diplomatis berseteru, namun dalam bidang ekonomi keduanya akrab, terutama setelah Ma Ying-jeou memimpin tahun 2008.

Taiwan menanamkan investasi miliaran dolar di China, yang merupakan rumah bagi 1,3 juta orang dengan perekonomian kedua terbesar dunia. Jutaan turis dari China juga sering berlibur ke Taiwan, kendati petugas imigrasi kedua negara saling menolak paspor. Bahkan kini sudah ada penerbangan langsung dari China ke Taiwan, negara berpopulasi 23 juta jiwa.

Menurut laman Vox.com, setidaknya ada dua alasan mengapa hubungan dua negara kian mesra.

Alasan pertama, adalah saling klaim negara sudah sangat melelahkan dan perang dengan mengerahkan militer akan memakan banyak biaya dan korban jiwa. Taiwan juga tidak mungkin bergabung dengan China, karena Taiwan memiliki standar hidup yang tinggi dan menjunjung kebebasan politik.

Alasan kedua adalah demokrasi. Sejak dibentuk 1949, Taiwan adalah negara demokratis dengan pemilihan umum yang terbuka dan menentang segala bentuk pengekangan. Tahun lalu saja, ratusan ribu warga Taiwan turun ke jalan memprotes perjanjian dagang dengan China.

Suka tidak suka, rakyat Taiwan harus menyadari bahwa China adalah mitra dagang terbesar mereka. Volume perdagangan kedua negara tahun lalu mencapai US$198 miliar.

Membicarakan apa?


Pertemuan terakhir antara Mao dan Chiang 70 tahun lalu sebelum dimulainya kembali babak baru perang saudara adalah soal persatuan China. Namun kedua pihak berkeras menerapkan ideologi masing-masing sehingga terpecah belah.

"Bagi saya kemenangan berarti dimulainya pembangunan sejati--ekonomi dan politik--bebas dari campur tangan luar," kata Chiang saat itu, dikutip dari TIME.

Nasionalis dan Komunis China yang lama berseteru memutuskan bersatu melawan penjajah Jepang. Setelah Jepang kalah perang tahun 1945, perang saudara berlanjut yang berujung kekalahan Kuomintang.

Dalam pertemuan antara Xi dan Ma Sabtu besok di Singapura, pembicaraan bukan soal perdamaian dan perbaikan hubungan kedua negara, tapi lebih kepada bentuk simbolis menurunnya ketegangan China-Taiwan.

Bagi Ma, membaiknya hubungan dengan China adalah salah satu prioritas utamanya, walau langkah ini membuat popularitasnya menurun di dalam negeri. Masa jabatannya akan habis Januari mendatang, dan ini akan menjadi peninggalan bersejarah Ma sebagai pemimpin negara.

Bagi Xi juga demikian, pertemuan ini akan menjadi tolok ukur hubungan dengan Taiwan di masa mendatang, bahkan jika nanti jiran China itu dipimpin oleh Partai Progresif Demokratis yang bersikap anti-China.

Sebelumnya, berdasarkan diplomat Asia yang diwawancara New York Times, Ma telah berkali-kali meminta bertemu dengan Xi, dan ditolak pada awalnya. Bisa jadi, kata sumber itu, kali ini Xi akan memberikan sesuai pada Ma yang dinilainya menerapkan kebijakan pro-China. 



Sumber: cnnindonesia.com