MASALAH IMPOR BERAS 1,5 TON

Harga beras yang mahal dalam sebulan terakhir membuat warga di
Kabupaten Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, yang merupakan daerah
penghasil padi nasional, kesulitan mendapatkan beras kualitas layak
dengan harga terjangkau.
Oleh: Bustanul Arifin
JAKARTA, Rencana impor beras 1,5 juta ton
yang disampaikan Wakil Presiden M Jusuf Kalla di Dubai, saat transit
dalam perjalanan ke Amerika Serikat (Kompas, 25 September 2015),
sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.
Para analis dan ekonom pertanian telah memperkirakannya jauh-jauh
hari, terutama setelah kualitas data produksi semakin sulit
diverifikasi. Dampak dari buruknya akurasi data tentu tidak hanya pada
kredibilitas kebijakan, tetapi jauh sampai pada kesejahteraan petani dan
masyarakat umum.
Tulisan ini menjelaskan tafsir kebijakan rencana impor
beras tersebut, setidaknya meliputi akurasi data estimasi produksi,
asimetri informasi harga dan struktur pasar beras dalam negeri, serta
inkonsistensi kebijakan perberasan secara umum.
Akurasi data
Pertama, data produksi memerlukan kalibrasi dan rekalibrasi,
setidaknya dengan data konsumsi. Pada awal Juli 2015, Badan Pusat
Statistik (BPS) mengumumkan secara resmi bahwa angka ramalan pertama
produksi padi 2015 mencapai 75,55 juta juta ton gabah kering giling atau
mengalami peningkatan 6,65 persen dibandingkan produksi pada 2014 yang
mencapai 70,8 juta ton.
Angka tersebut setara dengan 41 juta ton beras.
Jika angka konsumsi beras 114,12 kilogram (kg) per kapita per tahun,
total konsumsi beras untuk 253 juta penduduk sekitar 30 juta ton.
Artinya, Indonesia seharusnya telah mencapai target surplus beras lebih
dari 10 juta ton, overestimasi yang sulit diverifikasi.
Dengan metodologi estimasi yang sama-sama fragile, tahun 2014 pun
Indonesia mengalami surplus 8,8 juta ton, tahun 2013 surplus 9,5 juta
ton, dan seterusnya ke belakang. Seandainya surplus beras itu benar
adanya, stok beras yang dikuasai Perum Bulog, yang beredar di tengah
masyarakat, dan yang dijadikan stok tahun berjalan (carry-over stock)
seharusnya amat besar.
Fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan adalah bahwa estimasi data
produksi padi, jagung, dan kedelai dilakukan bersama oleh BPS dan
Kementerian Pertanian. Angka produksi adalah perkalian data
produktivitas (ton/hektar) dengan luas panen (hektar).
Data
produktivitas adalah aproksimasi sampel lahan petani 2,5 meter x 2,5
meter (ubinan) yang dilakukan petugas lapangan BPS bekerja sama dengan
kantor cabang dinas pertanian tanaman pangan atau dengan penyuluh
pertanian lapang.
Data luas panen diperoleh bukan dari pengukuran, melainkan dengan metode kira-kira sejauh mata memandang (eye estimate)
menggunakan sistem blok pengairan dan lain-lain. Bias data dapat
terjadi pada metode ubinan yang tidak bebas dari sampling error dan
non-sampling error ataupun pada metode eye estimate yang tidak lepas
dari kepentingan politik dan birokrasi.
Apalagi sistem pelaporan data
dari lapangan akhir-akhir ini telah melibatkan petugas yang tidak
memiliki kompetensi khusus melakukan pengukuran variabel produksi
pangan.
Solusi yang dapat ditempuh adalah bahwa data produksi perlu
dikalibrasi dengan data konsumsi beras yang menunjukkan penurunan secara
perlahan, tetapi pasti. Hasil survei sosial ekonomi nasional
menunjukkan, konsumsi beras langsung tahun 2014 menurun menjadi 85,04
kg/kapita dari 90,10 kg/kapita pada 2011.
Konsumsi beras oleh rumah
makan dan industri makanan-minuman menurun menjadi 19,32 kg/kapita pada
2014 dari 20,51 kg/kapita pada 2011.
Ditambah konsumsi beras di hotel, restoran, dan lain-lain, tingkat
konsumsi beras pada 2014 tercatat 114,13 kg/kapita, angka yang cukup
realistis dibandingkan dengan angka 139,15 kg/kapita yang selama ini
digunakan. Langkah rekalibrasi boleh juga dilakukan dengan data hasil
audit lahan sawah dan hasil pendataan industri penggilingan padi walau
survei tidak dilakukan setiap tahun.
Asimetri informasi harga dan struktur pasar
Kedua, pasar beras di dalam negeri masih diliputi asimetri informasi
harga dan struktur pasar yang jauh dari prinsip-prinsip persaingan
sempurna. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa harga
eceran beras premium di pasar dalam negeri per 25 September masih cukup
mahal, Rp 10.280 per kg.
Harga itu hampir dua kali lipat dari harga
beras internasional untuk kualitas sejenis (Thailand 25 persen broken)
yang tercatat 362 dollar AS/ton atau Rp 5.430 per kg atau bahkan
kualitas lebih baik (Vietnam 5 persen broken) yang tercatat 340.1 dollar AS per ton atau Rp 5.100 per kg.
Sementara itu, harga jual gabah petani masih cukup "murah", Rp 4.100
per kg, walau lebih mahal dibandingkan harga referensi pembelian
pemerintah Rp 3.700 per kg gabah kering panen dengan kadar air 25 persen
dan kadar hampa/kotoran 25 persen maksimum.
Perbedaan harga yang begitu
besar antara harga internasional dan harga dalam negeri serta antara
harga tingkat konsumen dan harga tingkat produsen adalah persoalan
asimetri informasi yang perlu mendapat perhatian memadai.
Pada saat musim paceklik atau pada saat petani sedang menjadi
konsumen beras, harga eceran beras di dalam negeri terlalu mahal
sehingga sulit dijangkau oleh petani, terutama mereka yang berada pada
kelompok miskin.
Pemerintah merasa perlu untuk membantu kelompok
prasejahtera melalui paket kebijakan ekonomi tanggal 9 September 2015
untuk menambah penyaluran beras untuk keluarga prasejahtera (sekarang
bernama rastra, perubahan dari raskin) sampai bulan ke-13 dan ke-14.
Jumlah stok beras yang dikuasai Bulog saat ini 1,5 juta ton-1,7 juta
ton, jumlah yang tidak terlalu aman jika untuk mengantisipasi lonjakan
harga eceran beras pada November, Desember dan Januari 2016 karena
dampak kekeringan El Nino. Indeks El Nino yang saat ini telah mencapai
1,8 derajat celsius (kategori moderat) masih mungkin naik jika sampai
akhir Oktober belum turun hujan secara normal.
Solusi yang dapat ditempuh adalah mempertegas penugasan negara kepada
Perum Bulog untuk melakukan pengadaan gabah dan beras dalam negeri,
tidak secara ad hoc, tetapi lebih permanen. Kewajiban pelayanan
publik (PSO) bagi Bulog tidak hanya sebatas penambahan anggaran untuk
rastra, tetapi juga pada fleksibilitas pembelian gabah petani.
Bulog tidak boleh kalah gesit dari para tengkulak yang telah menjalankan fungsi door to door
mencari gabah petani sampai ke pelosok, terkadang menunggu di pinggir
pematang sawah. Pemerintah juga perlu lebih tegas untuk segera
mendirikan kelembagaan Badan Pangan Nasional sebagaimana amanat Pasal
126-129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Inkonsistensi kebijakan
Ketiga, rencana impor beras 1,5 juta ton dari Thailand, Vietnam, dan
Myanmar pada akhir tahun ini adalah satu lagi bukti inkonsistensi
kebijakan perberasan nasional. Apa pun alasannya, kredibilitas kebijakan
pemerintah telah dipertaruhkan walaupun anggaran Kementerian Pertanian
pada 2015 telah ditambah dua kali lipat menjadi Rp 32,7 triliun.
Tambahan anggaran sebanyak itu untuk rehabilitasi jaringan irigasi
tersier 1,1 juta hektar lahan (Rp 1,32 triliun), pengadaan benih untuk
12.000 hektar lahan tebu (Rp 1,18 triliun), bantuan pupuk untuk 3,6 juta
hektar padi dan jagung (Rp 2,33 triliun), dan lain-lain. Rehabilitasi
jaringan irigasi serta pencetakan sawah baru dan ekspansi areal panen di
luar Jawa seharusnya mendapat prioritas apabila aspek resiliensi,
mitigasi risiko, dan pemerataan pembangunan dijadikan pertimbangan.
Hal
yang perlu dicatat adalah bahwa pada keadaan normal, tambahan anggaran
untuk investasi di infrastruktur dan proyek fisik lain baru akan
memperlihatkan hasil pada tahun ketiga.
Rencana impor beras perlu dilihat sebagai alternatif terakhir dan
bukan sebagai rutinitas kebijakan, apalagi sampai terjadi adiksi.
Fenomena ketergantungan impor kedelai seharusnya dijadikan pelajaran
amat berharga bahwa suatu sistem produksi yang mapan pun dapat roboh dan
rusak hanya karena godaan harga murah kedelai impor dari Amerika
Serikat. Kesejahteraan petani Indonesia dan masyarakat umum tidak dapat
sepenuhnya diserahkan pada pasar pangan global, apalagi pasar yang
terdistorsi.
Bustanul Arifin
Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Senior Indef; Ketua Forum Masyarakat Statistik
Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Senior Indef; Ketua Forum Masyarakat Statistik
Sumber: kompas.com