KISAH PERJUANGAN PENDERITA LEPAS DARI JERATAN KANKER LIMFOMA

Ilustrasi (Getty Images/Thinkstock)
Jakarta,
Sekitar 11 tahun lalu, tepatnya tahun 2004, Emi
didiagnosis kanker limfoma. Kala itu usianya masih 32 tahun.
Pada April 2004, Emi menemukan ada benjolan pada payudaranya. Awalnya ia biasa saja, tapi dengan cepat benjolan itu semakin membesar.
"Membesarnya hari demi hari. Begitu ganti baju kok saya merasa ada yang aneh. Itu satu bulan besarnya sampai 12 sentimeter," kata Emi berbagi ceritanya dalam peringatan Hari Peduli Limfoma Sedunia di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (15/9).
Benjolan yang ada di tubuh Emi muncul disertai dengan gejala lainnya. Ia juga merasakan demam, batuk, kerap sariawan, dan badannya selalu mudah kelelahan jika bepergian.
Pada April 2004, Emi menemukan ada benjolan pada payudaranya. Awalnya ia biasa saja, tapi dengan cepat benjolan itu semakin membesar.
"Membesarnya hari demi hari. Begitu ganti baju kok saya merasa ada yang aneh. Itu satu bulan besarnya sampai 12 sentimeter," kata Emi berbagi ceritanya dalam peringatan Hari Peduli Limfoma Sedunia di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (15/9).
Benjolan yang ada di tubuh Emi muncul disertai dengan gejala lainnya. Ia juga merasakan demam, batuk, kerap sariawan, dan badannya selalu mudah kelelahan jika bepergian.
Merasa ada perubahan dalam dirinya, Emi lantas memeriksakan kondisinya
ke dokter. Dokter yang pertama ia datangi mengatakan Emi mengidap kanker
payudara.
Tak percaya dengan hasil pemeriksaannya, ia pun mencoba mendatangi dokter yang kedua, kemudian ketiga. Sampai pada akhirnya ketiga dokter tersebut mengatakan ia menderita kanker payudara.
Masih belum puas, Emi mendatangi dokter yang keempat. Oleh dokter keempat ini ia mendapatkan pernyataan yang berbeda. Emi didiagnosis menderita kanker limfoma.
Dokter mengatakan ia menderita kanker limfoma atau kelenjar getah bening tipe burkitt. Tipe kanker ini merupakan kanker limfoma yang agresif karena sangat cepat menjalarnya.
"Ternyata di ketiak juga ada. Kata dokternya ini sepertinya limfoma. Akhirnya tidak buang waktu saya dibiopsi dokter," ujar Emi.
Setelah dibiopsi, kanker Emi berkembang sangat cepat. Ukurannya mencapai 22 sentimeter. Akhirnya ia memutuskan untuk berobat di sebuah rumah sakit di Semarang.
"Waktu itu dokter onkologinya bilang harus secepatnya ditindak karena penyakitnya berkejaran dengan waktu. Saya juga harus menyiapkan dana Rp100 juta," kata dia.
Sejak saat itulah Emi harus menjalani kemoterapi. Ia harus menjalani kemoterapi selama 14 hari berturut-turut, kecuali Sabtu dan Minggu. Dalam proses kemoterapi itu ia juga pernah diambil cairan sumsumnya agar kanker yang ia derita tidak sampai ke otak.
Selama 14 hari dikemoterapi, penderitaan Emi belum selesai. Ia harus masuk ruang isolasi karena leukositnya turun. Emi pun tidak bisa dikunjungi sembarang orang. Bertemu kedua anaknya saja sulit.
"Orang yang menjenguk saya terbatas karena saya juga tidak boleh ketularan penyakit. Saya harus istirahat seminggu," ujarnya.
Fase isolasi Emi selama seminggu ternyata bukanlah tahap akhir. Emi harus menjalani kemoterapi lagi selama tujuh hari. Sumsum tulangnya pun kembali diambil. Kali ini sampai tiga kali karena dua proses sebelumnya tidak tepat.
"Selesai di situ saya masuk program lagi. Selesai semua, saya masih menjalani radiasi 30 kali. Total pengobagan saya 2 tahun," kata Emi.
Proses penyembuhan
Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk berjuang melawan penyakit. Apalagi ditambah harus menjalani pengobatan yang amat menyakitkan.
Setelah dua tahun berjibaku melawan penyakit, akhirnya Emi boleh menghela napas lega. Ia berhasil melawan kanker limfoma dan hidupnya kembali normal.
Butuh waktu tujuh bulan bagi Emi untuk beristirahat sepenuhnya. Kala itu ia mengaku tak mau dijenguk banyak orang. Alasannya, ia capai ketika setiap orang yang menjenguknya bertanya apa penyebab sakitnya Emi.
"Saya tidak mau ditengok. Setiap kali orang menanyakan penyebab sakitnya, saya capai menjawab. Bahkan saya pura-pura tidur ketika saudara datang," ujarnya.
Kendati sudah bebas dari jeratan kanker limfoma, saat ini Emi masih melakukan kontrol secara rutin. Setiap tahun ia selalu memeriksakan kondisinya. Ia takut sewaktu-waktu penyakit itu bisa datang dan menghampirinya lagi.
"Masih takut kalau demam. Kambuh lagi tidak ya. Saya kadang masih merasa takut," kata Emi.
Tak percaya dengan hasil pemeriksaannya, ia pun mencoba mendatangi dokter yang kedua, kemudian ketiga. Sampai pada akhirnya ketiga dokter tersebut mengatakan ia menderita kanker payudara.
Masih belum puas, Emi mendatangi dokter yang keempat. Oleh dokter keempat ini ia mendapatkan pernyataan yang berbeda. Emi didiagnosis menderita kanker limfoma.
Dokter mengatakan ia menderita kanker limfoma atau kelenjar getah bening tipe burkitt. Tipe kanker ini merupakan kanker limfoma yang agresif karena sangat cepat menjalarnya.
"Ternyata di ketiak juga ada. Kata dokternya ini sepertinya limfoma. Akhirnya tidak buang waktu saya dibiopsi dokter," ujar Emi.
Setelah dibiopsi, kanker Emi berkembang sangat cepat. Ukurannya mencapai 22 sentimeter. Akhirnya ia memutuskan untuk berobat di sebuah rumah sakit di Semarang.
"Waktu itu dokter onkologinya bilang harus secepatnya ditindak karena penyakitnya berkejaran dengan waktu. Saya juga harus menyiapkan dana Rp100 juta," kata dia.
Sejak saat itulah Emi harus menjalani kemoterapi. Ia harus menjalani kemoterapi selama 14 hari berturut-turut, kecuali Sabtu dan Minggu. Dalam proses kemoterapi itu ia juga pernah diambil cairan sumsumnya agar kanker yang ia derita tidak sampai ke otak.
Selama 14 hari dikemoterapi, penderitaan Emi belum selesai. Ia harus masuk ruang isolasi karena leukositnya turun. Emi pun tidak bisa dikunjungi sembarang orang. Bertemu kedua anaknya saja sulit.
"Orang yang menjenguk saya terbatas karena saya juga tidak boleh ketularan penyakit. Saya harus istirahat seminggu," ujarnya.
Fase isolasi Emi selama seminggu ternyata bukanlah tahap akhir. Emi harus menjalani kemoterapi lagi selama tujuh hari. Sumsum tulangnya pun kembali diambil. Kali ini sampai tiga kali karena dua proses sebelumnya tidak tepat.
"Selesai di situ saya masuk program lagi. Selesai semua, saya masih menjalani radiasi 30 kali. Total pengobagan saya 2 tahun," kata Emi.
Proses penyembuhan
Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk berjuang melawan penyakit. Apalagi ditambah harus menjalani pengobatan yang amat menyakitkan.
Setelah dua tahun berjibaku melawan penyakit, akhirnya Emi boleh menghela napas lega. Ia berhasil melawan kanker limfoma dan hidupnya kembali normal.
Butuh waktu tujuh bulan bagi Emi untuk beristirahat sepenuhnya. Kala itu ia mengaku tak mau dijenguk banyak orang. Alasannya, ia capai ketika setiap orang yang menjenguknya bertanya apa penyebab sakitnya Emi.
"Saya tidak mau ditengok. Setiap kali orang menanyakan penyebab sakitnya, saya capai menjawab. Bahkan saya pura-pura tidur ketika saudara datang," ujarnya.
Kendati sudah bebas dari jeratan kanker limfoma, saat ini Emi masih melakukan kontrol secara rutin. Setiap tahun ia selalu memeriksakan kondisinya. Ia takut sewaktu-waktu penyakit itu bisa datang dan menghampirinya lagi.
"Masih takut kalau demam. Kambuh lagi tidak ya. Saya kadang masih merasa takut," kata Emi.
Sumber: cnnindonesia.com