Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

EKONOMI CHINA AMBRUK, INDONESIA DAN MALAYSIA DALAM MASALAH BESAR

Ekonomi China nampaknya masih belum bisa lepas dari penyakit yang diderita. Buktinya, pasar saham China masih terus anjlok dan ditutup turun 4 persen pada perdagangan kemarin, Jumat (21/8).

Shanghai Composite Index ditutup turun ke level 3.500. Banyak analis percaya pemerintah China berusaha menyelamatkan ekonomi negaranya. Namun, langkah yang dinilai terburu-buru ini tetap menghantam pasar modal yang ditutup melemah 11 persen sepanjagn minggu ini.

Tidak hanya itu, Shenzen Composite Index juga ditutup turun 5,4 persen kemarin. Selama minggu ini, index Shenzen telah turun 11,5 persen.
Sebenarnya, penurunan pasar saham China telah terjadi semenjak bulan lalu. Padahal sebelum itu, Shanghai Composite Index mencapai puncak tertingginya di 5.100. Banyak analis mengatakan gelembung pasar modal ini akhirnya pecah dan index langsung anjlok 32 persen dan mencapai titik 3.507 pada 8 Juli lalu.

Pemerintah China kala itu tidak tinggal diam, mereka menurunkan suku bunga acuan agar arus modal kembali masuk ke negaranya. Selain itu, otoritas pasar saham China juga mengeluarkan aturan yang akan memenjarakan para spekulan pasar saham yang hanya untuk membeli jangka pendek.

Analis memperkirakan bahwa volatilitas pasar akan memberi dampak terbatas pada perekonomian China. Alasannya, sebagian perusahaan besar di China masih memiliki akses ke pembiayaan. Namun ini tidak terbukti, pertumbuhan perusahaan di China melambat parah.


Data terbaru menyebut, industri manufaktur tumbuh melambat di negara tersebut. Bahkan, ukuran atau index industri manufaktur China jatuh ke level terendah dalam enam tahun terakhir.
Ukuran atau indeks sentimen industri manufaktur China kini mencapai angka 47,1. Angka ini terus turun dari Juli lalu yang telah mencapai angka 47,8.

Menurut Caixin Insight and Markit Economics, indeks yang berada di bawah 50 menandakan perlambatan di sektor industri manufaktur.
Ekonom Caixin, He Fan mengatakan ekonomi China masih berada di bawah. "Masih ada tekanan untuk meningkatkan pertumbuhan. Pemerintah perlu memperbaiki kebijakan fiskal dan moneter," katanya seperti dilansir dari CNN di Jakarta, Jumat (21/8).

Perlambatan pertumbuhan ekonomi China kini diperparah dengan kebijakan pemerintahnya mendevaluasi Yuan. Keputusan pemerintah China ini merobek pasar saham global yang ditutup menurun pada perdagangan dua hari lalu.


Kebijakan China yang sengaja melemahkan mata uangnya atau mendevaluasi Yuan diprediksi masih akan terus berlanjut. Bahkan, analis Barclays menyebut Yuan bisa anjlok lagi hingga 10 persen melawan USD.

Menurut Barclays, Yuan akan masih terus anjlok karena China melepas cadangan devisa dalam mata uang asing. Hal ini dilakukan untuk menggenjot ekspor dan membuat produk mereka lebih kompetitif di luar negeri.

Menurut data Bloomberg yang dilansir dari Business Insider, Yuan telah melemah hingga 6,3 per USD. Menurut Barclays, Yuan akan melemah hingga 6,8 hingga akhir tahun dan 6,9 hingga pertengahan 2016 mendatang.

Pelemahan Yuan disebut terjadi karena banyaknya arus modal ke luar dari china. Investor domestik mengambil uang mereka dari china sebagai dampak pelemahan pertumbuhan negara tersebut. Investor memilih untuk berinvestasi di tempat lain.

Kebijakan China mendevaluasi Yuan harus dibayar mahal. Pasalnya, pelemahan Yuan dilakukan untuk mendukung ekspor malah berdampak pada arus modal yang lari ke luar dari China. Namun demikian, ini adalah salah satu cara China tetap bertahan di tengah perlambatan ekonomi.

Kondisi China saat ini dinilai cukup mengkhawatirkan dan menempatkan Indonesia dan Malaysia dalam masalah besar. 

Mata uang negara-negara ketiga yang mempunyai kompetensi pasar ekspor yang sama dengan China (Thailand dan Korea) dan negara yang mayoritas mempunyai porsi ekspor ke China (Taiwan, Korea dan Malaysia) mengalami tekanan nilai tukar akibat kebijakan China.

Dalam setahun terakhir, Ringgit Malaysia kehilangan hampir seperempat nilainya terhadap dolar Amerika (USD). Sedangkan Rupiah disebut telah anjlok 18 persen dalam periode yang sama. Nilai tukar Indonesia dan Malaysia kini berada pada level terendah sejak krisis keuangan melanda Asia. Kerugian terus menumpuk.

Kekhawatiran akan ekonomi China tidak hanya mengganggu Indonesia, namun secara global. Pada Kamis lalu, index Dow Jones turun 358 dan ditutup di bawah 17.000 untuk pertama kalinya sejak Oktober lalu. Pemerintah Indonesia juga menganggap luar biasa sentimen global kali ini.


Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 4.350 poin dan nilai tukar Rupiah sebesar Rp 13.900 per Dolar Amerika Serikat (USD) merupakan sentimen yang tidak masuk akal. Bahkan, pelemahan tersebut bukan mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia.

"Kondisi sekarang sudah irasional, yang terjadi sekarang enggak mencerminkan fundamental dan lebih berdasarkan pada sentimen berlebihan," ujar dia di Kantornya, Jakarta, Jumat (21/8).

Menteri Bambang menegaskan sentimen berlebihan ini muncul karena adanya kekhawatiran perang mata uang yang terjadi dunia, harga minyak yang akan turun serta spekulasi Amerika Serikat (AS) akan menaikkan suku bunganya.

"Ini berimbas ke semua, harga saham di AS saja jatuh, semua bursa kena, karena keadaan irasional itu," kata dia.




Sumber: merdeka.com