Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HUKUMAN MATI TERPIDANA NARKOBA DINILAI JADI TAMENG APARAT

Aktivis KontraS melakukan aksi menolak eksekusi hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba khususnya Mary Jane asal Filipina di depan Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (28/4). (AntaraFoto/ Yudhi Mahatma)         
Jakarta, Presiden Joko Widodo didesak untuk menghapuskan praktik hukuman mati di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bersama Koalisi Anti Hukuman Mati dalam rangka menyambut Hari Hukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober mendatang.

Hukuman mati dinilai koalisi tidak efektif memberi efek jera bandar narkoba. Selain itu, koalisi menilai hukuman mati menjadi tameng bagi aparat negara melakukan bisnis narkoba.

Dalam catatan koalisi, pemerintahan Jokowi telah mengeksekusi mati empat belas terpidana. Keseluruhannya terjerat kasus narkoba. Eksekusi tersebut menghabiskan biaya sebesar Rp 3 miliar.

Eksekusi gelombang pertama dilakukan terhadap enam warga negara asing pada Minggu 18 Januari 2015. Sementara gelombang kedua dilakukan pada 29 April 2015, dengan terpidana mati seorang warga negara Indonesia dan sisanya WNA.

Usai eksekusi gelombang kedua, Jaksa Agung telah merencanakan eksekusi berikutnya dengan mengajukan anggaran eksekusi ke APBN. Saat ini terdapat 121 orang yang menunggu eksekusi mati di Indonesia.

Pegiat Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Ricky Gunawan, mengatakan bahwa tahun ini Indonesia darurat hukuman mati. Menurutnya, selama ini belum pernah ada praktik hukuman mati dilakukan melebihi sepuluh orang dalam satu tahun.

"Ini tahun yang paling gawat. Bukan berarti kami membela pemakai narkotika. Hal yang kami dukung adalah pengungkapan kejahatan dan menghormati kehidupan," kata Ricky di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (8/10).

Direktur Imparsial Poengky Indarti mengatakan bahwa eksekusi mati hanya menjadi pencitraan pemerintah. Poengky menilai pemerinta seolah ingin memperlihatkan ke publik penegakan hukum di Indonesia dilakukan secara tegas.

Poengky juga menduga adanya keterlibatan aparat negara dalam bisnis narkoba. Hal ini yang menurutnya bakal mempersulit pengungkapan kasus narkoba di Indonesia. Eksekusi mati, kata Poengky, hanya menjadi alat untuk menutupi bisnis narkoba yang melibatkan aparat negara.

"Pemerintah teriak-teriak darut narkoba, tapi ternyata aparatnya sendiri yang jualan atau menjadi backing. Sementara yang dihukum hanya kroco-kroconya yang kecil," kata Poengky.

Di tataran konstitusi, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara mengatakan bahwa ada beberapa persoalan hukuman mati yang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi.

Setidaknya ada dua permohonan pengujian undang-undang terkait isu hukuman mati, yaitu ketentuan pembatasan peninjauan kembali pidana yang diatur di Undang-undang Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman, serta ketentuan pertimbangan grasi oleh presiden dalam UU Grasi.

Sementara peneliti Elsam, Wahyu Wagiman mengatakan bahwa pemerintah perlu mengkaji ulang semua putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati harus sesuai dengan prinsip peradilan yang adil dan universal.

Terkait prinsip tersebut, Direktur HRWG Refendi Djamin mengatakan bahwa Indonesia berhadapan dengan masalah peradilan jujur dan adil (fair trial) yang tak kunjung selesai.

Secara umum, kata dia, buruknya peradilan di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya persoalan dalam putusan pidana yang menjatuhkan hukuman mati.

Beberapa di antaranya seperti kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, hingga inkonsistensi putusan hakim.
 
 
Sumber: cnnindonesia.com