YUSRIL KRITIK PERMINTAAN MAAF PADA SOEKARNO
![]() |
Yusril Ihza Mahendra
|
JAKARTA,
Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra mengkritik sikap
PDI Perjuangan yang dinilai ragu-ragu dalam mengambil keputusan soal
wacana permintaan maaf pemerintah kepada Presiden pertama RI Soekarno.
Ia meminta pemerintah cepat mengambil keputusan soal wacana
permintaan maaf tersebut. "Mau minta maaf atau tidak pada Bung Karno,
semuanya adalah kewenangan pemerintah. Kalau ingin dilakukan, silakan
dilakukan oleh Megawati dulu waktu jadi Presiden, atau sekarang oleh
Jokowi," ujar Yusril melalui siaran pers, Minggu (11/10/2015).
Yusril menilai, ada yang aneh dalam sikap PDI-P yang terus menyuarakan wacana permintaan maaf itu, namun tidak juga merealisasikannya.
Sebab, kewenangan untuk menyetujui atau tidak wacana tersebut ada di tangan pemerintah. Sementara, PDI-P saat ini adalah partai yang berkuasa dalam pemerintah.
Menurut Yusril, berwacana terus soal permintaan maaf ini justru mengesankan pemerintah yang dikuasai PDI-P ini tidak mengerti apa yang harus dilakukan sebagai pemerintah.
"Sudah jadi partai berkuasa tetapi masih merasa seperti berada di luar lingkaran kekuasaan," kata Yusril.
Ia meminta agar Presiden Joko Widodo segera mengambil keputusan soal wacana tersebut. Menurut dia, masalah tersebut perlu untuk segera diselesaikan agar pemerintah dapat berfokus untuk menyelesaikan masalah lain yang dihadapi bangsa dan negara.
Sebelumnya, Wakil Sekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah menyatakan pemerintah harus meminta maaf karena menuduh Soekarno mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).
Basarah mengatakan bahwa Soekarno adalah korban peristiwa G30S/PKI. Ia menganggap Soekarno kehilangan kekuasaan karena tuduhan mendukung PKI dan terbitnya TAP MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967.
Dalam Pasal 6 TAP MPRS tersebut, kata Basarah, Pejabat Presiden Jenderal Soeharto diberikan tanggung jawab untuk melakukan proses hukum secara adil guna membuktikan dugaan pengkhianatan Presiden Soekarno.
Namun hal tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai Presiden Soekarno wafat tanggal 21 Juni 1970.
Ketua Fraksi PDI-P di MPR itu menegaskan, dengan terbitnya TAP MPR Nomor I Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002, maka TAP MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 November 2012 juga memberikan anugerah kepada Soekarno sebagai pahlawan nasional.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar dan Tanda Jasa, kata Basarah, syarat pemberian gelar pahlawan nasional adalah dapat diberikan kepada tokoh bangsa apabila semasa hidupnya tidak pernah melakukaan pengkhianatan terhadap negara.
Basarah beranggapan, permintaan maaf pemerintah karena menuduh Soekarno mendukung PKI lebih memiliki dasar hukum ketimbang rencana permintaan maaf terhadap korban pelanggaran berat HAM tahun 1965.
Meski di sisi lain Basarah beranggapan bahwa negara tidak dapat menghukum secara politik maupun perdata terhadap keturunan aktivis PKI yang tidak tahu dan tidak terlibat dalam peristiwa pemberontakan PKI.
Yusril menilai, ada yang aneh dalam sikap PDI-P yang terus menyuarakan wacana permintaan maaf itu, namun tidak juga merealisasikannya.
Sebab, kewenangan untuk menyetujui atau tidak wacana tersebut ada di tangan pemerintah. Sementara, PDI-P saat ini adalah partai yang berkuasa dalam pemerintah.
Menurut Yusril, berwacana terus soal permintaan maaf ini justru mengesankan pemerintah yang dikuasai PDI-P ini tidak mengerti apa yang harus dilakukan sebagai pemerintah.
"Sudah jadi partai berkuasa tetapi masih merasa seperti berada di luar lingkaran kekuasaan," kata Yusril.
Ia meminta agar Presiden Joko Widodo segera mengambil keputusan soal wacana tersebut. Menurut dia, masalah tersebut perlu untuk segera diselesaikan agar pemerintah dapat berfokus untuk menyelesaikan masalah lain yang dihadapi bangsa dan negara.
Sebelumnya, Wakil Sekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah menyatakan pemerintah harus meminta maaf karena menuduh Soekarno mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).
Basarah mengatakan bahwa Soekarno adalah korban peristiwa G30S/PKI. Ia menganggap Soekarno kehilangan kekuasaan karena tuduhan mendukung PKI dan terbitnya TAP MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967.
Dalam Pasal 6 TAP MPRS tersebut, kata Basarah, Pejabat Presiden Jenderal Soeharto diberikan tanggung jawab untuk melakukan proses hukum secara adil guna membuktikan dugaan pengkhianatan Presiden Soekarno.
Namun hal tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai Presiden Soekarno wafat tanggal 21 Juni 1970.
Ketua Fraksi PDI-P di MPR itu menegaskan, dengan terbitnya TAP MPR Nomor I Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002, maka TAP MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 November 2012 juga memberikan anugerah kepada Soekarno sebagai pahlawan nasional.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar dan Tanda Jasa, kata Basarah, syarat pemberian gelar pahlawan nasional adalah dapat diberikan kepada tokoh bangsa apabila semasa hidupnya tidak pernah melakukaan pengkhianatan terhadap negara.
Basarah beranggapan, permintaan maaf pemerintah karena menuduh Soekarno mendukung PKI lebih memiliki dasar hukum ketimbang rencana permintaan maaf terhadap korban pelanggaran berat HAM tahun 1965.
Meski di sisi lain Basarah beranggapan bahwa negara tidak dapat menghukum secara politik maupun perdata terhadap keturunan aktivis PKI yang tidak tahu dan tidak terlibat dalam peristiwa pemberontakan PKI.
Sumber: kompas.com
Gambar: Google