CERITA PERJUANGAN PETANI UNTUK BERTAHAN HIDUP DARI KEKERINGAN
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlmUYcqKz65QudO5lxe_o79lAoAzRmCe-Ge4mdbzp1AiRwrl8i1NliwZne4ppLxS7MEFnc83vU6lR2RasT0mMFujuVhDDshte3f0yZ3mAuQxM88j3XYzd618olpTqIL1uiSUMDiabC3jTa/s1600/2.jpg)
tengah mengambil air dari "kobak" yang dia buat di
Sungai Cipamingkis, Sabtu (15/8/2015).
Teori establishing sense of urgency John
P Kotter yang dipublikasikan Harvard Business Review terkonfirmasi saat
musim kemarau tahun ini yang berlangsung lebih panjang daripada tahun
2014 lalu.
Dari pantauan selama empat hari sejak 15-18 Agustus 2015 di empat daerah, yakni Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Brebes, daya tahan warga diuji untuk dapat meneruskan hidup dari ancaman kekeringan panjang.
Kekeringan panjang memotivasi warga di empat kabupaten tersebut untuk lebih kreatif menggali mata pencaharian untuk menghidupi dirinya, keluarga, dan orang-orang tercinta di sekitarnya.
Amin Nemin (50 tahun), warga Kampung Ciketug, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, contohnya. Ia sudah empat bulan beralih profesi menjadi tukang panggul air dan pemecah batu di PT Wadah Rezeki Alam (WRA).
Sebelumnya, lelaki beranak tiga ini adalah petani penggarap. Namun, karena Sungai Cipamingkis yang mengairi lahan tanaman padi yang digarapnya kering kerontang, Amin pun mengubah mata pencahariannya.
Amin harus menempuh jalur terjal dari dasar Sungai Cipamingkis ke
rumah-rumah pelanggan air di Kampung Ciketug, Desa Sirnajati, Sabtu
(15/8/2015).
Amin
terpaksa menjalani dua profesi sekaligus tersebut untuk menyambung
hidup. Saat menjadi petani, dia mampu membawa pulang uang sebesar Rp
25.000 per hari saat pengolahan lahan dan masa tandur selama satu minggu
di sawah garapannya seluas 1 hektar.
Sementara itu, saat musim perawatan, Amin mengantongi Rp 25.000 per hari selama satu hingga dua bulan. Ketika masa panen tiba, sebanyak Rp 6 juta bersih masuk kantongnya.
Kini, setelah menjadi kuli panggul, dia hanya mampu mendulang Rp 780.000 per bulan. Penghasilan ini didapat dari 26 kali memanggul air untuk dua kepala keluarga yang menjadi pelanggannya.
Dari pantauan selama empat hari sejak 15-18 Agustus 2015 di empat daerah, yakni Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Brebes, daya tahan warga diuji untuk dapat meneruskan hidup dari ancaman kekeringan panjang.
Kekeringan panjang memotivasi warga di empat kabupaten tersebut untuk lebih kreatif menggali mata pencaharian untuk menghidupi dirinya, keluarga, dan orang-orang tercinta di sekitarnya.
Amin Nemin (50 tahun), warga Kampung Ciketug, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, contohnya. Ia sudah empat bulan beralih profesi menjadi tukang panggul air dan pemecah batu di PT Wadah Rezeki Alam (WRA).
Sebelumnya, lelaki beranak tiga ini adalah petani penggarap. Namun, karena Sungai Cipamingkis yang mengairi lahan tanaman padi yang digarapnya kering kerontang, Amin pun mengubah mata pencahariannya.
Sementara itu, saat musim perawatan, Amin mengantongi Rp 25.000 per hari selama satu hingga dua bulan. Ketika masa panen tiba, sebanyak Rp 6 juta bersih masuk kantongnya.
Kini, setelah menjadi kuli panggul, dia hanya mampu mendulang Rp 780.000 per bulan. Penghasilan ini didapat dari 26 kali memanggul air untuk dua kepala keluarga yang menjadi pelanggannya.
Amin yang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia ini mengambil air dari sumur kecil atau kobak yang
sengaja dibuatnya di dasar Sungai Cipamingkis saat kekeringan mulai
melanda desanya pada Mei 2015. Jarak dari rumahnya ke kobak sekitar 2
kilometer.
Kondisi Sungai Cipamingkis pada Sabtu (15/8/2015), kering kerontang hingga dasar sungai tampak secara kasat mata.
Peluhnya bercucuran saat mewawancarainya
Sabtu petang (15/8/2015). Butuh waktu sekitar 30 menit untuk menggali
informasi dari lelaki beristri Acim ini. Amin, menurut Ketua RT 01/01
Kampung Ciketug, Enjay Sunjaya, sangat pemalu.
Tak heran, dia sempat memalingkan muka dan bungkam. Amin terus saja melakukan pekerjaannya mengambil air hingga memenuhi ember plastik bekas tempat cat ukuran 25 kilogram. Ketika hari beranjak senja, Amin baru mau membuka suara.
"Hidup semakin susah. Saya dan yang lain harus banting tulang cari uang. Senin-Sabtu pukul 09.00 saya kerja di PT (WRA). Penghasilan Rp 100.000 per minggu," urai Amin dalam bahasa Sunda seraya tetap tertunduk.
Dia bercerita, kekeringan dan kemarau panjang telah membuatnya kehilangan kesempatan untuk menunaikan janji terhadap anak istrinya. Awalnya, jika panen padi berhasil, dia akan membawa keluarganya bertamasya ke Taman Buah Mekarsari.
Kawasan Cibarusah sendiri merupakan satu dari empat kecamatan yang mengalami kekeringan ekstrem. Tiga kecamatan lainnya adalah Cikarang Timur, Tarumajaya, dan Tambun Utara. Hujan tidak turun selama lebih dari 90 hari di empat kecamatan ini.
Membeli bawangKisah serupa dialami Waryono, warga Desa Sengon, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes. Petani penggarap sawah seluas 2 hektar di desanya ini harus banting setir menjadi pedagang bawang.
Waryono, petani tanaman padi yang beralih profesi menjadi pedagang
bawang. Dia harus meminjam kredit senilai Rp 20 juta untuk membeli
bawang kualitas sedang. Menjadi pedagang bawang adalah pilihan logis
yang bisa dilakukan ketimbang berpangku tangan. Gambar diambil Selasa
(18/8/2015).
Itu
pun dia akui tidak seberuntung teman-temannya yang bisa mendapatkan
bawang kualitas bagus dengan harga pasaran Rp 15.000 per kuintal. Bawang
yang Waryono dapatkan kualitasnya sedang-sedang saja dan banyak
ulatnya. Karena itu, dia hanya menjualnya Rp 8.000 sampai Rp 12.000 per
kuintal.
"Kami bersepuluh (sesama warga Desa Sengon) meminjam uang di BRI Rp 20 juta untuk mendapatkan bawang sebanyak 2 ton. Bawang-bawang ini kami bawa ke pengepul yang akan menjualnya di pasar-pasar induk Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Serang," kata Waryono.
Waryono berharap dengan masa tenor dua tahun, utangnya bisa lunas. Dengan begitu, dia dan kawan-kawan bisa memutar kembali uangnya untuk membeli bawang kualitas bagus. Dia tidak berani meminjam uang dengan nilai lebih dari kemampuannya membayar.
Menggarap lahan seluas 1 hektar dan ditanami bawang setidaknya butuh Rp 35 juta. Rinciannya, Rp 10 juta untuk sewa lahan, Rp 6 juta mengolah lahan, dan Rp 12 juta membeli bawang yang akan dijadikan bibit serta pupuk dan pestisida Rp 6 juta.
Kerja keras, tambahan dana, dan upaya lebih itulah yang dilakukan Eko Cahyono. Anak muda warga Desa Limbangan, Kersana, Kabupaten Brebes, ini berani mengambil risiko meminjam Rp 30 juta kepada bank dan teman-temannya.
Dari uang sebanyak itu, dia merekrut 10 ibu-ibu warga Desa Limbangan. Mereka diberi upah Rp 27.000 per hari untuk menanam bibit bawang.
"Panen bawang lebih singkat waktunya. Saya hanya butuh waktu dua bulan. Tapi, itu dengan catatan air sungai di sekitar lahan garapan tidak kering. Ini saya beralih nanem brambang karena sawah padi kering dan rusak," papar Eko.
Karena itu, dalam lima bulan ke depan, setelah bawang, Eko akan menanami lahan sewaannya dengan cabai dan kemudian bawang kembali sampai musim hujan tiba.
"Kalau hujan tidak turun sampai Desember nanti, saya tetap akan tanam bawang meskipun hasilnya tak sebesar nanem padi. Daripada menganggur gak ada kerjaan," kata Eko.
Tak heran, dia sempat memalingkan muka dan bungkam. Amin terus saja melakukan pekerjaannya mengambil air hingga memenuhi ember plastik bekas tempat cat ukuran 25 kilogram. Ketika hari beranjak senja, Amin baru mau membuka suara.
"Hidup semakin susah. Saya dan yang lain harus banting tulang cari uang. Senin-Sabtu pukul 09.00 saya kerja di PT (WRA). Penghasilan Rp 100.000 per minggu," urai Amin dalam bahasa Sunda seraya tetap tertunduk.
Dia bercerita, kekeringan dan kemarau panjang telah membuatnya kehilangan kesempatan untuk menunaikan janji terhadap anak istrinya. Awalnya, jika panen padi berhasil, dia akan membawa keluarganya bertamasya ke Taman Buah Mekarsari.
Kawasan Cibarusah sendiri merupakan satu dari empat kecamatan yang mengalami kekeringan ekstrem. Tiga kecamatan lainnya adalah Cikarang Timur, Tarumajaya, dan Tambun Utara. Hujan tidak turun selama lebih dari 90 hari di empat kecamatan ini.
Membeli bawangKisah serupa dialami Waryono, warga Desa Sengon, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes. Petani penggarap sawah seluas 2 hektar di desanya ini harus banting setir menjadi pedagang bawang.
"Kami bersepuluh (sesama warga Desa Sengon) meminjam uang di BRI Rp 20 juta untuk mendapatkan bawang sebanyak 2 ton. Bawang-bawang ini kami bawa ke pengepul yang akan menjualnya di pasar-pasar induk Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Serang," kata Waryono.
Waryono berharap dengan masa tenor dua tahun, utangnya bisa lunas. Dengan begitu, dia dan kawan-kawan bisa memutar kembali uangnya untuk membeli bawang kualitas bagus. Dia tidak berani meminjam uang dengan nilai lebih dari kemampuannya membayar.
Menggarap lahan seluas 1 hektar dan ditanami bawang setidaknya butuh Rp 35 juta. Rinciannya, Rp 10 juta untuk sewa lahan, Rp 6 juta mengolah lahan, dan Rp 12 juta membeli bawang yang akan dijadikan bibit serta pupuk dan pestisida Rp 6 juta.
Kerja keras, tambahan dana, dan upaya lebih itulah yang dilakukan Eko Cahyono. Anak muda warga Desa Limbangan, Kersana, Kabupaten Brebes, ini berani mengambil risiko meminjam Rp 30 juta kepada bank dan teman-temannya.
Dari uang sebanyak itu, dia merekrut 10 ibu-ibu warga Desa Limbangan. Mereka diberi upah Rp 27.000 per hari untuk menanam bibit bawang.
"Panen bawang lebih singkat waktunya. Saya hanya butuh waktu dua bulan. Tapi, itu dengan catatan air sungai di sekitar lahan garapan tidak kering. Ini saya beralih nanem brambang karena sawah padi kering dan rusak," papar Eko.
Karena itu, dalam lima bulan ke depan, setelah bawang, Eko akan menanami lahan sewaannya dengan cabai dan kemudian bawang kembali sampai musim hujan tiba.
"Kalau hujan tidak turun sampai Desember nanti, saya tetap akan tanam bawang meskipun hasilnya tak sebesar nanem padi. Daripada menganggur gak ada kerjaan," kata Eko.
Sumber: kompas.com
Foto: