Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MENTERI SUSI DESAK PEROMBAKAN SISTEM KARTEL IMPOR GARAM


Pekerja memanen garam, di Desa Badduri, Pademawu, Pamekasan, Jatim, Jumat (21/11). Produksi garam di tiga kabupaten di Madura hingga akhir musim olah tahun ini diperkirakan mencapai 80 ton per hektar. 
 
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menilai harga garam impor yang murah tidak dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia. Sistem tata niaga dinilai masih menerapkan konsep kartel atau terpusat pada sekelompok pengusaha dengan jumlah kuota tertentu. 

Susi pun mendesak pemerintah merombak tata niaga garam dan mengatur pembatasan kuota untuk perusahaan. Selama ini, menurutnya, tak ada transparansi dalam penentuan perusahaan mana yang boleh mengimpor dengan berapa jumlah kuota impornya.


"Hal seperti ini harus dikontrol terlebih dulu dan terbuka. Kami bisa impor apa saja untuk murahkan harga tapi kalau diimpor orang-orang itu sama saja," ucap Susi di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Sabtu (29/8). 

Jika strategi keadilan dalam tata niaga dan penentuan kuota diterapkan, Susi yakin dapat menguatkan perekonomian dalam negeri. Ia sebenarnya membebaskan para pengusaha yang ingin mengeruk untung dari perdagangan garam dengan satu syarat, yakni adanya intensi yang baik untuk mengembangkan perekonomian dalam negeri.

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor garam sebanyak 75% dari kebutuhan impor garam industri tahun lalu dengan kuota sebanyak 1,506 juta ton selama satu semester pertama tahun 2015. 

"Kami sudah berikan rekomendasi untuk menekan jumlah impor garam. Impor itu hanya boleh 1,1 ton dan yang boleh impor hanya perusahaan yang punya kebutuhan untuk industri kaca," katanya. Jumlah tersebut menekan angka impor garam menjadi 50 persen dari total kebutuhan garam di Indonesia.

Lebih jauh Susi menjelaskan, Kementerian Perdagangan telah menerapkan aturan impor garam yakni satu bulan sebelum panen dan dua bulan sesudah panen. Faktanya, pengusaha justru mengimpor saat masa panen. Alhasil, harga garam dalam negeri tak dapat bersaing dan harganya anjlok hingga 50 persen dadi harga produksi. 

"Aturannya sudah ada untuk membangun ketahanan industri dalam negeri dan menjaga mata pencaharian para petani. Tapi karena untung itu enak, apalagi untungnya 200 persen seperti jual narkoba, ketagihan dan suruh berhenti tidak mau," kata Susi. 

Di satu sisi, petani garam terdesak dengan membeludaknya produk garam. Mereka tidak punya gudang yang memadai untuk menyimpan garam. Harga garam pun merosot di bawah harga produksi. Mereka mengeluarkan ongkos mencapai Rp 600 untuk tiap kilogram namun hanya dibeli dengan harga sekitar Rp 300.

"Ini ada permainan impor. Di sini sebetulnya pengusaha mesti bangun negeri ini. Bukan kami melarang dan membatasi komoditi atau kebutuhan jutaan orang," katanya.

Perketat Pengawasan Importir

Susi menambahkan, untuk sejumlah perusahaan yang telah diberikan usaha mengimpor garam, seperti PT Asahi (Asahi Glass), juga diperlukan pengawasan ketat. Pengawasan pun perlu dilakukan di segala aspek. 

"Kami lihat di mana pelabuhannya untuk mengimpor. Impor dari negara mana, dibawa ke gudang atau tidak," katanya. 

Susi menambahkan, tidak menutup kemungkinan pemerintah kecolongan apabila tidak mengawasi. Bisa jadi permainan impor tidak hanya dilakukan oleh satu mafia dan satu perusahaan.

Jika pengawasan tidak dilakukan, hal tersebut justru dapat berujung pada dua petaka dan persoalan. Petaka untuk petani dalam negeri dan persoalan untuk industri dalam negeri yang tidak tumbuh. 

Selama ini, menurut Susi, aturan periode impor garam tidak memberikan sanksi yang tegas. Mereka hanya dikenai denda Rp 25 miliar. Angka tersebut justru bagi pengusaha merupakan angka yang kecil. 

"Kalau untungnya triliunan ya bayar saja dendanya. Ini PR kita semua," ujar Susi. 
 
 
 
Sumber: cnnindonesia.com