BAMBANG WISJOJANTO: DPR DAN MK HARUS MEMILIKI MEKANISME KONTROL YANG KUAT

Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang
Widjojanto (kiri) dalam diskusi Quo Vadis Bhinneka Tunggal Ika di Galeri
Salihara, Jakarta, Jumat (9/10). (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Jakarta,
Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi
Bambang Widjojanto menilai sejumlah lembaga negara seperti DPR dan
Mahkamah Konstitusi perlu memiliki mekanisme kontrol yang kuat. Seperti
halnya yang dilakukan pada KPK.
"KPK masih bisa diuji penggunaan kewenangannya di pengadilan. Kalau Mahkamah Konstitusi dan parlemen, siapa yang bisa mengontrol mereka? Enggak ada," ujar Bambang yang akrab disapa BW saat ditemui dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (9/10).
Bambang mengatakan kekuasaan yang berjalan tanpa mekanisme kontrol sangat berpotensi melakukan kejahatan korupsi. Karena itu akuntabilitas diperlukan untuk mengontrol kekuasaan. "Ketika kekuasaan nyaris sempurna tanpa kontrol, potensi kejahatan korupsi sangat mungkin dilakukan. Kalau akuntabilitas itu beres, semua beres," katanya.
Bambang menilai akar persoalan korupsi ada pada keserakahan dan kesombongan. Kebanyakan pelaku tindak pidana korupsi adalah mereka yang memegang jabatan dan kewenangan. Padahal para pejabat itu, tambah Bambang, hanya bagian terkecil di dunia ini.
"KPK masih bisa diuji penggunaan kewenangannya di pengadilan. Kalau Mahkamah Konstitusi dan parlemen, siapa yang bisa mengontrol mereka? Enggak ada," ujar Bambang yang akrab disapa BW saat ditemui dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (9/10).
Bambang mengatakan kekuasaan yang berjalan tanpa mekanisme kontrol sangat berpotensi melakukan kejahatan korupsi. Karena itu akuntabilitas diperlukan untuk mengontrol kekuasaan. "Ketika kekuasaan nyaris sempurna tanpa kontrol, potensi kejahatan korupsi sangat mungkin dilakukan. Kalau akuntabilitas itu beres, semua beres," katanya.
Bambang menilai akar persoalan korupsi ada pada keserakahan dan kesombongan. Kebanyakan pelaku tindak pidana korupsi adalah mereka yang memegang jabatan dan kewenangan. Padahal para pejabat itu, tambah Bambang, hanya bagian terkecil di dunia ini.
"Kombinasi antara kesombongan dan keserakahan menciptakan korupsi, intoleransi, dan juga kriminalisasi," kata Bambang.
Dalam diskusi itu, kader Partai Solidaritas Indonesia, Isyana Bagoes Oka, ikut berkomentar mengenai korupsi. Menurutnya, korupsi itu bentuk lain dari intoleransi di bidang ekonomi. "Kalau kita punya rasa toleransi yang tinggi, kita enggak mungkin melakukan korupsi," kata Isyana.
Sementara saat disinggung masalah intoleransi, perwakilan kelompok muda Nahdatul Ulama, Savic Ali berpendapat bahwa pada dasarnya kecenderungan manusia melakukan sikap intoleran karena dipengaruhi oleh dua hal, yaitu nilai dan kepentingan.
Belakangan ini di media sosial, lanjutnya, banyak orang yang mudah menganggap sesat atau membidahkan orang lain. Savic mengatakan, sikap intoleransi perlu ditanggapi dengan serius. Di era keterbukaan informasi saat ini, publik harus lebih sering bersuara melawan kelompok yang dapat mengancam kebhinnekaan.
"Kita harus memenangi argumen, tafsir, atau pemaknaan dan memenangi pertarungan psikologis. Kelompok yang membahayakan itu perlu kita lokalisir. Itu juga menjadi tugas negara," ujarnya.
Di sisi lain, vokalis Efek Rumah Kaca Cholil Mahmud punya cara sendiri dalam memerangi intoleransi. Dia mencipta banyak lagu bernuansa kritik sosial. Bersama grupnya, Cholil berusaha menyuarakan idealisme sekaligus menjaga kualitas musiknya agar tetap didengar banyak orang.
Seperti lagu Di Udara bercerita tentang aktivis HAM Munir yang dibunuh di atas pesawat. Awalnya, Cholil berniat memberi judul Ode untuk Munir. Namun judul itu diubah agar bisa diterima semua kalangan, termasuk orang yang antipati pada persoalan politik.
"Itu strategi bikin lirik supaya tidak merasa menggurui. Saya ingin apa yang disampaikan di medium musik menjadi suara, statement kami," kata Cholil.
Bambang Widjojanto melanjutkan, Indonesia menjadi negara yang hebat karena dipengaruhi oleh kekuatan pemuda. Sejarah pergerakan modern Indonesia telah membuktikan hal itu.
"Kalau Indonesia mau dashyat tapi enggak ada anak muda yang bergerak, ya enggak bisa. Contohnya KPK, enam puluh sampai tujuh puluh persen yang ada di sana anak muda. Kalau enggak ada mereka, KPK enggak bergerak," Bambang.
Dalam diskusi itu, kader Partai Solidaritas Indonesia, Isyana Bagoes Oka, ikut berkomentar mengenai korupsi. Menurutnya, korupsi itu bentuk lain dari intoleransi di bidang ekonomi. "Kalau kita punya rasa toleransi yang tinggi, kita enggak mungkin melakukan korupsi," kata Isyana.
Sementara saat disinggung masalah intoleransi, perwakilan kelompok muda Nahdatul Ulama, Savic Ali berpendapat bahwa pada dasarnya kecenderungan manusia melakukan sikap intoleran karena dipengaruhi oleh dua hal, yaitu nilai dan kepentingan.
Belakangan ini di media sosial, lanjutnya, banyak orang yang mudah menganggap sesat atau membidahkan orang lain. Savic mengatakan, sikap intoleransi perlu ditanggapi dengan serius. Di era keterbukaan informasi saat ini, publik harus lebih sering bersuara melawan kelompok yang dapat mengancam kebhinnekaan.
"Kita harus memenangi argumen, tafsir, atau pemaknaan dan memenangi pertarungan psikologis. Kelompok yang membahayakan itu perlu kita lokalisir. Itu juga menjadi tugas negara," ujarnya.
Di sisi lain, vokalis Efek Rumah Kaca Cholil Mahmud punya cara sendiri dalam memerangi intoleransi. Dia mencipta banyak lagu bernuansa kritik sosial. Bersama grupnya, Cholil berusaha menyuarakan idealisme sekaligus menjaga kualitas musiknya agar tetap didengar banyak orang.
Seperti lagu Di Udara bercerita tentang aktivis HAM Munir yang dibunuh di atas pesawat. Awalnya, Cholil berniat memberi judul Ode untuk Munir. Namun judul itu diubah agar bisa diterima semua kalangan, termasuk orang yang antipati pada persoalan politik.
"Itu strategi bikin lirik supaya tidak merasa menggurui. Saya ingin apa yang disampaikan di medium musik menjadi suara, statement kami," kata Cholil.
Bambang Widjojanto melanjutkan, Indonesia menjadi negara yang hebat karena dipengaruhi oleh kekuatan pemuda. Sejarah pergerakan modern Indonesia telah membuktikan hal itu.
"Kalau Indonesia mau dashyat tapi enggak ada anak muda yang bergerak, ya enggak bisa. Contohnya KPK, enam puluh sampai tujuh puluh persen yang ada di sana anak muda. Kalau enggak ada mereka, KPK enggak bergerak," Bambang.
Sumber: cnnindonesia