RI KINI TENGAH DILANDA 4 KRISIS, LEBIH PARAH DARI 1998
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Anwar Nasution menyatakan negara ini tengah dilanda empat krisis dalam waktu bersamaan. Bahkan kondisi tersebut disebut-sebut lebih parah dari krisis 1997-1998.
Rupiah Melemah
Rupiah Melemah
Anwar menyebut,
empat krisis yang membelit Indonesia, antara lain, pertama, krisis harga
komoditas primer yang sudah jatuh sejak 2011 pada era pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kedua, lanjutnya, krisis tingkat suku
bunga utang luar negeri meningkat, sehingga aliran modal asing keluar
secara besar-besaran.
"Krisis
ketiga, musim kering berkepanjangan dan keempat krisis ada perubahan
kecil di mata uang Yuan China. Koreksi penguatan mata uang ini tidak
terlalu besar, wajar-wajar saja tapi persepsi masyarakat ini pertanda
awal dari perang mata uang," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com,
Jakarta, Rabu (26/8/2015).
Guru
Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia ini menerangkan, Republik ini
jelas sudah memasuki fase krisis, di mana pelemahan nilai tukar rupiah
sampai ke level 14.000 terhadap dolar Amerika Serikat (AS) harus
diwaspadai.
Sebab Anwar
mengatakan, hal itu akan berdampak pada kenaikan inflasi. Potensi
inflasi yang lebih tinggi, menurut dia, bisa terjadi karena ada El Nino
atau musim kering berkepanjangan.
"Mungkin
saja tahun ini kita harus impor beras, darimana uangnya? Inflasi
semakin tinggi karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik
dihapus," tegasnya.
Lebih
jauh dikatakannya, pelemahan kurs rupiah membuat dunia usaha semakin
kelimpungan membayar utang luar negeri. Banyak pengusaha yang berutang
dalam bentuk valuta asing, seperti perusahaan pertambangan, perkebunan
sampai para pengembang yang membangun gedung pencakar langit dan proyek
real estate.
Belum lagi,
sambung dia, maskapai penerbangan, seperti Garuda Indonesia dan Lion Air
yang rajin borong pesawat terbang dengan bayaran dolar AS. Sementara
Anwar bilang, mereka menjual tiket penerbangan dalam denominasi rupiah.
"Bagaimana bisa bayar utang luar negerinya," paparnya.
Dari
sisi perbankan, diakui Anwar, tekanan pada kurs rupiah mempengaruhi
kinerja bank karena anjloknya harga komoditas primer. Lanjutnya, tingkat
bunga naik sehingga banyak nasabah tidak sanggup membayar kreditnya.
"Akhirnya
kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) naik, dan modal tergusur.
Krisis 1997-1998 terjadi karena gabungan krisis perbankan dan sektor
korporat. Perusahaan swasta tidak bisa membayar utang luar negeri mereka
karena nilanya membengkak," ujarnya.
Sementara
pemerintah, dinilai Anwar selalu membanggakan defisit anggaran sudah
semakin mengecil dan utang luar negeri masih dianggap aman. Padahal,
menurutnya, akar masalah bukan terletak pada persoalan defisit anggaran
maupun transaksi berjalan.
"Buktinya
saat krisis 1997, APBN kita surplus, defisit transaksi berjalan cuma 3
persen dari Product Domestic Bruto (PDB). Jadi persoalan bukan disitu.
Defisit transaksi berjalan yang perlu diwaspadai itu jika sudah 8 persen
dari PDB. Periode 1997-1998 terjadi krisis karena sektor perbankan
sangat lemah dan pelaku usaha tidak bisa bayar utang bunga kredit,"
pungkas Anwar.
Sumber : Liputan 6.com