TOLAK PERPANJANGAN OPERASI TAMBANG PT FREEPORT
Pada
tahun 2021, Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia di Komplek tambang
Papua, akan berakhir.
Kompleks tambang PT Freeport merupakan salah satu
penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan
tembaga terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung wilayah mineral
yang sangat melimpah dan berusia panjang. KK PT Freeport ditandatangani
pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991.
PTFI telah
melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung
tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang
Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan
Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Mengapa dikelola Sendiri?
Wilayah Tambang PT Freeport di Papua, merupakan kekayaan alam bangsa
Indonesia yang semestinya dapat dikelola sendiri oleh Indonesia untuk
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33
ayat (3) UUD NRI 1945.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa
Indonesia harus mengelola sendiri tambang Grasberg, Papua, yaitu:
(1)
sebagai tambang emas terbesar di dunia tentu secara ekonomi akan
memberikan manfaat penerimaan negara yang besar bagi negara ini apabila
dikelola langsung oleh bangsa Indonesia sendiri;
(2) selama ini PT
Freeport cenderung ‘bandel’ atas kebijakan pemerintah, misalnya mengenai
kewajiban pemurnian di dalam negeri dan membangun smelter. PT Freeport
berjanji akan membangun smelter, namun syaratnya Pemerintah harus
memberikan perpanjangan kontrak hingga 2031. “PT Freeport Indonesia akan
memulai konstruksi pembangunan smelter ketika kepastian kelanjutan
operasi pertambangan sampai dengan 2031 diterima PT Freeport Indonesia”;
(3) besaran royalti yang sulit untuk dinaikkan dari 1% ke 3.75%
sebagaimana diatur dalam PP No. 9 tahun 2010 tentang PNBP di Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral padahal sebagai pemilik sumber daya alam
Indonesia harusnya bangsa Indonesia mendapat royalti tidak hanya 3.75%
tetapi puluhan persen;
(4) PT Freeport sulit mendivestasikan sahamnya
kepada pemerintah dan BUMN sebagaimana perintah UU No. 4 Tahun 2009.
Deviden untuk Pemerintah saat ini juga sangat kecil. Total dividen yang
diterima Pemerintah dari Freeport sejak 1992-2011 hanya sebesar USD
1,287 miliar. Demikian pula saham Pemerintah di PT Freeport, hanya
sekitar 9,36 persen (Kompas.com, 27/1/2015). Itu artinya pada jangka
waktu yang sama, PT Freeport menerima deviden USD 12,87 miliar dolar
alias 10 kali lipat daripada yang didapat Pemerintah. Parahnya, ternyata
selama 2012-2014 PT Freeport tidak memenuhi kewajibannya untuk menyetor
dividen kepada Pemerintah, dan itu dibiarkan saja oleh Pemerintah:
(5)
kebijakan pemerintah yang berusaha ‘membela’ kepentingan PT Freeport
menjadi beban bagi pemerintah sendiri, misalnya mengenai perpanjangan
ekspor konsentrat selama enam bulan oleh pemerintah melalui MOU kepada
PT Freeport membuat pemernitah harus digugat ke pengadilan karena
dianggap melanggar peraturan perundang-undangan;
(6) hasil tambang PT
Freeport tidak memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia secara
maksimal misalnya untuk ketersediaan bahan baku industri dalam negeri.
Strategi Pengelolaan Sendiri
Berbagai alasan tersebut memperkuat posisi pemerintah untuk mengelola
sendiri Komplek tambang Grasberg peninggalan PT Freeport pada 2021
nanti.
Adapun skema yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu:
Pertama,
pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi
tambang Grasberg. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah
dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah Pemerintah memutus kontrak dan
mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang
pada 2013.
Kedua, Pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding
BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, dan
beberapa BUMN di bidang perbankan untuk mengelola tambang Grasberg.
Ketiga, dengan skema pembelian saham divestasi PT Freeport sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 112 UU No.4/2009 bahwa pemegang KK harus
mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah,
BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional.
Kepemilikan saham pemerintah
PT Freeport harus 51% sesuai denganketentuan dalam PP No. 1/2014.
Melalui saham mayoritas maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan
peralihan keuntungan dari PT Freeport kepada pemerintah Indonesia.
Pilihan ketiga tersebut, bukanlah pilihan yang ideal karena saham
divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang
sangat besar dan akan membebani APBN.
Sehingga upaya menunggu tahun
2021 ketika berakhirnya KK PT Freeport dan atas KK tersebut tidak
diperpanjang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta memberikan
Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada BUMN tentunya menjadi pilihan
terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara prosedural.
Perpanjangan KK menjadi IUP yaitu sebagaimana dalam
Pasal 112 ayat (2) PP No. 23/2010 diatur bahwa KK yang belum memperoleh
perpanjangan pertama dan/atau kedua dapat diperpanjang menjadi IUP
perpanjangan tanpa melalui lelang dan kegiatan usahanya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan PP No.23/2010 mengenai penerimaan negara yang
lebih menguntungkan.
Perpanjangan KK menjadi IUP diberikan oleh Menteri
ESDM (Pasal 112B PP No.24 Tahun 2012).
Untuk memperoleh IUP, pemegang KK
harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM paling cepat dalam
jangka waktu dua tahun dan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan
sebelum KK berakhir (Pasal 112B ayat (2) PP No. 24 Tahun 2012).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan yang kuat
untuk tidak memperpanjang KK PT Freeport dengan IUP. Selanjutnya pada
2018/2019 PT Freeport sudah dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK
menjadi IUP.
Momentum permohonan perpanjangan inilah yang harus
dipertegas oleh pemerintah untuk tidak memperpanjang dan mengakhiri KK
PT Freeport.
Saat ini tahun 2016, tahun 2018/2019 saat PT Freeport oleh peraturan
perundang-undangan dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK untuk
menjadi IUP telah semakin dekat.
Pemerintah harus telah menyiapkan
rencana kebijakan sejak saat ini karena apabila pemerintah salah
menentukan kebijakan maka akan menjadi warisan penderitaan bagi bangsa
dan negara.
Perlu juga dihindari upaya-upaya perubahan peraturan
perundang-undangan yang sudah baik saat ini untuk kemudian diubah demi
menguntungkan PT Freeport semata.
Upaya penyelundupan kepentingan
perusahaan dan merugikan kepentingan nasional melalui pengubahan
peraturan perundang-undangan sangat berpotensi dilakukan oleh unit
pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembentukan regulasi.
Akhinya, bangsa Indonesia harus bersatu untuk menentukan bahwa tambang
Papua milik bangsa Indonesia dan harus dikelola sendiri oleh bangsa
Indonesia.
Sumber:
change.org - Ahmad Redi Indonesia