”SETIA PADA JANJI”

Bacaan Firman Tuhan : Hakim-Hakim 11 : 29-40
Latarbelakang kehidupan Yefta:
Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing tokoh
yang ada di dalamnya begitu terbuka.
Dalam bagian ini kita melihat bagaimana
seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan dan kehendak Tuhan,
dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya merupakan pergumulannya
sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang sangat dalam berkaitan dengan
peristiwa Yakub memberkati kedua anak Yusuf.
Pada masa itu Yusuf membawa
Manasye dan Efraim kepada Yakub dan ketika itu ternyata Yakub menyilangkan
tangannya ke atas kepala keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu)
mendapat berkat dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung
mendapat berkat dari tangan kiri Yakub.
Melihat hal itu Yusuf tidak setuju sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya adalah anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah Israel mulai membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan banyak tokoh-tokoh penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut.
Melihat hal itu Yusuf tidak setuju sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya adalah anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah Israel mulai membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan banyak tokoh-tokoh penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut.
Dan Yefta yang lahir dari
seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar bani Manasye. Hal ini menjadi
sakit hati yang terus-menerus dan turun-temurun secara mendalam yang tersimpan
dalam hati orang-orang Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang
sangat tidak menyenangkan di dalam hidup suku Manasye.
Di lain sisi, kita juga
melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan sundal sehingga
setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci dan akhirnya mengusir
Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan orang Israel saat itu yang
mempunyai peraturan ketat sekali.
Di sini kita dapat membayangkan, betapa sakit yang ia bawa seumur hidup sehingga ia kemudian pergi ke suatu tempat yang disebut tanah Tob. Di sana ia diterima dengan baik dan berhasil menyatukan kelompok para petualang atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia peroleh dalam suku bangsanya sendiri.
Di sini kita dapat membayangkan, betapa sakit yang ia bawa seumur hidup sehingga ia kemudian pergi ke suatu tempat yang disebut tanah Tob. Di sana ia diterima dengan baik dan berhasil menyatukan kelompok para petualang atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia peroleh dalam suku bangsanya sendiri.
Tetapi ketika bani Amon berperang melawan
orang Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan
itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah terjadi
tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun dengan syarat
jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku Gilead. Di situlah
dimulainya titik balik kehidupan Yefta.
Permulaan kepemimpinan Yefta:
Kita
melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab membuka dengan
satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa Roh Tuhan menghinggapi
Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia alami.
Di dalam PL, jikalau Roh
Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di sana ada penyertaan dan berkat Tuhan
sehingga apa saja yang ia perbuat pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan
sekali bahwa dalam ayat 30 Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika
Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa
yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi kepunyaan
Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban bakaran.”
Di sini kita
melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar dengan Tuhan,
walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu berarti ada suatu jaminan
yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari masa petualangannya bersama para
penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan kebiasaan bagi mereka sebelum berperang
mempersembahkan korban manusia sebagai korban bakaran untuk mendapatkan
kemenangan.
Padahal kalau kita lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya
merupakan anak tunggal, dan itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di
rumah.
Sehingga sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya menyongsong dia dengan menari-nari.
Padahal yang ia harapkan menyongsongnya adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang mengalami konflik dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia berusaha melenyapkannya.
Ini satu hal yang sangat licik sekali yang mungkin muncul dalam pikiran Yefta. Bukankah seringkali ada banyak hal yang dapat kita pakai mengatasnamakan hal-hal rohani tetapi sebenarnya dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya kita sendiri yang tahu?
Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan Tuhan sudah ada di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi kemenangan yang hebat.
Sehingga sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya menyongsong dia dengan menari-nari.
Padahal yang ia harapkan menyongsongnya adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang mengalami konflik dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia berusaha melenyapkannya.
Ini satu hal yang sangat licik sekali yang mungkin muncul dalam pikiran Yefta. Bukankah seringkali ada banyak hal yang dapat kita pakai mengatasnamakan hal-hal rohani tetapi sebenarnya dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya kita sendiri yang tahu?
Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan Tuhan sudah ada di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi kemenangan yang hebat.
Yefta setia pada janji:
Kisah tentang Yefta dan nazarnya
yang terkenal itu, telah menyebabkan perdebatan sengit di antara para penafsir.
Hal yang membuat perbedaan para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak
perempuannya sendiri, ataukah tidak?
Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan yang tak masuk akal tersebut?
Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan yang tak masuk akal tersebut?
Hampir semua komentator dan penulis sejarah
Israel sebelumnya menganggap Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya
sendiri. Hingga abad Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara
untuk melunakkan gurauan Yefta ini.
Sudah sewajarnya jika laki-laki atau perempuan yang waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan bertindak Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah.
Namun pembaca harus ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta.
Sesungguhnya, bangsa itu ragu menyebutnya sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur (sebelum ia akhirnya disebut demikian) sebab ibunya adalah seorang wanita tunasusila dan saudara-saudaranya sendiri telah mengusirnya dari pusaka keluarga.
Sudah sewajarnya jika laki-laki atau perempuan yang waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan bertindak Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah.
Namun pembaca harus ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta.
Sesungguhnya, bangsa itu ragu menyebutnya sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur (sebelum ia akhirnya disebut demikian) sebab ibunya adalah seorang wanita tunasusila dan saudara-saudaranya sendiri telah mengusirnya dari pusaka keluarga.
Di sini ada tiga pertanyaan
utama untuk dijawab:
(1) Sebenarnya apa maksud Yefta dengan nazarnya itu?
(2)
Bagaimana ia melakukannya?
(3) Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya?
Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa hormat ia
bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari pintu rumahnya
untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas kaum Amon. Ini
memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah apa (whoever) yang
keluar.
Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah bahaya
yang perlu dihindari.
Pertama, paling baik menghindari pengucapan nazar yang
nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan kemampuan seseorang
untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6).
Kedua, nazar-nazar itu seharusnya
jangan dipakai untuk membeli pengasihan Allah, seakan-akan kita bisa berkarya
untuk mendapat kasih karunia Allah atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk
melakukan pada kita apa yang sebenarnya tak ingin Ia lakukan.
Sebaliknya,
nazar-nazar kita harus mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang
tak terhitung. Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati
(Bil. 36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar
yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi.
Itu sebabnya, janji Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala Yohanes Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi.
Itu sebabnya, janji Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala Yohanes Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi.
Sayangnya, janji itu ditepati (Mark.
6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali sumpahnya dan memohon
maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu. Hanya nazar dan sumpah yang
dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu disesali. Selain itu akan terjadi
ratapan atau perasaan terpukul.
Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang
mencoba melunakkan sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan
itu sebagai apa (whatever) yang keluar.
Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk hewan peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang berbeda (netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk kata feminin).
Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk hewan peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang berbeda (netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk kata feminin).
Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya adalah keluar, maka ini
pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam setiap konteks lainnya) manusia dan
bukan binatang atau benda lainnya.
Yefta berjanji bahwa siapa saja yang
mula-mula keluar menjumpainya saat ia kembali dengan kemenangan akan menjadi
milik Tuhan dan dikorbankan untuk Tuhan.
Apakah ia memaksudkannya secara
harfiah? Jika tidak, lalu mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya,
lalu bagaimanakah seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa
untuk tugas kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran
besar terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu menentang
pengorbanan manusia?
Perilaku yang tak masuk akal semacam itu hanya bisa
dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu bidang tidaklah
menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan. Misalnya, Daud juga
dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di hati Allah sendiri, namun
bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani oleh semua umat percaya yang
dipimpin oleh Roh.
Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia.
Hakim-hakim 11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya
jika perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu
selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih menjamin
kita akan selalu melaksanakannya.
Bahwa Yefta memang sungguh-sungguh mengorbankan putrinya, yang demikian tragis, nampaknya merupakan arti yang paling wajar terhadap teks ini. Jika "pengorbanan" Yefta atas putrinya berarti mengembalikannya ke suatu kehidupan yang membujang dan melayani di bait Allah, tak satu kata pun dalam bacaan tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya dukungan. yang mungkin adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya "akan menjadi kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya membuktikan yang ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan... sebagai korban bakaran."
Bahwa Yefta memang sungguh-sungguh mengorbankan putrinya, yang demikian tragis, nampaknya merupakan arti yang paling wajar terhadap teks ini. Jika "pengorbanan" Yefta atas putrinya berarti mengembalikannya ke suatu kehidupan yang membujang dan melayani di bait Allah, tak satu kata pun dalam bacaan tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya dukungan. yang mungkin adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya "akan menjadi kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya membuktikan yang ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan... sebagai korban bakaran."
Perenungan
Sebagai isteri kita pasti sudah pernah
dan sedang dan akan berjanji. Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita
mungkin berjanji pada diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada
keluarga, berjanji kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah
kita setia pada janji kita itu?
Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita berjanji atau bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan berjanji/nazar kepada Tuhan.
Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita berjanji atau bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan berjanji/nazar kepada Tuhan.
Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada
Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita kepada suami
kita dan kepada Tuhan?
Janji yang pertama adalah bersediakah saudari mengasihi
dia (suami) dengan segenap hati dan berbuat dengan segala kekuatanmu.
Kedua,
bersediakah saudari bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus?
Ketiga, bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya
yang ada.
Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan menceraikan
atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu kelak?
Janji
keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau sebenarnya sudah sering
mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan. Tetapi janji pertama sampai
ketiga apakah kita masih setia sampai sekarang?
Apakah kita tetap stia mengasihi, melakukan kehidupan yang kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia jika ekonomi tidak baik, jika kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak kelemahannya, jika dia mengalami penyakit, dan lain sebagainya.
Apakah kita tetap stia mengasihi, melakukan kehidupan yang kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia jika ekonomi tidak baik, jika kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak kelemahannya, jika dia mengalami penyakit, dan lain sebagainya.
Contoh lain
misalnya tentang anak-anak.
Ketika kita membawa mereka pada pembatisan kudus di
gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di hadapan jemaat dan Tuhan.
Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak ini dibaptiskan ke dalam Nama
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus?
Kedua, apakah saudara bersedia membimbing
anak-anak ini, agar mereka mengetahui dan menuruti firman Allah?
Ketiga, apakah
saudara bersedia menyuruh anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam
pengajaran Kristen Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup
dalam Yesus Kristus?
Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa
seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan arti.
Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti kesetiaan kita pada
janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan.
Pertama, Baptisan hanya sekali
bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui
dan bahkan membawa anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain???
Bahaya bukan! Di mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi ke dalam nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di Gereja kita dengan Gereja lain itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara” baptisan orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh karena baptisan. Kita bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya karena iman.
Bahaya bukan! Di mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi ke dalam nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di Gereja kita dengan Gereja lain itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara” baptisan orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh karena baptisan. Kita bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya karena iman.
Kedua, apakah kita
telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan dana kita untuk membimbing
anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi yang kita berikan kepada guru-guru
di sekolah dan gereja, dan para pembantu mengerjakan tugas itu?
Ingat pertanyaan dan janji itu bukan diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi kepada kita orangtuanya. Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja?
Ingat pertanyaan dan janji itu bukan diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi kepada kita orangtuanya. Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja?
Perhatikan kata “Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana
kita terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja” di
sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal” mereka pergi ke
gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan Tuhan.
Kita berjanji akan menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita terdaftar untuk diajari dan dibimbing oleh Gereja yang kita tempati. Mengapa?
Kita berjanji akan menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita terdaftar untuk diajari dan dibimbing oleh Gereja yang kita tempati. Mengapa?
Pertama, agar mereka mengerti ajaran
Kristen Protestan. Karena banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena
itu mereka harus sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan.
Kedua, agar anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Kedua, agar anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia jemaat
yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di gereja lain,
persekutuannya di gereja lain, persembahan dan perpuluhannya di gereja lain. Ini
bukan jemaat yang hidup.
Jika demikian silahkan saja pilih, jika kita memang menjadi jemaat yang hidup di gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar anak-anak kita sama dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana.
Yang paling ironisnya jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia dibawa ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani jemaat yang ‘mati’.
Jika demikian silahkan saja pilih, jika kita memang menjadi jemaat yang hidup di gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar anak-anak kita sama dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana.
Yang paling ironisnya jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia dibawa ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani jemaat yang ‘mati’.
Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia
kepada janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan
Tuhan.
Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia tetap
melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat bertentangan
dengan hatinya. Maka dari itu, hati-hatilah juga untuk berjanji dan bernazar bagi
sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.?
SELAMAT SETIA !!!
TUHAN YESUS MEMBERKATI!
[1] Kata “nazar” yang ditemukan dalam Alkitab, berkaitan dengan janji
seseorang kepada Allah. Nazar itu bisa muncul dalam berbagai bentuk,
seperti: 1. Janji melaksanakan suatu tindakan (Kejadian 28: 20-22). 2.
Janji menjauhkan diri dari se-buah tindakan (Mazmur 132: 15). 3. Janji
agar Tuhan menyatakan pertolongan-Nya (Bilangan 21: 1-3). Nazar sebagai
janji harus dipenuhi, dan adalah dosa jika tidak memenuhinya. Itu sebab,
sebelum bernazar, seseorang harus memikirkannya dengan sungguh sungguh,
bukan melakukannya karena emosional (Amsal 20: 25). Bernazar atau tidak
bernazar bukan dosa. Yang berdosa adalah, bernazar tetapi tidak
memenuhinya.
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
[1]
Kata “nazar” yang ditemukan dalam Alkitab, berkaitan dengan janji seseorang
kepada Allah. Nazar itu bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti: 1. Janji
melaksanakan suatu tindakan (Kejadian 28: 20-22). 2. Janji menjauhkan diri dari
se-buah tindakan (Mazmur 132: 15). 3. Janji agar Tuhan menyatakan pertolongan-Nya
(Bilangan 21: 1-3). Nazar sebagai janji harus dipenuhi, dan adalah dosa jika
tidak memenuhinya. Itu sebab, sebelum bernazar, seseorang harus memikirkannya
dengan sungguh sungguh, bukan melakukannya karena emosional (Amsal 20: 25).
Bernazar atau tidak bernazar bukan dosa. Yang berdosa adalah, bernazar tetapi
tidak memenuhinya.
Sumber: http://ramlyharahap.blogspot.co.uk/
Gambar: Google
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
”SETIA PADA JANJI”
(Hakim-hakim 11 : 29 - 40)
Latarbelakang kehidupan Yefta
Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing
tokoh yang ada di dalamnya begitu terbuka. Dalam bagian ini kita melihat
bagaimana seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan
dan kehendak Tuhan, dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya
merupakan pergumulannya sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang
sangat dalam berkaitan dengan peristiwa Yakub memberkati kedua anak
Yusuf. Pada masa itu Yusuf membawa Manasye dan Efraim kepada Yakub dan
ketika itu ternyata Yakub menyilangkan tangannya ke atas kepala
keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu) mendapat berkat
dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung
mendapat berkat dari tangan kiri Yakub. Melihat hal itu Yusuf tidak
setuju sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya
adalah anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah
Israel mulai membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan
banyak tokoh-tokoh penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut.
Dan Yefta yang lahir dari seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar
bani Manasye. Hal ini menjadi sakit hati yang terus-menerus dan
turun-temurun secara mendalam yang tersimpan dalam hati orang-orang
Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang sangat tidak
menyenangkan di dalam hidup suku Manasye. Di lain sisi, kita juga
melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan
sundal sehingga setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci
dan akhirnya mengusir Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan
orang Israel saat itu yang mempunyai peraturan ketat sekali. Di sini
kita dapat membayangkan, betapa sakit yang ia bawa seumur hidup sehingga
ia kemudian pergi ke suatu tempat yang disebut tanah Tob. Di sana ia
diterima dengan baik dan berhasil menyatukan kelompok para petualang
atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi
yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia peroleh dalam
suku bangsanya sendiri. Tetapi ketika bani Amon berperang melawan orang
Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan
itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah
terjadi tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun
dengan syarat jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku
Gilead. Di situlah dimulainya titik balik kehidupan Yefta.
Permulaan kepemimpinan Yefta
Kita melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab
membuka dengan satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa
Roh Tuhan menghinggapi Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia
alami. Di dalam PL, jikalau Roh Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di
sana ada penyertaan dan berkat Tuhan sehingga apa saja yang ia perbuat
pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan sekali bahwa dalam ayat 30
Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika Engkau
sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa
yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi
kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban
bakaran.”
Di sini kita melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar
dengan Tuhan, walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu
berarti ada suatu jaminan yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari
masa petualangannya bersama para penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan
kebiasaan bagi mereka sebelum berperang mempersembahkan korban manusia
sebagai korban bakaran untuk mendapatkan kemenangan. Padahal kalau kita
lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya merupakan anak tunggal, dan
itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di rumah. Sehingga
sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya
menyongsong dia dengan menari-nari. Padahal yang ia harapkan
menyongsongnya adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang
mengalami konflik dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia
berusaha melenyapkannya. Ini satu hal yang sangat licik sekali yang
mungkin muncul dalam pikiran Yefta. Bukankah seringkali ada banyak hal
yang dapat kita pakai mengatasnamakan hal-hal rohani tetapi sebenarnya
dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya kita sendiri yang tahu?
Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan Tuhan sudah ada
di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi kemenangan yang
hebat.
Yefta setia pada janji
Kisah tentang Yefta dan nazarnya yang terkenal itu, telah menyebabkan
perdebatan sengit di antara para penafsir. Hal yang membuat perbedaan
para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak perempuannya
sendiri, ataukah tidak? Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan yang
tak masuk akal tersebut?
Hampir semua komentator dan penulis sejarah Israel sebelumnya menganggap
Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya sendiri. Hingga Abad
Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara untuk melunakkan
gurauan Yefta ini. Sudah sewajarnya jika laki-laki atau perempuan yang
waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan bertindak
Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah. Namun pembaca harus
ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang
benar menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta. Sesungguhnya, bangsa
itu ragu menyebutnya sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur
(sebelum ia akhirnya disebut demikian) sebab ibunya adalah seorang
wanita tunasusila dan saudara-saudaranya sendiri telah mengusirnya dari
pusaka keluarga.
Di sini ada tiga pertanyaan utama untuk dijawab: (1) Sebenarnya apa
maksud Yefta dengan nazarnya itu? (2) Bagaimana ia melakukannya? (3)
Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya?
Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa
hormat ia bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari
pintu rumahnya untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas
kaum Amon. Ini memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah
apa (whoever) yang keluar.
Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah
bahaya yang perlu dihindari. Pertama, paling baik menghindari pengucapan
nazar yang nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan
kemampuan seseorang untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6). Kedua,
nazar-nazar itu seharusnya jangan dipakai untuk membeli pengasihan
Allah, seakan-akan kita bisa berkarya untuk mendapat kasih karunia Allah
atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk melakukan pada kita apa yang
sebenarnya tak ingin Ia lakukan. Sebaliknya, nazar-nazar kita harus
mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang tak terhitung.
Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati (Bil.
36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar
yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi. Itu sebabnya,
janji Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala
Yohanes Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi. Sayangnya, janji itu
ditepati (Mark. 6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali
sumpahnya dan memohon maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu.
Hanya nazar dan sumpah yang dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu
disesali. Selain itu akan terjadi ratapan atau perasaan terpukul.
Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang mencoba melunakkan
sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan itu sebagai
apa (whatever) yang keluar. Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani
memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk
hewan peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang
berbeda (netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk
kata feminin). Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya
adalah keluar, maka ini pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam
setiap konteks lainnya) manusia dan bukan binatang atau benda lainnya.
Yefta berjanji bahwa siapa saja yang mula-mula keluar menjumpainya saat
ia kembali dengan kemenangan akan menjadi milik Tuhan dan dikorbankan
untuk Tuhan. Apakah ia memaksudkannya secara harfiah? Jika tidak, lalu
mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya, lalu bagaimanakah
seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa untuk tugas
kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran besar
terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu
menentang pengorbanan manusia? Perilaku yang tak masuk akal semacam itu
hanya bisa dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu
bidang tidaklah menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan.
Misalnya, Daud juga dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di
hati Allah sendiri, namun bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani
oleh semua umat percaya yang dipimpin oleh Roh.
Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia. Hakim-hakim
11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya jika
perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu
selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih
menjamin kita akan selalu melaksanakannya. Bahwa Yefta memang
sungguh-sungguh mengorbankan putrinya, yang demikian tragis, nampaknya
merupakan arti yang paling wajar terhadap teks ini. Jika "pengorbanan"
Yefta atas putrinya berarti mengembalikannya ke suatu kehidupan yang
membujang dan melayani di bait Allah, tak satu kata pun dalam bacaan
tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya dukungan. yang mungkin
adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya "akan menjadi
kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya membuktikan yang
ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan... sebagai
korban bakaran."
Perenungan
Sebagai isteri kita pasti sudah pernah dan sedang dan akan berjanji.
Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita mungkin berjanji pada
diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada keluarga, berjanji
kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah kita setia
pada janji kita itu? Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan
kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita
berjanji atau bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan
berjanji/nazar kepada Tuhan.
Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada
Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita
kepada suami kita dan kepada Tuhan? Janji yang pertama adalah
bersediakah saudari mengasihi dia (suami) dengan segenap hati dan
berbuat dengan segala kekuatanmu. Kedua, bersediakah saudari
bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus? Ketiga,
bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya yang
ada. Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan
menceraikan atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu
kelak? Janji keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau
sebenarnya sudah sering mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan.
Tetapi janji pertama sampai ketiga apakah kita masih setia sampai
sekarang? Apakah kita tetap stia mengasihi, melakukan kehidupan yang
kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia jika ekonomi tidak baik, jika
kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak kelemahannya, jika dia
mengalami penyakit, dan lain sebagainya.
Contoh lain misalnya tentang anak-anak. Ketika kita membawa mereka pada
pembatisan kudus di gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di
hadapan jemaat dan Tuhan. Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak
ini dibaptiskan ke dalam Nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua,
apakah saudara bersedia membimbing anak-anak ini, agar mereka mengetahui
dan menuruti firman Allah? Ketiga, apakah saudara bersedia menyuruh
anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam pengajaran Kristen
Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup dalam Yesus
Kristus? Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa
seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan
arti. Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti
kesetiaan kita pada janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan.
Pertama, Baptisan hanya sekali bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak
orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui dan bahkan membawa
anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain??? Bahaya bukan! Di
mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi ke dalam
nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di GKPA dengan Gereja lain
itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara”
baptisan orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh
karena baptisan. Kita bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya
karena iman.
Kedua, apakah kita telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan
dana kita untuk membimbing anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi
yang kita berikan kepada guru-guru di sekolah dan gereja, dan para
pembantu mengerjakan tugas itu? Ingat pertanyaan dan janji itu bukan
diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi kepada kita orangtuanya.
Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja? Perhatikan kata
“Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana kita
terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja”
di sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal”
mereka pergi ke gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan
Tuhan. Kita berjanji akan menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita
terdaftar untuk diajari dan dibimbing oleh Gereja yang kita tempati.
Mengapa? Pertama, agar mereka mengerti ajaran Kristen Protestan. Karena
banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena itu mereka harus
sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan. Kedua, agar
anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia
jemaat yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di
gereja lain, persekutuannya di gereja lain, persembahan dan
perpuluhannya di gereja lain. Ini bukan jemaat yang hidup. Jika demikian
silahkan saja pilih, jika kita memang menjadi jemaat yang hidup di
gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar anak-anak kita sama
dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana. Yang paling ironisnya
jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia dibawa
ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di
gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani
jemaat yang ‘mati’.
Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia kepada
janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan
Tuhan. Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia
tetap melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat
bertentangan dengan hatinya. Makanya, hati-hatilah juga untuk berjanji
dan bernazar bagi sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.?
SELAMAT SETIA !!!
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
”SETIA PADA JANJI”
(Hakim-hakim 11 : 29 - 40)
Latarbelakang kehidupan Yefta
Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing
tokoh yang ada di dalamnya begitu terbuka. Dalam bagian ini kita melihat
bagaimana seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan
dan kehendak Tuhan, dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya
merupakan pergumulannya sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang
sangat dalam berkaitan dengan peristiwa Yakub memberkati kedua anak
Yusuf. Pada masa itu Yusuf membawa Manasye dan Efraim kepada Yakub dan
ketika itu ternyata Yakub menyilangkan tangannya ke atas kepala
keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu) mendapat berkat
dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung
mendapat berkat dari tangan kiri Yakub. Melihat hal itu Yusuf tidak
setuju sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya
adalah anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah
Israel mulai membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan
banyak tokoh-tokoh penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut.
Dan Yefta yang lahir dari seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar
bani Manasye. Hal ini menjadi sakit hati yang terus-menerus dan
turun-temurun secara mendalam yang tersimpan dalam hati orang-orang
Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang sangat tidak
menyenangkan di dalam hidup suku Manasye. Di lain sisi, kita juga
melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan
sundal sehingga setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci
dan akhirnya mengusir Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan
orang Israel saat itu yang mempunyai peraturan ketat sekali. Di sini
kita dapat membayangkan, betapa sakit yang ia bawa seumur hidup sehingga
ia kemudian pergi ke suatu tempat yang disebut tanah Tob. Di sana ia
diterima dengan baik dan berhasil menyatukan kelompok para petualang
atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi
yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia peroleh dalam
suku bangsanya sendiri. Tetapi ketika bani Amon berperang melawan orang
Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan
itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah
terjadi tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun
dengan syarat jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku
Gilead. Di situlah dimulainya titik balik kehidupan Yefta.
Permulaan kepemimpinan Yefta
Kita melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab
membuka dengan satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa
Roh Tuhan menghinggapi Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia
alami. Di dalam PL, jikalau Roh Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di
sana ada penyertaan dan berkat Tuhan sehingga apa saja yang ia perbuat
pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan sekali bahwa dalam ayat 30
Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika Engkau
sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa
yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi
kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban
bakaran.”
Di sini kita melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar
dengan Tuhan, walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu
berarti ada suatu jaminan yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari
masa petualangannya bersama para penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan
kebiasaan bagi mereka sebelum berperang mempersembahkan korban manusia
sebagai korban bakaran untuk mendapatkan kemenangan. Padahal kalau kita
lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya merupakan anak tunggal, dan
itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di rumah. Sehingga
sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya
menyongsong dia dengan menari-nari. Padahal yang ia harapkan
menyongsongnya adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang
mengalami konflik dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia
berusaha melenyapkannya. Ini satu hal yang sangat licik sekali yang
mungkin muncul dalam pikiran Yefta. Bukankah seringkali ada banyak hal
yang dapat kita pakai mengatasnamakan hal-hal rohani tetapi sebenarnya
dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya kita sendiri yang tahu?
Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan Tuhan sudah ada
di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi kemenangan yang
hebat.
Yefta setia pada janji
Kisah tentang Yefta dan nazarnya yang terkenal itu, telah menyebabkan
perdebatan sengit di antara para penafsir. Hal yang membuat perbedaan
para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak perempuannya
sendiri, ataukah tidak? Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan yang
tak masuk akal tersebut?
Hampir semua komentator dan penulis sejarah Israel sebelumnya menganggap
Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya sendiri. Hingga Abad
Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara untuk melunakkan
gurauan Yefta ini. Sudah sewajarnya jika laki-laki atau perempuan yang
waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan bertindak
Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah. Namun pembaca harus
ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang
benar menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta. Sesungguhnya, bangsa
itu ragu menyebutnya sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur
(sebelum ia akhirnya disebut demikian) sebab ibunya adalah seorang
wanita tunasusila dan saudara-saudaranya sendiri telah mengusirnya dari
pusaka keluarga.
Di sini ada tiga pertanyaan utama untuk dijawab: (1) Sebenarnya apa
maksud Yefta dengan nazarnya itu? (2) Bagaimana ia melakukannya? (3)
Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya?
Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa
hormat ia bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari
pintu rumahnya untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas
kaum Amon. Ini memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah
apa (whoever) yang keluar.
Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah
bahaya yang perlu dihindari. Pertama, paling baik menghindari pengucapan
nazar yang nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan
kemampuan seseorang untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6). Kedua,
nazar-nazar itu seharusnya jangan dipakai untuk membeli pengasihan
Allah, seakan-akan kita bisa berkarya untuk mendapat kasih karunia Allah
atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk melakukan pada kita apa yang
sebenarnya tak ingin Ia lakukan. Sebaliknya, nazar-nazar kita harus
mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang tak terhitung.
Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati (Bil.
36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar
yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi. Itu sebabnya,
janji Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala
Yohanes Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi. Sayangnya, janji itu
ditepati (Mark. 6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali
sumpahnya dan memohon maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu.
Hanya nazar dan sumpah yang dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu
disesali. Selain itu akan terjadi ratapan atau perasaan terpukul.
Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang mencoba melunakkan
sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan itu sebagai
apa (whatever) yang keluar. Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani
memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk
hewan peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang
berbeda (netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk
kata feminin). Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya
adalah keluar, maka ini pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam
setiap konteks lainnya) manusia dan bukan binatang atau benda lainnya.
Yefta berjanji bahwa siapa saja yang mula-mula keluar menjumpainya saat
ia kembali dengan kemenangan akan menjadi milik Tuhan dan dikorbankan
untuk Tuhan. Apakah ia memaksudkannya secara harfiah? Jika tidak, lalu
mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya, lalu bagaimanakah
seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa untuk tugas
kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran besar
terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu
menentang pengorbanan manusia? Perilaku yang tak masuk akal semacam itu
hanya bisa dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu
bidang tidaklah menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan.
Misalnya, Daud juga dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di
hati Allah sendiri, namun bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani
oleh semua umat percaya yang dipimpin oleh Roh.
Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia. Hakim-hakim
11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya jika
perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu
selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih
menjamin kita akan selalu melaksanakannya. Bahwa Yefta memang
sungguh-sungguh mengorbankan putrinya, yang demikian tragis, nampaknya
merupakan arti yang paling wajar terhadap teks ini. Jika "pengorbanan"
Yefta atas putrinya berarti mengembalikannya ke suatu kehidupan yang
membujang dan melayani di bait Allah, tak satu kata pun dalam bacaan
tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya dukungan. yang mungkin
adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya "akan menjadi
kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya membuktikan yang
ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan... sebagai
korban bakaran."
Perenungan
Sebagai isteri kita pasti sudah pernah dan sedang dan akan berjanji.
Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita mungkin berjanji pada
diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada keluarga, berjanji
kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah kita setia
pada janji kita itu? Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan
kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita
berjanji atau bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan
berjanji/nazar kepada Tuhan.
Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada
Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita
kepada suami kita dan kepada Tuhan? Janji yang pertama adalah
bersediakah saudari mengasihi dia (suami) dengan segenap hati dan
berbuat dengan segala kekuatanmu. Kedua, bersediakah saudari
bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus? Ketiga,
bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya yang
ada. Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan
menceraikan atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu
kelak? Janji keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau
sebenarnya sudah sering mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan.
Tetapi janji pertama sampai ketiga apakah kita masih setia sampai
sekarang? Apakah kita tetap stia mengasihi, melakukan kehidupan yang
kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia jika ekonomi tidak baik, jika
kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak kelemahannya, jika dia
mengalami penyakit, dan lain sebagainya.
Contoh lain misalnya tentang anak-anak. Ketika kita membawa mereka pada
pembatisan kudus di gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di
hadapan jemaat dan Tuhan. Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak
ini dibaptiskan ke dalam Nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua,
apakah saudara bersedia membimbing anak-anak ini, agar mereka mengetahui
dan menuruti firman Allah? Ketiga, apakah saudara bersedia menyuruh
anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam pengajaran Kristen
Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup dalam Yesus
Kristus? Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa
seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan
arti. Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti
kesetiaan kita pada janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan.
Pertama, Baptisan hanya sekali bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak
orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui dan bahkan membawa
anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain??? Bahaya bukan! Di
mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi ke dalam
nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di GKPA dengan Gereja lain
itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara”
baptisan orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh
karena baptisan. Kita bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya
karena iman.
Kedua, apakah kita telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan
dana kita untuk membimbing anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi
yang kita berikan kepada guru-guru di sekolah dan gereja, dan para
pembantu mengerjakan tugas itu? Ingat pertanyaan dan janji itu bukan
diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi kepada kita orangtuanya.
Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja? Perhatikan kata
“Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana kita
terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja”
di sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal”
mereka pergi ke gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan
Tuhan. Kita berjanji akan menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita
terdaftar untuk diajari dan dibimbing oleh Gereja yang kita tempati.
Mengapa? Pertama, agar mereka mengerti ajaran Kristen Protestan. Karena
banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena itu mereka harus
sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan. Kedua, agar
anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia
jemaat yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di
gereja lain, persekutuannya di gereja lain, persembahan dan
perpuluhannya di gereja lain. Ini bukan jemaat yang hidup. Jika demikian
silahkan saja pilih, jika kita memang menjadi jemaat yang hidup di
gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar anak-anak kita sama
dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana. Yang paling ironisnya
jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia dibawa
ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di
gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani
jemaat yang ‘mati’.
Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia kepada
janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan
Tuhan. Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia
tetap melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat
bertentangan dengan hatinya. Makanya, hati-hatilah juga untuk berjanji
dan bernazar bagi sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.?
SELAMAT SETIA !!!
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
”SETIA PADA JANJI”
(Hakim-hakim 11 : 29 - 40)
Latarbelakang kehidupan Yefta
Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing
tokoh yang ada di dalamnya begitu terbuka. Dalam bagian ini kita melihat
bagaimana seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan
dan kehendak Tuhan, dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya
merupakan pergumulannya sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang
sangat dalam berkaitan dengan peristiwa Yakub memberkati kedua anak
Yusuf. Pada masa itu Yusuf membawa Manasye dan Efraim kepada Yakub dan
ketika itu ternyata Yakub menyilangkan tangannya ke atas kepala
keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu) mendapat berkat
dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung
mendapat berkat dari tangan kiri Yakub. Melihat hal itu Yusuf tidak
setuju sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya
adalah anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah
Israel mulai membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan
banyak tokoh-tokoh penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut.
Dan Yefta yang lahir dari seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar
bani Manasye. Hal ini menjadi sakit hati yang terus-menerus dan
turun-temurun secara mendalam yang tersimpan dalam hati orang-orang
Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang sangat tidak
menyenangkan di dalam hidup suku Manasye. Di lain sisi, kita juga
melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan
sundal sehingga setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci
dan akhirnya mengusir Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan
orang Israel saat itu yang mempunyai peraturan ketat sekali. Di sini
kita dapat membayangkan, betapa sakit yang ia bawa seumur hidup sehingga
ia kemudian pergi ke suatu tempat yang disebut tanah Tob. Di sana ia
diterima dengan baik dan berhasil menyatukan kelompok para petualang
atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi
yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia peroleh dalam
suku bangsanya sendiri. Tetapi ketika bani Amon berperang melawan orang
Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan
itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah
terjadi tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun
dengan syarat jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku
Gilead. Di situlah dimulainya titik balik kehidupan Yefta.
Permulaan kepemimpinan Yefta
Kita melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab
membuka dengan satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa
Roh Tuhan menghinggapi Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia
alami. Di dalam PL, jikalau Roh Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di
sana ada penyertaan dan berkat Tuhan sehingga apa saja yang ia perbuat
pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan sekali bahwa dalam ayat 30
Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika Engkau
sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa
yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi
kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban
bakaran.”
Di sini kita melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar
dengan Tuhan, walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu
berarti ada suatu jaminan yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari
masa petualangannya bersama para penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan
kebiasaan bagi mereka sebelum berperang mempersembahkan korban manusia
sebagai korban bakaran untuk mendapatkan kemenangan. Padahal kalau kita
lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya merupakan anak tunggal, dan
itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di rumah. Sehingga
sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya
menyongsong dia dengan menari-nari. Padahal yang ia harapkan
menyongsongnya adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang
mengalami konflik dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia
berusaha melenyapkannya. Ini satu hal yang sangat licik sekali yang
mungkin muncul dalam pikiran Yefta. Bukankah seringkali ada banyak hal
yang dapat kita pakai mengatasnamakan hal-hal rohani tetapi sebenarnya
dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya kita sendiri yang tahu?
Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan Tuhan sudah ada
di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi kemenangan yang
hebat.
Yefta setia pada janji
Kisah tentang Yefta dan nazarnya yang terkenal itu, telah menyebabkan
perdebatan sengit di antara para penafsir. Hal yang membuat perbedaan
para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak perempuannya
sendiri, ataukah tidak? Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan yang
tak masuk akal tersebut?
Hampir semua komentator dan penulis sejarah Israel sebelumnya menganggap
Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya sendiri. Hingga Abad
Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara untuk melunakkan
gurauan Yefta ini. Sudah sewajarnya jika laki-laki atau perempuan yang
waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan bertindak
Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah. Namun pembaca harus
ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang
benar menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta. Sesungguhnya, bangsa
itu ragu menyebutnya sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur
(sebelum ia akhirnya disebut demikian) sebab ibunya adalah seorang
wanita tunasusila dan saudara-saudaranya sendiri telah mengusirnya dari
pusaka keluarga.
Di sini ada tiga pertanyaan utama untuk dijawab: (1) Sebenarnya apa
maksud Yefta dengan nazarnya itu? (2) Bagaimana ia melakukannya? (3)
Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya?
Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa
hormat ia bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari
pintu rumahnya untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas
kaum Amon. Ini memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah
apa (whoever) yang keluar.
Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah
bahaya yang perlu dihindari. Pertama, paling baik menghindari pengucapan
nazar yang nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan
kemampuan seseorang untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6). Kedua,
nazar-nazar itu seharusnya jangan dipakai untuk membeli pengasihan
Allah, seakan-akan kita bisa berkarya untuk mendapat kasih karunia Allah
atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk melakukan pada kita apa yang
sebenarnya tak ingin Ia lakukan. Sebaliknya, nazar-nazar kita harus
mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang tak terhitung.
Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati (Bil.
36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar
yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi. Itu sebabnya,
janji Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala
Yohanes Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi. Sayangnya, janji itu
ditepati (Mark. 6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali
sumpahnya dan memohon maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu.
Hanya nazar dan sumpah yang dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu
disesali. Selain itu akan terjadi ratapan atau perasaan terpukul.
Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang mencoba melunakkan
sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan itu sebagai
apa (whatever) yang keluar. Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani
memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk
hewan peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang
berbeda (netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk
kata feminin). Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya
adalah keluar, maka ini pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam
setiap konteks lainnya) manusia dan bukan binatang atau benda lainnya.
Yefta berjanji bahwa siapa saja yang mula-mula keluar menjumpainya saat
ia kembali dengan kemenangan akan menjadi milik Tuhan dan dikorbankan
untuk Tuhan. Apakah ia memaksudkannya secara harfiah? Jika tidak, lalu
mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya, lalu bagaimanakah
seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa untuk tugas
kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran besar
terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu
menentang pengorbanan manusia? Perilaku yang tak masuk akal semacam itu
hanya bisa dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu
bidang tidaklah menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan.
Misalnya, Daud juga dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di
hati Allah sendiri, namun bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani
oleh semua umat percaya yang dipimpin oleh Roh.
Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia. Hakim-hakim
11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya jika
perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu
selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih
menjamin kita akan selalu melaksanakannya. Bahwa Yefta memang
sungguh-sungguh mengorbankan putrinya, yang demikian tragis, nampaknya
merupakan arti yang paling wajar terhadap teks ini. Jika "pengorbanan"
Yefta atas putrinya berarti mengembalikannya ke suatu kehidupan yang
membujang dan melayani di bait Allah, tak satu kata pun dalam bacaan
tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya dukungan. yang mungkin
adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya "akan menjadi
kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya membuktikan yang
ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan... sebagai
korban bakaran."
Perenungan
Sebagai isteri kita pasti sudah pernah dan sedang dan akan berjanji.
Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita mungkin berjanji pada
diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada keluarga, berjanji
kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah kita setia
pada janji kita itu? Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan
kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita
berjanji atau bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan
berjanji/nazar kepada Tuhan.
Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada
Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita
kepada suami kita dan kepada Tuhan? Janji yang pertama adalah
bersediakah saudari mengasihi dia (suami) dengan segenap hati dan
berbuat dengan segala kekuatanmu. Kedua, bersediakah saudari
bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus? Ketiga,
bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya yang
ada. Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan
menceraikan atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu
kelak? Janji keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau
sebenarnya sudah sering mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan.
Tetapi janji pertama sampai ketiga apakah kita masih setia sampai
sekarang? Apakah kita tetap stia mengasihi, melakukan kehidupan yang
kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia jika ekonomi tidak baik, jika
kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak kelemahannya, jika dia
mengalami penyakit, dan lain sebagainya.
Contoh lain misalnya tentang anak-anak. Ketika kita membawa mereka pada
pembatisan kudus di gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di
hadapan jemaat dan Tuhan. Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak
ini dibaptiskan ke dalam Nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua,
apakah saudara bersedia membimbing anak-anak ini, agar mereka mengetahui
dan menuruti firman Allah? Ketiga, apakah saudara bersedia menyuruh
anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam pengajaran Kristen
Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup dalam Yesus
Kristus? Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa
seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan
arti. Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti
kesetiaan kita pada janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan.
Pertama, Baptisan hanya sekali bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak
orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui dan bahkan membawa
anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain??? Bahaya bukan! Di
mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi ke dalam
nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di GKPA dengan Gereja lain
itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara”
baptisan orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh
karena baptisan. Kita bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya
karena iman.
Kedua, apakah kita telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan
dana kita untuk membimbing anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi
yang kita berikan kepada guru-guru di sekolah dan gereja, dan para
pembantu mengerjakan tugas itu? Ingat pertanyaan dan janji itu bukan
diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi kepada kita orangtuanya.
Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja? Perhatikan kata
“Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana kita
terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja”
di sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal”
mereka pergi ke gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan
Tuhan. Kita berjanji akan menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita
terdaftar untuk diajari dan dibimbing oleh Gereja yang kita tempati.
Mengapa? Pertama, agar mereka mengerti ajaran Kristen Protestan. Karena
banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena itu mereka harus
sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan. Kedua, agar
anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia
jemaat yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di
gereja lain, persekutuannya di gereja lain, persembahan dan
perpuluhannya di gereja lain. Ini bukan jemaat yang hidup. Jika demikian
silahkan saja pilih, jika kita memang menjadi jemaat yang hidup di
gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar anak-anak kita sama
dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana. Yang paling ironisnya
jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia dibawa
ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di
gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani
jemaat yang ‘mati’.
Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia kepada
janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan
Tuhan. Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia
tetap melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat
bertentangan dengan hatinya. Makanya, hati-hatilah juga untuk berjanji
dan bernazar bagi sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.?
SELAMAT SETIA !!!
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Latarbelakang kehidupan
Yefta
Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing
tokoh yang ada di dalamnya begitu terbuka. Dalam bagian ini kita melihat
bagaimana seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan
dan kehendak Tuhan, dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya
merupakan pergumulannya sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang
sangat dalam berkaitan dengan peristiwa Yakub memberkati kedua anak
Yusuf. Pada masa itu Yusuf membawa Manasye dan Efraim kepada Yakub dan
ketika itu ternyata Yakub menyilangkan tangannya ke atas kepala
keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu) mendapat berkat
dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung
mendapat berkat dari tangan kiri Yakub. Melihat hal itu Yusuf tidak
setuju sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya
adalah anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah
Israel mulai membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan
banyak tokoh-tokoh penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut.
Dan Yefta yang lahir dari seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar
bani Manasye. Hal ini menjadi sakit hati yang terus-menerus dan
turun-temurun secara mendalam yang tersimpan dalam hati orang-orang
Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang sangat tidak
menyenangkan di dalam hidup suku Manasye. Di lain sisi, kita juga
melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan
sundal sehingga setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci
dan akhirnya mengusir Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan
orang Israel saat itu yang mempunyai peraturan ketat sekali. Di sini
kita dapat membayangkan, betapa sakit yang ia bawa seumur hidup sehingga
ia kemudian pergi ke suatu tempat yang disebut tanah Tob. Di sana ia
diterima dengan baik dan berhasil menyatukan kelompok para petualang
atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi
yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia peroleh dalam
suku bangsanya sendiri. Tetapi ketika bani Amon berperang melawan orang
Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan
itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah
terjadi tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun
dengan syarat jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku
Gilead. Di situlah dimulainya titik balik kehidupan Yefta.
Permulaan kepemimpinan Yefta
Kita melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab
membuka dengan satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa
Roh Tuhan menghinggapi Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia
alami. Di dalam PL, jikalau Roh Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di
sana ada penyertaan dan berkat Tuhan sehingga apa saja yang ia perbuat
pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan sekali bahwa dalam ayat 30
Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika Engkau
sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa
yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi
kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban
bakaran.”
Di sini kita melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar
dengan Tuhan, walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu
berarti ada suatu jaminan yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari
masa petualangannya bersama para penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan
kebiasaan bagi mereka sebelum berperang mempersembahkan korban manusia
sebagai korban bakaran untuk mendapatkan kemenangan. Padahal kalau kita
lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya merupakan anak tunggal, dan
itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di rumah. Sehingga
sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya
menyongsong dia dengan menari-nari. Padahal yang ia harapkan
menyongsongnya adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang
mengalami konflik dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia
berusaha melenyapkannya. Ini satu hal yang sangat licik sekali yang
mungkin muncul dalam pikiran Yefta. Bukankah seringkali ada banyak hal
yang dapat kita pakai mengatasnamakan hal-hal rohani tetapi sebenarnya
dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya kita sendiri yang tahu?
Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan Tuhan sudah ada
di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi kemenangan yang
hebat.
Yefta setia pada janji
Kisah tentang Yefta dan nazarnya yang terkenal itu, telah menyebabkan
perdebatan sengit di antara para penafsir. Hal yang membuat perbedaan
para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak perempuannya
sendiri, ataukah tidak? Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan yang
tak masuk akal tersebut?
Hampir semua komentator dan penulis sejarah Israel sebelumnya menganggap
Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya sendiri. Hingga Abad
Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara untuk melunakkan
gurauan Yefta ini. Sudah sewajarnya jika laki-laki atau perempuan yang
waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan bertindak
Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah. Namun pembaca harus
ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang
benar menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta. Sesungguhnya, bangsa
itu ragu menyebutnya sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur
(sebelum ia akhirnya disebut demikian) sebab ibunya adalah seorang
wanita tunasusila dan saudara-saudaranya sendiri telah mengusirnya dari
pusaka keluarga.
Di sini ada tiga pertanyaan utama untuk dijawab: (1) Sebenarnya apa
maksud Yefta dengan nazarnya itu? (2) Bagaimana ia melakukannya? (3)
Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya?
Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa
hormat ia bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari
pintu rumahnya untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas
kaum Amon. Ini memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah
apa (whoever) yang keluar.
Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah
bahaya yang perlu dihindari. Pertama, paling baik menghindari pengucapan
nazar yang nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan
kemampuan seseorang untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6). Kedua,
nazar-nazar itu seharusnya jangan dipakai untuk membeli pengasihan
Allah, seakan-akan kita bisa berkarya untuk mendapat kasih karunia Allah
atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk melakukan pada kita apa yang
sebenarnya tak ingin Ia lakukan. Sebaliknya, nazar-nazar kita harus
mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang tak terhitung.
Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati (Bil.
36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar
yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi. Itu sebabnya,
janji Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala
Yohanes Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi. Sayangnya, janji itu
ditepati (Mark. 6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali
sumpahnya dan memohon maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu.
Hanya nazar dan sumpah yang dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu
disesali. Selain itu akan terjadi ratapan atau perasaan terpukul.
Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang mencoba melunakkan
sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan itu sebagai
apa (whatever) yang keluar. Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani
memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk
hewan peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang
berbeda (netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk
kata feminin). Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya
adalah keluar, maka ini pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam
setiap konteks lainnya) manusia dan bukan binatang atau benda lainnya.
Yefta berjanji bahwa siapa saja yang mula-mula keluar menjumpainya saat
ia kembali dengan kemenangan akan menjadi milik Tuhan dan dikorbankan
untuk Tuhan. Apakah ia memaksudkannya secara harfiah? Jika tidak, lalu
mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya, lalu bagaimanakah
seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa untuk tugas
kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran besar
terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu
menentang pengorbanan manusia? Perilaku yang tak masuk akal semacam itu
hanya bisa dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu
bidang tidaklah menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan.
Misalnya, Daud juga dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di
hati Allah sendiri, namun bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani
oleh semua umat percaya yang dipimpin oleh Roh.
Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia. Hakim-hakim
11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya jika
perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu
selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih
menjamin kita akan selalu melaksanakannya. Bahwa Yefta memang
sungguh-sungguh mengorbankan putrinya, yang demikian tragis, nampaknya
merupakan arti yang paling wajar terhadap teks ini. Jika "pengorbanan"
Yefta atas putrinya berarti mengembalikannya ke suatu kehidupan yang
membujang dan melayani di bait Allah, tak satu kata pun dalam bacaan
tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya dukungan. yang mungkin
adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya "akan menjadi
kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya membuktikan yang
ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan... sebagai
korban bakaran."
Perenungan
Sebagai isteri kita pasti sudah pernah dan sedang dan akan berjanji.
Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita mungkin berjanji pada
diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada keluarga, berjanji
kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah kita setia
pada janji kita itu? Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan
kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita
berjanji atau bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan
berjanji/nazar kepada Tuhan.
Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada
Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita
kepada suami kita dan kepada Tuhan? Janji yang pertama adalah
bersediakah saudari mengasihi dia (suami) dengan segenap hati dan
berbuat dengan segala kekuatanmu. Kedua, bersediakah saudari
bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus? Ketiga,
bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya yang
ada. Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan
menceraikan atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu
kelak? Janji keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau
sebenarnya sudah sering mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan.
Tetapi janji pertama sampai ketiga apakah kita masih setia sampai
sekarang? Apakah kita tetap stia mengasihi, melakukan kehidupan yang
kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia jika ekonomi tidak baik, jika
kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak kelemahannya, jika dia
mengalami penyakit, dan lain sebagainya.
Contoh lain misalnya tentang anak-anak. Ketika kita membawa mereka pada
pembatisan kudus di gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di
hadapan jemaat dan Tuhan. Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak
ini dibaptiskan ke dalam Nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua,
apakah saudara bersedia membimbing anak-anak ini, agar mereka mengetahui
dan menuruti firman Allah? Ketiga, apakah saudara bersedia menyuruh
anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam pengajaran Kristen
Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup dalam Yesus
Kristus? Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa
seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan
arti. Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti
kesetiaan kita pada janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan.
Pertama, Baptisan hanya sekali bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak
orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui dan bahkan membawa
anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain??? Bahaya bukan! Di
mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi ke dalam
nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di GKPA dengan Gereja lain
itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara”
baptisan orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh
karena baptisan. Kita bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya
karena iman.
Kedua, apakah kita telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan
dana kita untuk membimbing anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi
yang kita berikan kepada guru-guru di sekolah dan gereja, dan para
pembantu mengerjakan tugas itu? Ingat pertanyaan dan janji itu bukan
diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi kepada kita orangtuanya.
Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja? Perhatikan kata
“Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana kita
terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja”
di sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal”
mereka pergi ke gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan
Tuhan. Kita berjanji akan menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita
terdaftar untuk diajari dan dibimbing oleh Gereja yang kita tempati.
Mengapa? Pertama, agar mereka mengerti ajaran Kristen Protestan. Karena
banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena itu mereka harus
sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan. Kedua, agar
anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia
jemaat yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di
gereja lain, persekutuannya di gereja lain, persembahan dan
perpuluhannya di gereja lain. Ini bukan jemaat yang hidup. Jika demikian
silahkan saja pilih, jika kita memang menjadi jemaat yang hidup di
gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar anak-anak kita sama
dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana. Yang paling ironisnya
jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia dibawa
ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di
gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani
jemaat yang ‘mati’.
Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia kepada
janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan
Tuhan. Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia
tetap melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat
bertentangan dengan hatinya. Makanya, hati-hatilah juga untuk berjanji
dan bernazar bagi sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.?
SELAMAT SETIA !!!
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Latarbelakang kehidupan Yefta
Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing tokoh
yang ada di dalamnya begitu terbuka. Dalam bagian ini kita melihat bagaimana
seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan dan kehendak Tuhan,
dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya merupakan pergumulannya
sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang sangat dalam berkaitan dengan
peristiwa Yakub memberkati kedua anak Yusuf. Pada masa itu Yusuf membawa
Manasye dan Efraim kepada Yakub dan ketika itu ternyata Yakub menyilangkan
tangannya ke atas kepala keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu)
mendapat berkat dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung
mendapat berkat dari tangan kiri Yakub. Melihat hal itu Yusuf tidak setuju
sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya adalah
anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah Israel mulai
membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan banyak tokoh-tokoh
penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut. Dan Yefta yang lahir dari
seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar bani Manasye. Hal ini menjadi
sakit hati yang terus-menerus dan turun-temurun secara mendalam yang tersimpan
dalam hati orang-orang Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang
sangat tidak menyenangkan di dalam hidup suku Manasye. Di lain sisi, kita juga
melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan sundal sehingga
setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci dan akhirnya mengusir
Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan orang Israel saat itu yang
mempunyai peraturan ketat sekali. Di sini kita dapat membayangkan, betapa sakit
yang ia bawa seumur hidup sehingga ia kemudian pergi ke suatu tempat yang
disebut tanah Tob. Di sana ia diterima dengan baik dan berhasil menyatukan
kelompok para petualang atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi
pemimpin tertinggi yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia
peroleh dalam suku bangsanya sendiri. Tetapi ketika bani Amon berperang melawan
orang Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan
itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah terjadi
tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun dengan syarat
jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku Gilead. Di situlah
dimulainya titik balik kehidupan Yefta. Permulaan kepemimpinan Yefta Kita
melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab membuka dengan
satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa Roh Tuhan menghinggapi
Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia alami. Di dalam PL, jikalau Roh
Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di sana ada penyertaan dan berkat Tuhan
sehingga apa saja yang ia perbuat pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan
sekali bahwa dalam ayat 30 Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika
Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa
yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi kepunyaan
Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban bakaran.” Di sini kita
melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar dengan Tuhan,
walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu berarti ada suatu jaminan
yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari masa petualangannya bersama para
penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan kebiasaan bagi mereka sebelum berperang
mempersembahkan korban manusia sebagai korban bakaran untuk mendapatkan
kemenangan. Padahal kalau kita lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya
merupakan anak tunggal, dan itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di
rumah. Sehingga sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya
menyongsong dia dengan menari-nari. Padahal yang ia harapkan menyongsongnya
adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang mengalami konflik
dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia berusaha melenyapkannya.
Ini satu hal yang sangat licik sekali yang mungkin muncul dalam pikiran Yefta.
Bukankah seringkali ada banyak hal yang dapat kita pakai mengatasnamakan
hal-hal rohani tetapi sebenarnya dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya
kita sendiri yang tahu? Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan
Tuhan sudah ada di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi
kemenangan yang hebat. Yefta setia pada janji Kisah tentang Yefta dan nazarnya
yang terkenal itu, telah menyebabkan perdebatan sengit di antara para penafsir.
Hal yang membuat perbedaan para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak
perempuannya sendiri, ataukah tidak? Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan
yang tak masuk akal tersebut? Hampir semua komentator dan penulis sejarah
Israel sebelumnya menganggap Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya
sendiri. Hingga Abad Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara
untuk melunakkan gurauan Yefta ini. Sudah sewajarnya jika laki-laki atau
perempuan yang waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan
bertindak Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah. Namun pembaca harus
ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang benar
menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta. Sesungguhnya, bangsa itu ragu menyebutnya
sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur (sebelum ia akhirnya disebut
demikian) sebab ibunya adalah seorang wanita tunasusila dan saudara-saudaranya
sendiri telah mengusirnya dari pusaka keluarga. Di sini ada tiga pertanyaan
utama untuk dijawab: (1) Sebenarnya apa maksud Yefta dengan nazarnya itu? (2)
Bagaimana ia melakukannya? (3) Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya?
Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa hormat ia
bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari pintu rumahnya
untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas kaum Amon. Ini
memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah apa (whoever) yang
keluar. Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah bahaya
yang perlu dihindari. Pertama, paling baik menghindari pengucapan nazar yang
nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan kemampuan seseorang
untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6). Kedua, nazar-nazar itu seharusnya
jangan dipakai untuk membeli pengasihan Allah, seakan-akan kita bisa berkarya
untuk mendapat kasih karunia Allah atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk
melakukan pada kita apa yang sebenarnya tak ingin Ia lakukan. Sebaliknya,
nazar-nazar kita harus mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang
tak terhitung. Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati
(Bil. 36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar
yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi. Itu sebabnya, janji
Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala Yohanes
Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi. Sayangnya, janji itu ditepati (Mark.
6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali sumpahnya dan memohon
maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu. Hanya nazar dan sumpah yang
dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu disesali. Selain itu akan terjadi
ratapan atau perasaan terpukul. Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang
mencoba melunakkan sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan
itu sebagai apa (whatever) yang keluar. Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani
memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk hewan
peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang berbeda
(netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk kata feminin).
Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya adalah keluar, maka ini
pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam setiap konteks lainnya) manusia dan
bukan binatang atau benda lainnya. Yefta berjanji bahwa siapa saja yang
mula-mula keluar menjumpainya saat ia kembali dengan kemenangan akan menjadi
milik Tuhan dan dikorbankan untuk Tuhan. Apakah ia memaksudkannya secara
harfiah? Jika tidak, lalu mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya,
lalu bagaimanakah seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa
untuk tugas kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran
besar terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu menentang
pengorbanan manusia? Perilaku yang tak masuk akal semacam itu hanya bisa
dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu bidang tidaklah
menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan. Misalnya, Daud juga
dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di hati Allah sendiri, namun
bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani oleh semua umat percaya yang
dipimpin oleh Roh. Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia.
Hakim-hakim 11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya
jika perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu
selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih menjamin
kita akan selalu melaksanakannya. Bahwa Yefta memang sungguh-sungguh mengorbankan
putrinya, yang demikian tragis, nampaknya merupakan arti yang paling wajar
terhadap teks ini. Jika "pengorbanan" Yefta atas putrinya berarti
mengembalikannya ke suatu kehidupan yang membujang dan melayani di bait Allah,
tak satu kata pun dalam bacaan tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya
dukungan. yang mungkin adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya
"akan menjadi kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya
membuktikan yang ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan...
sebagai korban bakaran." Perenungan Sebagai isteri kita pasti sudah pernah
dan sedang dan akan berjanji. Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita
mungkin berjanji pada diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada
keluarga, berjanji kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah
kita setia pada janji kita itu? Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan
kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita berjanji atau
bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan berjanji/nazar kepada
Tuhan. Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada
Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita kepada suami
kita dan kepada Tuhan? Janji yang pertama adalah bersediakah saudari mengasihi
dia (suami) dengan segenap hati dan berbuat dengan segala kekuatanmu. Kedua,
bersediakah saudari bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus?
Ketiga, bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya
yang ada. Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan menceraikan
atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu kelak? Janji
keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau sebenarnya sudah sering
mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan. Tetapi janji pertama sampai
ketiga apakah kita masih setia sampai sekarang? Apakah kita tetap stia
mengasihi, melakukan kehidupan yang kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia
jika ekonomi tidak baik, jika kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak
kelemahannya, jika dia mengalami penyakit, dan lain sebagainya. Contoh lain
misalnya tentang anak-anak. Ketika kita membawa mereka pada pembatisan kudus di
gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di hadapan jemaat dan Tuhan.
Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak ini dibaptiskan ke dalam Nama
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua, apakah saudara bersedia membimbing
anak-anak ini, agar mereka mengetahui dan menuruti firman Allah? Ketiga, apakah
saudara bersedia menyuruh anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam
pengajaran Kristen Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup
dalam Yesus Kristus? Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa
seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan arti.
Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti kesetiaan kita pada
janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan. Pertama, Baptisan hanya sekali
bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui
dan bahkan membawa anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain???
Bahaya bukan! Di mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi
ke dalam nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di GKPA dengan Gereja lain
itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara” baptisan
orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh karena baptisan. Kita
bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya karena iman. Kedua, apakah kita
telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan dana kita untuk membimbing
anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi yang kita berikan kepada guru-guru
di sekolah dan gereja, dan para pembantu mengerjakan tugas itu? Ingat
pertanyaan dan janji itu bukan diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi
kepada kita orangtuanya. Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja?
Perhatikan kata “Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana
kita terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja” di
sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal” mereka pergi ke
gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan Tuhan. Kita berjanji akan
menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita terdaftar untuk diajari dan dibimbing
oleh Gereja yang kita tempati. Mengapa? Pertama, agar mereka mengerti ajaran
Kristen Protestan. Karena banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena
itu mereka harus sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan.
Kedua, agar anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia jemaat
yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di gereja lain,
persekutuannya di gereja lain, persembahan dan perpuluhannya di gereja lain. Ini
bukan jemaat yang hidup. Jika demikian silahkan saja pilih, jika kita memang
menjadi jemaat yang hidup di gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar
anak-anak kita sama dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana. Yang paling
ironisnya jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia
dibawa ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di
gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani jemaat
yang ‘mati’. Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia
kepada janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan
Tuhan. Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia tetap
melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat bertentangan
dengan hatinya. Makanya, hati-hatilah juga untuk berjanji dan bernazar bagi
sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.? SELAMAT SETIA !!!
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Latarbelakang kehidupan Yefta
Alkitab di dalam menggambarkan kelemahan dan kegemilangan masing-masing tokoh
yang ada di dalamnya begitu terbuka. Dalam bagian ini kita melihat bagaimana
seorang yang bernama Yefta berusaha untuk mengerti pimpinan dan kehendak Tuhan,
dan pergumulan demi pergumulan yang ada sebenarnya merupakan pergumulannya
sejak kecil. Ia sudah memendam sakit hati yang sangat dalam berkaitan dengan
peristiwa Yakub memberkati kedua anak Yusuf. Pada masa itu Yusuf membawa
Manasye dan Efraim kepada Yakub dan ketika itu ternyata Yakub menyilangkan
tangannya ke atas kepala keduanya, dengan demikian Efraim (sebagai anak bungsu)
mendapat berkat dari tangan kanan Yakub, sedangkan Manasye yang sebagai anak sulung
mendapat berkat dari tangan kiri Yakub. Melihat hal itu Yusuf tidak setuju
sebab menurutnya yang mendapat berkat tangan kanan itu seharusnya adalah
anaknya yang sulung yaitu Manasye. Dan setelah itu sejarah Israel mulai
membuktikan Efraim menjadi suku yang sangat besar dan banyak tokoh-tokoh
penting dalam Alkitab muncul dari suku tersebut. Dan Yefta yang lahir dari
seorang Gilead adalah salah satu suku terbesar bani Manasye. Hal ini menjadi
sakit hati yang terus-menerus dan turun-temurun secara mendalam yang tersimpan
dalam hati orang-orang Manasye, termasuk Yefta. Itu merupakan satu sisi yang
sangat tidak menyenangkan di dalam hidup suku Manasye. Di lain sisi, kita juga
melihat bahwa Yefta adalah seorang yang lahir dari seorang perempuan sundal sehingga
setelah anak-anak istri Gilead besar, mereka membenci dan akhirnya mengusir
Yefta dari rumahnya, demikian pula halnya dengan orang Israel saat itu yang
mempunyai peraturan ketat sekali. Di sini kita dapat membayangkan, betapa sakit
yang ia bawa seumur hidup sehingga ia kemudian pergi ke suatu tempat yang
disebut tanah Tob. Di sana ia diterima dengan baik dan berhasil menyatukan
kelompok para petualang atau penyamun (preman) sehingga ia diangkat menjadi
pemimpin tertinggi yang dihormati, dikagumi dan ditakuti, dan itu tidak ia
peroleh dalam suku bangsanya sendiri. Tetapi ketika bani Amon berperang melawan
orang Israel, para pemimpin Gilead datang untuk minta tolong kepada Yefta, dan
itu berarti nama Yefta telah begitu tersohor saat itu. Akhirnya setelah terjadi
tawar-menawar dengannya maka Yefta bersedia berperang namun dengan syarat
jikalau menang maka ia akan menjadi pemimpin atas suku Gilead. Di situlah
dimulainya titik balik kehidupan Yefta. Permulaan kepemimpinan Yefta Kita
melihat bahwa di awal hidup Yefta memimpin bangsa Israel Alkitab membuka dengan
satu catatan yang begitu indah, di mana dikatakan bahwa Roh Tuhan menghinggapi
Yefta sehingga kemenangan demi kemenangan ia alami. Di dalam PL, jikalau Roh
Tuhan menghinggapi seseorang, berarti di sana ada penyertaan dan berkat Tuhan
sehingga apa saja yang ia perbuat pasti berhasil. Tetapi sangat mengherankan
sekali bahwa dalam ayat 30 Alkitab mencatat nazar Yefta yang mengatakan, “Jika
Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa
yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, …, itu akan menjadi kepunyaan
Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai kurban bakaran.” Di sini kita
melihat bahwa sepertinya Yefta mulai kembali tawar-menawar dengan Tuhan,
walaupun ia tahu bahwa Roh Tuhan ada padanya dan itu berarti ada suatu jaminan
yang pasti. Ini satu hal yang ia bawa dari masa petualangannya bersama para
penyamun di tanah Tob. Sebab merupakan kebiasaan bagi mereka sebelum berperang
mempersembahkan korban manusia sebagai korban bakaran untuk mendapatkan
kemenangan. Padahal kalau kita lihat selanjutnya dikatakan bahwa anaknya
merupakan anak tunggal, dan itu berarti hanya istri dan anaknya yang tinggal di
rumah. Sehingga sangat mengherankan jikalau ia terkoyak hatinya ketika anaknya
menyongsong dia dengan menari-nari. Padahal yang ia harapkan menyongsongnya
adalah istrinya, karena ia begitu jengkel dan sedang mengalami konflik
dengannya, sehingga dengan cara yang sangat rohani ia berusaha melenyapkannya.
Ini satu hal yang sangat licik sekali yang mungkin muncul dalam pikiran Yefta.
Bukankah seringkali ada banyak hal yang dapat kita pakai mengatasnamakan
hal-hal rohani tetapi sebenarnya dibalik itu banyak hal yang tersembunyi, hanya
kita sendiri yang tahu? Namun itu bukan berarti Tuhan tidak tahu, sebab tangan
Tuhan sudah ada di atas Yefta dan Ia sudah memberikan kemenangan demi
kemenangan yang hebat. Yefta setia pada janji Kisah tentang Yefta dan nazarnya
yang terkenal itu, telah menyebabkan perdebatan sengit di antara para penafsir.
Hal yang membuat perbedaan para penafsir adalah, apakah Yefta mengorbankan anak
perempuannya sendiri, ataukah tidak? Jika ya, apakah Allah memaafkan tindakan
yang tak masuk akal tersebut? Hampir semua komentator dan penulis sejarah
Israel sebelumnya menganggap Yefta benar-benar mempersembahkan putrinya
sendiri. Hingga Abad Pertengahan barulah para komentator mulai mencari cara
untuk melunakkan gurauan Yefta ini. Sudah sewajarnya jika laki-laki atau
perempuan yang waras menjadi marah dan dikejutkan oleh cara-cara berpikir dan
bertindak Yefta yang sewenang-wenang dan tidak alkitabiah. Namun pembaca harus
ingat tema Kitab Hakim-hakim, yaitu setiap orang melakukan apa yang benar
menurut pandangannya sendiri, termasuk Yefta. Sesungguhnya, bangsa itu ragu menyebutnya
sebagai hakim atas suku-suku di tepi timur (sebelum ia akhirnya disebut
demikian) sebab ibunya adalah seorang wanita tunasusila dan saudara-saudaranya
sendiri telah mengusirnya dari pusaka keluarga. Di sini ada tiga pertanyaan
utama untuk dijawab: (1) Sebenarnya apa maksud Yefta dengan nazarnya itu? (2)
Bagaimana ia melakukannya? (3) Apakah Allah memaafkan tindakan-tindakannya?
Sebelum Yefta berangkat dari Mizpa untuk berperang, dengan penuh rasa hormat ia
bernazar untuk menyerahkan kepada Allah apa yang keluar dari pintu rumahnya
untuk menemuinya jika ia kembali dengan kemenangan atas kaum Amon. Ini
memunculkan hal nazar dan masalah menerjemahkan istilah apa (whoever) yang
keluar. Nazar[1] bukan tidak alkitabiah, namun dalam bernazar ada sejumlah bahaya
yang perlu dihindari. Pertama, paling baik menghindari pengucapan nazar yang
nantinya akan menimbulkan kesulitan bagi suara hati dan kemampuan seseorang
untuk memenuhinya (Ams. 20:25; Pkh. 5:2-6). Kedua, nazar-nazar itu seharusnya
jangan dipakai untuk membeli pengasihan Allah, seakan-akan kita bisa berkarya
untuk mendapat kasih karunia Allah atau kita bisa mempengaruhi Allah untuk
melakukan pada kita apa yang sebenarnya tak ingin Ia lakukan. Sebaliknya,
nazar-nazar kita harus mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya atas kasih-Nva yang
tak terhitung. Jika suatu nazar telah dibuat, maka janji itu harus ditepati
(Bil. 36:2-13; Mzm. 15:4; 66:14; 76:11; Kis. 5:1-4). Namun sumpah atau nazar
yang melanggar suatu hukum moral Allah tak boleh dipenuhi. Itu sebabnya, janji
Herodes yang tergesa-gesa itu, yang berakibat dimintanya kepala Yohanes
Pembaptis, seharusnya tak pernah dipenuhi. Sayangnya, janji itu ditepati (Mark.
6:23-27). Di sini, Herodes seharusnya menarik kembali sumpahnya dan memohon
maaf dari semua pihak atas pembuatan sumpah itu. Hanya nazar dan sumpah yang
dibuat berdasarkan iman tak pernah perlu disesali. Selain itu akan terjadi
ratapan atau perasaan terpukul. Jadi apakah yang dinazarkan Yefta itu? Ada yang
mencoba melunakkan sumpah tersebut dengan menerjemahkan apa yang disumpahkan
itu sebagai apa (whatever) yang keluar. Namun, jika teks dalam bahasa Ibrani
memaksudkan gagasan yang netral ini (yang bisa meliputi apapun termasuk hewan
peliharaan Yefta), maka seharusnya di sini dipakai jenis kata yang berbeda
(netral dalam bahasa Ibrani bisa diisyaratkan melalui bentuk kata feminin).
Karena bentuk maskulin yang dipakai, dan kata kerjanya adalah keluar, maka ini
pasti hanya menunjukkan (sebagaimana dalam setiap konteks lainnya) manusia dan
bukan binatang atau benda lainnya. Yefta berjanji bahwa siapa saja yang
mula-mula keluar menjumpainya saat ia kembali dengan kemenangan akan menjadi
milik Tuhan dan dikorbankan untuk Tuhan. Apakah ia memaksudkannya secara
harfiah? Jika tidak, lalu mengapa ia menggunakan kata-kata ini? Dan jika ya,
lalu bagaimanakah seorang hakim yang diurapi oleh Roh Kudus secara luar biasa
untuk tugas kepemimpinan dalam perang, bisa bersalah melakukan pelanggaran
besar terhadap suatu hukum Allah yang nyata (Im. 18:21; Ul. 12:31), yaitu menentang
pengorbanan manusia? Perilaku yang tak masuk akal semacam itu hanya bisa
dijelaskan demikian: Persetujuan Allah atas seseorang di satu bidang tidaklah
menjamin persetujuan-Nya di segala bidang kehidupan. Misalnya, Daud juga
dipimpin Roh, dan merupakan orang yang berkenan di hati Allah sendiri, namun
bukan segala perbuatan Daud perlu diteladani oleh semua umat percaya yang
dipimpin oleh Roh. Yefta mengenal hukum Musa yang melarang pengorbanan manusia.
Hakim-hakim 11:12-28 menunjukkan ia tahu sejarah Israel dan bisa merincinya
jika perlu. Namun tentu saja ini tidak membuktikan bahwa apa yang ia tahu
selalu ia lakukan, pengetahuan kita tentang apa yang benar tidak lebih menjamin
kita akan selalu melaksanakannya. Bahwa Yefta memang sungguh-sungguh mengorbankan
putrinya, yang demikian tragis, nampaknya merupakan arti yang paling wajar
terhadap teks ini. Jika "pengorbanan" Yefta atas putrinya berarti
mengembalikannya ke suatu kehidupan yang membujang dan melayani di bait Allah,
tak satu kata pun dalam bacaan tersebut yang mengatakan demikian. Satu-satunya
dukungan. yang mungkin adalah komentar bahwa siapa yang keluar dan rumahnya
"akan menjadi kepunyaan TUHAN" (ayat 31). Namun pernyataan berikutnya
membuktikan yang ada dalam benaknya adalah korban bakaran, "mempersembahkan...
sebagai korban bakaran." Perenungan Sebagai isteri kita pasti sudah pernah
dan sedang dan akan berjanji. Janji-janji apakah yang pernah kita lakukan? Kita
mungkin berjanji pada diri sendiri, berjanji kepada teman, berjanji kepada
keluarga, berjanji kepada gereja/hamba Tuhan, dan berjanji kepada Tuhan. Apakah
kita setia pada janji kita itu? Mungkin jika janji pada diri kita sendiri dan
kepada sesama manusia, kita pernah tidak setia. Tetapi jika kita berjanji atau
bernazar kepada Tuhan harus setia, jika tidak maka jangan berjanji/nazar kepada
Tuhan. Mari kita ambil contoh janji kita kepada sesama manusia dan kepada
Tuhan. Ketika kita dulu menerima berkat pernikahan, apa janji kita kepada suami
kita dan kepada Tuhan? Janji yang pertama adalah bersediakah saudari mengasihi
dia (suami) dengan segenap hati dan berbuat dengan segala kekuatanmu. Kedua,
bersediakah saudari bersama-sama dengan dia melakukan kehidupan yang kudus?
Ketiga, bersediakah saudari untuk mengerti dia, dan menanggung kelemahannya
yang ada. Keempat, maukah saudari berjanji bahwa saudari tidak akan menceraikan
atau meninggalkan dia sampai kematian akan menceraikan kamu kelak? Janji
keempat masih bisa dipertahankan sampai sekarang walau sebenarnya sudah sering
mau meninggalkan dia karena banyak permasalahan. Tetapi janji pertama sampai
ketiga apakah kita masih setia sampai sekarang? Apakah kita tetap stia
mengasihi, melakukan kehidupan yang kudus, dan bahkan tidak meninggalkan dia
jika ekonomi tidak baik, jika kelakuannya tidak baik, jika ternyata ada banyak
kelemahannya, jika dia mengalami penyakit, dan lain sebagainya. Contoh lain
misalnya tentang anak-anak. Ketika kita membawa mereka pada pembatisan kudus di
gereja Tuhan, ada banyak janji yang perbuat di hadapan jemaat dan Tuhan.
Pertama, apakah saudara menghendaki anak-anak ini dibaptiskan ke dalam Nama
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus? Kedua, apakah saudara bersedia membimbing
anak-anak ini, agar mereka mengetahui dan menuruti firman Allah? Ketiga, apakah
saudara bersedia menyuruh anak-anak ini ke Gereja dan membesarkannya dalam
pengajaran Kristen Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup
dalam Yesus Kristus? Mungkin kita menganggap janji ini sepele, hanya bahasa
seremonial/ritus saja yang harus dijawab begitu saja tanpa makna dan arti.
Perhatikan makna dari setiap janji ini agar kita mengerti kesetiaan kita pada
janji yang telah kita ucapkan di hadapan Tuhan. Pertama, Baptisan hanya sekali
bukan berkali-kali. Tetapi ada banyak orangtua jaman sekarang ini bangga mengetahui
dan bahkan membawa anak-anaknya menerima baptisan ulang di gereja lain???
Bahaya bukan! Di mana kesetiaanmu kepada Tuhan yang sama. Kok dibaptiskan lagi
ke dalam nama Tuhan yang sama. Apakah beda Tuhan di GKPA dengan Gereja lain
itu??? Jika sama mengapa kesetiaan kita luntur ketika melihat “cara” baptisan
orang yang lebih “wah” seolah-olah kita diselamatkan oleh karena baptisan. Kita
bukan diselamatkan karena baptisan tetapi hanya karena iman. Kedua, apakah kita
telah menginvestasikan tenaga, pikiran, hati, dan dana kita untuk membimbing
anak-anak kita? Atau sudah cukupkah delegasi yang kita berikan kepada guru-guru
di sekolah dan gereja, dan para pembantu mengerjakan tugas itu? Ingat
pertanyaan dan janji itu bukan diberikan kepada guru dan pembantu, tetapi
kepada kita orangtuanya. Ketiga, apakah kita sudah menyuruh mereka ke Gereja?
Perhatikan kata “Gereja”. Gereja pakai huruf besar artinya ke Gereja di mana
kita terdaftar sebagai warga jemaat. Jangan kita menyuruh mereka ke “gereja” di
sekitar tempat tinggal kita dengan alasan dekat pokoknya “asal” mereka pergi ke
gereja. Tidak itu isi janji kita di depan jemaat dan Tuhan. Kita berjanji akan
menyuruh anak itu ke Gereja di mana kita terdaftar untuk diajari dan dibimbing
oleh Gereja yang kita tempati. Mengapa? Pertama, agar mereka mengerti ajaran
Kristen Protestan. Karena banyak ajaran gereja yang menjamur sekarang, karena
itu mereka harus sejak dini harus diajarkan pengajaran Kristen Protestan.
Kedua, agar anak-anak kita kelak menjadi jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus.
Karena banyak orang Kristen sekarang bukan jemaat yang hidup, tetapi dia jemaat
yang terdaftar saja di gerejanya, tetapi tubuh dan jiwanya di gereja lain,
persekutuannya di gereja lain, persembahan dan perpuluhannya di gereja lain. Ini
bukan jemaat yang hidup. Jika demikian silahkan saja pilih, jika kita memang
menjadi jemaat yang hidup di gereja lain itu, ya di sana aja terdaftar agar
anak-anak kita sama dengan kita menjadi jemaat yang hidup di sana. Yang paling
ironisnya jaman sekarang adalah ketika jemaat itu meninggal dunia maka dia
dibawa ke gereja di mana dia terdaftar, tetapi selama hidupnya dia beribadah di
gereja lain. Akhirnya, gereja kita hanya sebatas gereja yang melayani jemaat
yang ‘mati’. Karena itu melalui nas ini kita dituntut untuk tetap setia. Setia
kepada janji-janji yang telah kita ucapkan di hadapan jemaat dan di hadapan
Tuhan. Sama seperti Yefta, ketika dia bernazar di hadapan Tuhan maka dia tetap
melaksanakan nazarnya itu sekalipun nazarnya itu sangat sangat bertentangan
dengan hatinya. Makanya, hati-hatilah juga untuk berjanji dan bernazar bagi
sesama manusia, dan terlebih bagi Tuhan. Amin.? SELAMAT SETIA !!!
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ